Wednesday, August 12, 2015

Spicy Caramel Chicken and a History Lesson

I’ve wanted to film an updated version of this caramel chicken for many years. It was one of the first videos I ever posted, and its unexpected popularity made me realize that there were actually people (non-relatives) watching these videos.

The original vision for Food Wishes was an online cooking school, where I’d charge tuition for a series of courses that would mimic the culinary school I’d just left. I started filming a few recipes each week, knowing full well that only a handful of people would see them, but I had to learn my new craft.

Caramel Chicken, Circa 2007
As the library grew, so did the audience, and I realized that instead of charging for the content, I could give it away for free, and maybe survive on the ad revenue that YouTube was just starting to offer. Above and beyond that, I was getting emails and comments, telling me that what I was doing was making them happy.

This wasn’t something I’d anticipated, and while at the time I would have preferred money, it was great to hear, and inspired me to push on. The rest, as they say, is history, and every time I got an email asking for an updated version of this recipe, I would fondly remember how all this came to be.

So, whether you were here from the very beginning, or you’re brand new, and will be trying caramel chicken for the very first time, I really hope you give this fast, easy, delicious, and historically significant recipe a try soon. Enjoy!


Makes 4 large portions:
2 pounds boneless, skinless chicken thighs, cut in about 1 inch chunks
1/2 cup sliced, seeded jalapeno peppers
1/2 cup sliced, seeded mild red chilies, or bell peppers
1/2 cup chopped green onions
1/2 cup roasted peanuts
1/4 cup chopped fresh cilantro leaves
4 cups cooked white rice

For the sauce mixture:
2 tbsp finely grated fresh ginger
4 cloves finely minced garlic
3/4 cup light brown sugar
1/3 cup rice vinegar
1/3 cup fish sauce
1 tsp soy sauce
2 tsp hot sauce, or to taste

Tuesday, August 11, 2015

Amalan di Sepuluh Hari (Pertama) Bulan Dzulhijjah



Bismillah Assalamu Alaikum

Departemen Agama Arab Saudi
Pekerjaan yang dianjurkan pada hari-hari tersebut :
a. Shalat
Disunnahkan bersegera mengerjakan shalat fardhu dan memperbanyak shalat sunnah, karena semua itu merupakan ibadah yang paling utama. Dari Tsauban radiallahuanhu dia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda (yang artinya): "Hendaklah kalian memper-banyak sujud kepada Allah, karena setiap kali kamu bersujud, maka Allah mengangkat derajat kamu, dan menghapus kesalahan kamu". Hal tersebut berlaku umum di setiap waktu.
b. Shoum (Puasa)
Karena dia termasuk perbuatan amal shaleh. Dari Hunaidah bin Kholid dari istrinya dari sebagian istri-istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, dia berkata: "Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam berpuasa pada tanggal sembilan Dzul Hijjah, sepuluh Muharram dan tiga hari setiap bulan" (Riwayat Imam Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i). Imam Nawawi berkata tentang puasa sepuluh hari bulan Dzul Hijjah : “Sangat disunnahkan “.

c.Takbir, Tahlil dan Tahmid
Sebagaimana terdapat riwayat dalam hadits Ibnu Umar terdahulu: "Perbanyaklah Tahlil, Takbir dan Tahmid pada waktu itu".

Imam Bukhori berkata: "Adalah Ibnu Umar dan Abu Hurairah radiallahuanhuma keluar ke pasar pada hari sepuluh bulan Dzul Hijjah, mereka berdua bertakbir dan orang-orangpun ikut bertakbir karenanya", dia juga berkata: "Adalah Umar bin Khottob bertakbir di kemahnya di Mina dan di dengar mereka yang ada dalam masjid, lalu mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang yang di pasar hingga Mina bergetar oleh takbir". Dan Ibnu Umar bertakbir di Mina pada hari-hari tersebut, setelah shalat dan di atas pembaringannya, di atas kudanya, di majlisnya dan saat berjalan pada semua hari-hari tersebut. Disunnahkan mengeraskan takbir karena perbuatan Umar tersebut dan anaknya dan Abu Hurairah radiallahuanhuma.

Maka hendaknya kita kaum muslimin menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan pada masa ini, bahkan hampir saja terlupakan hingga oleh mereka orang-orang shalih, berbeda dengan apa yang dilakukan oleh salafussalih terdahulu.
d. Puasa hari Arafah
Puasa Arafah sangat dianjurkan bagi mereka yang tidak pergi haji, sebagaimana riwayat dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bahwa dia berkata tentang puasa Arafah (yang artinya): "Saya berharap kepada Allah agar dihapuskan (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya" (Riwayat Muslim)

e. Keutamaan hari raya kurban (tgl 10 Dzul Hijjah)
Banyak orang yang melalaikan hari yang besar ini, padahal para ulama berpendapat bahwa dia lebih utama dari hari-hari dalam setahun secara mutlak, bahkan termasuk pada hari Arafah. Ibnu Qoyyim –rahimahullah- berkata: “ Sebaik-baik hari disisi Allah adalah hari Nahr (hari raya qurban), dia adalah hari haji Akbar “, sebagaimana terdapat dalam sunan Abu Daud, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: Sesungguh-nya hari-hari yang paling mulia disisi Allah adalah hari Nahr, kemudian hari qar.

Hari Qar adalah hari menetap di Mina, yaitu tanggal 11 Dzul Hijjah. Ada juga yang mengatakan bahwa hari Arafah lebih mulia dari hari Nahr, karena puasa pada hari itu menghapus dosa dua tahun, dan tidak ada hari yang lebih banyak Allah bebaskan orang dari neraka kecuali hari Arafah, dan karena pada hari tersebut Allah mendekat kepada hamba-Nya, kemudian Dia membanggakan kepada malaikat-Nya terhadap orang-orang yang sedang wukuf.

Yang benar adalah pendapat pertama, karena hadits yang menunjukkan hal tersebut tidak ada yang menentangnya sama sekali. Namun, apakah dia lebih utama atau hari Arafah, hendaklah setiap muslim baik yang melaksanakan haji atau tidak berupaya sungguh-sungguh untuk mendapatkan keutamaan hari tersebut dan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya.

Dinukil dari Buku Edisi Indonesia
"Keutamaan sepuluh hari (pertama) Dzulhijjah
& Hukum berkurban dan ‘Iedhul Adha yang berbarakah".

Seksi Terjemah Kantor Sosial, Dakwah & Penyuluhan Bagi Pendatang
Pemerintah Arab Saudi

Judul Asli: Amalan yang Dianjurkan dalam sepuluh hari Dzulhijjah
Sumber: www.salafy.or.id 

Monday, August 10, 2015

Keutamaan dan Adab Pada Hari Arafah


Tidak diragukan lagi, bahwa hari Arafah adalah hari yang agung dan harri-hari Allah yang berkahi. Merupakan perhelatan akbar dari perhelatan kebaikan, iman dan taqwa, serta musim semi dari musim ketaatan dan ibadah. Hari yang paling banyak rintihan. Hari dipanjatkan secara beruntun do'a dan keinginan, diturunkan rahmat, dimaafkan kesalahan dan diampuni kekhilafan. Hari berharap dan khusyu', menghinakan diri dan khudhu'. Sesungguhnya, dialah hari yang mulia dan penuh berkah. Matahari tidak terbit lebih baik dan hari itu. Telah dikhususkan hari itu dengan keutamaan yang mulia, keistimewaan yang besar dan ciri-ciri yang agung. Tidaklah mudah untuk membilangnya dan tidak mungkin menghitungnya.1 

 1 Diantara Keutamaan Hari Arafah Ialah Sebagai Berikut.

Pada hari itulah agama Islam diproklamirkan sebagai agama yang telah sempurna; suatu nikmat yang patut disyukuri. Pada waktu itu diturunkan firman Allah:

Pada hari ini telah Ku-sernpurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'matKu dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS Al Maidah:3).

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Thariq bin Syihab, ia berkata, Seorang Yahudi datang kepada Umar bin Khattab dan berkata,


"Wahai, Amirul Mukminin. Sesungguhnya kalian membaca satu ayat dari kitab kalian. Jika ayat tersebut diturunkan kepada kami sekalian orang Yahudi, niscaya kami akan menjadikan hari tersebut sebagai hari raya."

Beliau berkata, "Ayat apakah itu?" Dia berkata: Umar berkata,"Demi Allah, sungguh aku sangat mengetahui hari diturunkannya ayat tersebut kepada Rasulullah. Waktu diturunkannya kepada Rasulullah, yaitu sore Arafah pada hari Jumat."2

Hari Arafah merupakan hari raya bagi jama'ah haji. Oleh karenanya, tidak dianjurkan bagi jama'ah haji untuk berpuasa pada hari tersebut.
Menurut Jumhur agar lebih kuat dalam menjalankan aktivitas ibadah pada hari itu dan juga karena mereka sebagai tamu Allah serta bukti meneladani Rasulullah, karena beliau tidak berpuasa pada hari Arafah.3 Sedangkan bagi kaum muslimin yang tidak haji, maka dianjurkan untuk berpuasa Arafah. Puasa Arafah ini dapat menghapus dosa dan kesalahan dua tahun.



Hari Arafah adalah hari pengampunan dan pembebasan dari api neraka. Layaknya (bagi Allah permisalan yang lebih tinggi), seorang raja yang mempunyai hari pemaafan dan amnesti; Dia berikan kepada hambanya mukminin dan Dia banggakan kepada para malaikat muqarrabin.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dari Aisyah, bahwa Nabi bersabda,



Tidak ada hari Allah membebaskan hambaNya dari api neraka seperti hari Arafah. Sesungguhnya, Dia mendekat, kemudian Dia banggakan mereka di hadapan para malaikatNya sambil berkata: Apa yang diinginkan oleh mereka?"4



Berkata Ibnu Abdil Barr,"Inl menunjukkan, bahwa mereka diampuni, karena Dia tidak akan berbangga dengan pelaku dosa dan kesalahan, kecuali setelah taubat dan pengampunan."5

Dari Abdullah bin Amr dari Nabi bersabda,



"Sesungguhnya Allah berbangga pada sore Arafah dengan orang-orang di Arafah, dan berkata:
Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu."6
Fudhail bin 'Iyadh berdiri di Arafah. Kemudian beliau melihat tangisan dan sedu-sedan manusia pada sore Arafah, dan berkata,

"Bagaimana pendapat kalian, jlka mereka mendatangi seseorang, kemudian memintanya sekeping Daniq (pecahan dirham yaltu seperenamnya. pen.); apakah dia akan menolak mereka?"

Mereka menjawab, "Tidak," Beliaupun berkata, "Demi Allah. Pengampunan dari Allah lebih mudah dari laki-laki tersebut mengabulkan permintaan mereka atas sekeping Daniq."7

Berkata Ibnul Mubarak:



Aku mendatangi Sufyan Ats Tsauri sore Arafah, sambil mengangkat kedua lututnya, sedangkan air matanya mengalir.



Aku berkata kepadanya,"Siapakah yang paling buruk keadaannya pada hari Ini?" Beliau menjawab, "Orang yang menyangka, bahwa Allah tidak mengampuninya."8

Hari berdo'a dan berdzikir. Adalah Rasulullah mengucapkan kalimat yang terbaik pada hari terbaik, karena Arafah adalah penghulu hari. Dan kalimat la ilaha illallah adalah penghulu kalimat.


Nabi bersabda,"Sebaik-baik do'a adalah do'a Arafah. Dan sebaik-baik dzikir ialah la ilaha illallah. Dan sebaik-baik ucapanku dan Nabi sebelumku, (ialah):
La ilaha illallah wahadahu la syarikalah. lahul mulku walahul hamdu wahuwa 'ala kulli syai-in qadir.9
Dialah "al witr" dalam Surat Al Fajar. Bahwa Allah bersumpah dengannya, menandakan agungnya hari tersebut. Diriwayatkan dari Nabi,


"Syafa' adalah hari nahar, sedangkan witir hari Arafah."'10

Dan dikatakan, itulah (yang dimaksud) al masyhud dalam surat Al Buruj. Diriwayatkan dari Nabi,



"Asy Syahid adalah hari Jumat, dan masyhud adalah hari Arafah.''11



2 Sedangkan Adab-Adab Pada Hari Arafah, Diantaranya :



Sebelum berangkat ke Arafah pada pagi 9 Dzul Hijjah, hendaklah mabit di Mina pada hari Tarwiyah. Dan janganlah keluar dart Mina, kecuali setelah terbit matahari.12
Dianjurkan untuk turun di Namirah (tempat di sebelah selatan Arafah, dan tidak termasuk Arafah), jika memungkinkan. Siapa yang memiliki tenda hendaklah dipasang.13
Setelah itu -jika memungkinkan- hendaklah seseorang mendengarkan khutbah di Uranah (di depan Masjid Namirah). Hendaklah ia mencukupi dengan khutbah Imam di Masjid Namirah dan tidak membuat khatib sendiri. Karena, begitulah yang dilakukan Rasulullah dan para khalifahnya, sekalipun diperbolehkan melakukan shalat berjama'ah di kemah masing-masing (dengan) jama'qashar Dzuhur dan Ashar.14
Do'a dan dzikir hari Arafah terkhusus setelah tergelincir matahari di tempat Nabi wukuf atau di tempat mana saja, menghadap kiblat, sambil mengangkat kedua tangan. Bersungguh-sungguh serta memperbanyak dzikir dan do'a serta diselingi dengan tahlil dan talbiah, memperbanyak tahlil,15 hingga terbenam matahari dengan mengucapkan:


La ilaha illallah wahadahu la syarikalah. lahul mulku walahul hamdu wahuwa 'ala kulli syai-in qadir



3 Beberapa Kesalahan Pada Hari Arafah16



Menyia-nyiakan waktu pada hari Arafah dengan berjalan-jalan17 atau mengobrol dan sebagainya. Pada hari ini peran syethan dan hawa nafsu sangat kuat untuk melalaikan jama'ah haji dari berdzikir kepada Allah. Karena dia tahu, bahwa yang sebentar itu merupakan waktu yang paling berharga dan berarti dari seluruh waktu musim haji secara mutlak.
Menghabiskan waktu untuk memanjat gunung Arafah atau memanjat ke gunung Rahmat dan bersantai-santai di sana.
Mandi untuk menyambut hari Arafah.
Mengkhususkan do'a atau dzikir tertentu, seperti do'a Khidir yang dinukilkan dalam kitab Ihya' Ulumuddin atau doa-doa yang lainnya.
Berdiam diri dan tidak berdzikir ataupun berdo'a.
Dzikir dan do'a yang terlarang, diantaranya seperti berikut ini:


Membaca atau wirid bersama.
Dzikir dan do'a bersama.
Membaca surat Al Ikhlash 100 kali.
Shalawat Ibrahimiyyah (yaitu shalawat diakhir tahiyyat dalam shalat, pen.) 100 kali. Didalamnya ada hadits, akan tetapi tidak shahih. Dan dzikir lainnya yang telah disebutkan oleh Sakhawi, yang dibaca pada hari Arafah .
Berjalan cepat ketika meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah.
Adzan shalat Dzuhur dan Ashar sebelum khatib selesai berkhutbah, atau shalat Dzuhur dan Ashar sebelum khutbah.
Kepercayaan, bahwa Allah turun sore Arafah di atas unta atau buraq, menyalami orang-orang yang berkendaraan dan memeluk orang-orang yang berjalan.
Imam berkhutbah dengan dua khutbah di Arafah dipisah dengan duduk istirahat, sebagaimana dalam khutbah Jumat.
Shalat sunnat antara shalat Dzuhur dan Ashar para hari Arafah.
Keluar dari Arafah sebelum terbenam matahari.
Demikianlah sebagian keutamaan dan adab yang dapat penulis kumpulkan. Wallahu a'lam bish shawab.



Catatan Kaki

…1
Dr. Abdurrazzaq Al Badar. Durusun Fil Aqidah Mustafadah Minal Hajj. hlm. 65.
…2
Shahih Bukhari. no. 4606 dan Shahih Muslim, no. 3017.
…3
Ibnul Jauzi, At Tabshirah 2/137.
…4
Shahih Muslim. no. 1348.
…5
Tamhid l/120.
…6
Musnad 2/224.
…7
Majlisun Fi Fadhli Yaumi Arafah, Ibnu Nashlruddin Ad Dimasyqi, hlm. 63 dari Dr. Abdurrazzaq Al Badar. Durusun Fil Aqidah Mustafadah Minal Hajj, hlm. 68.
…8
Su'ud bin Ibrahim Asy Syuraim, Al Minhaj Lil Mu'tamiri Wal Hajj, hlm. 85-86.
…9
HR Tirmidzi dalam Sunan, no. 3585 dari hadits Andullah bin Amr. dan dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah 4/7,8.
…10
Ibnul Jauzi, At Tabshirah 2/137 dan Ibnul Arabi, Ahkamul Qur'an 4/1927, diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah.
…11
Ibnul Arabi, Ahkamul Qur'an 4/1927, diriwayatkan dari Nafi' bin Jubair darl ayahnya. Llhat Su'ud bin Ibrahim Asy Syuraim, Al Minhaj Lil Mu'tamiri Wal Hajj. hlm. 84.
…12
Nawawi, Syarah Shahih Muslim 4/410.
…13
Nawawi. Syarah Shahih Muslim 4/410.
…14
Lihat Majalah Tau'iah Islamiah. Edisi 215, Khutbah Arafah Syaikh Abdul Aziz Asy Syaikh, hlm. 174.
…15
Bakar bin Abdullah Abu Zaid, Tashhih Ad Du'a, hlm. 514, Dar Al Ashimah, Cet. I, Riyadh KSA
…16
Silahkan lihat kitab Mu'jamul Bida', z -Raid bin Shabri bin Abu Alafah, hlm. 186-190; Tashhih Ad Du'a. hlm. 522, Bakar Abu Zaid; Manasikul Haji Wal Umrah. hlm.54, Syaikh Al Albani.
…17
Sebagaian jama'ah haji menghabiskan waktu mereka pada hari tersebut dengan berebut mengambil shadaqah orang-orang dermawan berupa makanan atau minuman.

Pembahasan Tentang Haji Akbar


Banyak Muslim mengejar Haji akbar  yang pahalanya di anggap sangat besar. Barangkali, pembaca sering mendengar istilah haji akbar. Berbagai macam asumsi tentang haji akbar ini berkembang di tengah masyarakat, semisal, bahwa haji akbar adalah wuquf di padang Arafah yang bertepatan pada hari Jum'at. Sebagian berasumsi, bahwa haji akbar adalah hari Idul Adha yang bertepatan dengan hari Jum'at. 

Yang menjadi pertanyaan, dari manakah istilah haji akbar itu? Adakah dasar penggunaan istilah haji akbar ini? Kalaupun ada, apa yang dimaksud dengan haji akbar itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan kami jawab dalam ulasan berikut ini. 


1 Asal-Usul Istilah Haji Akbar

Istilah haji akbar telah digunakan Al Qur'an, yaitu dalam surat At Taubah. Allah berfirman,

 Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan RasulNya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakan kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.. (QS At Taubah:3).


2 Perbedaan Pendapat Di Antara Ulama Tentang Maksud Haji Akbar

Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang haji akbar yang dimaksudkan dalam ayat di atas. Imam Al Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam Shahih-nya berkenaan dengan tafsir ayat di atas, dari Abu Huralrah,

Dia mengabarkan, bahwa Abu Bakar Ash Shiddiq mengutusnya pada musim haji yang beliau diangkat sebagai amir haji oleh Rasulullah sebelum haji wada' dalam satu rombongan untuk mengumumkan kepada manusia, agar jangan ada seorangpun dari kaum musyrikin yang mengerjakan haji setelah tahun ini dan agar jangan ada seorangpun yang mengerjakan thawaf dalam keadaan telanjang.2

Humaid (salah seorang perawi) berkata,

"Hari Nahar (hari penyembelihan hewan kurban atau hari Idul Adha) adalah hari haji akbar berdasarkan hadits Abu Hurairah ini."3

Dalam lafadz lain disebutkan, dari Abu Hurairah, bahwa la berkata,



Abu Bakar mengutusku bersama beberapa orang pada hari Nahar di Mina. untuk mengumumkan agar jangan ada seorangpun dari kaum musyrikin yang mengerjakan haji setelah tahun ini,, dan agar Jangan ada seorangpun yang mengerjakan thawaf tanpa busana. Dan bahwasanya hari haji akbar adalah hari Nahar (Idul Adha). Sesungguhnya disebut haji akbar, karena orang-orang mengatakan haji ashgar. Lalu Abu Bakar berbicara di hadapan manusia pada tahun itu, sehingga tidak ada seorang musyrikpun yang mengerjakan haji pada tahun berikutnya, pada waktu Rasulullah mengerjakan haji wada'.4

Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan dalam kitab Fathul Bari,5 bahwa perkataan,



"Hari haji akbar adalah hari Nahar…"

adalah perkataan Humaid bin Abdurrahman (salah seorang perawi hadits yang meriwayatkan dari Abu Hurairah). la mengambil istimbath (kesimpulan) tersebut dari firman Allah surat At Taubah ayat 3 di atas, dan dari seruan yang dikumandangkan oleh Abu Hurairah atas perintah Abu Bakar pada hari Nahar. Itu menunjukkan, bahwa yang dimaksud haji akbar adalah hari Nahar.

Mengenai perkataan,


"sesungguhnya disebut haji akbar karena …"

yang termuat dalam hadits kedua di atas, Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan,


"Lafadz ini disebutkan juga dalam riwayat Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Abu Dawud''.

Asal riwayat ini terdapat dalam kitab Shahih secara marfu' dengan lafadz :


Hari apakah ini?"


Mereka berkata."Hari Nahar!"

Rasul berkata, "Hari ini adalah hari haji akbar."

Kemudian, para ulama berselisih pendapat tentang haji ashgar. Menurut jumhur ulama, maksudnya ialah umrah.

Abdurrazaq meriwayatkan secara maushul (tersambung sanadnya) dari jalur Abdullah bin Syaddad -salah seorang tabi'in senior- dan diriwayatkan juga secara maushul oleh Ath Thabari dari sejumlah ulama, seperti Atha' dan Asy Sya'bi.

Diriwayatkan pula dari Mujahid, bahwa yang dimaksud haji akbar adalah haji qiran. Sedangkan haji ashgar adalah haji ifrad. Ada pula ulama yang mengatakan, yang dimaksud dengan haji ashgar adalah hari Arafah, dan haji akbar adalah hari Nahar, karena pada hari itu disempurnakan manasik haji yang tersisa.

Menurut Sufyan Ats Tsauri, seluruh hari-hari haji (termasuk hari Arafah, hari Nahar dan tasyriq] adalah hari haji akbar, seperti halnya istilah hari Fath, hari Jamal, hari Shiffin dan sejenisnya. Pendapat seperti ini juga dinukil dari Mujahid dan Abu Ubaid. Pendapat ini didukung oleh As Suhaili. Dia menyebutkan, bahwa Ali membacakannya pada seluruh hari-hari haji.

Ada pendapat yang menyebutkan, bahwa ahli jahiliyah dahulu wuquf di Arafah, sedangkan kaum Quraisy wuquf di Muzdalifah. Lalu pada pagi hari Nahar, mereka semua berkumpul di Muzdalifah. Oleh karena itu, disebutlah hari itu sebagai hari haji akbar, karena seluruhnya (ahli jahiliyah dan kaum Quraisy) berkumpul di Muzdalifah."

Diriwayatkan dari Al Hasan, ia mengatakan, bahwa disebut hari haji akbar, karena pada hari itu bertepatan dengan hari besar seluruh agama-agama.

Ath Thabari meriwayatkan dari Abu Juhaifah dan yang lainnya, bahwa hari haji akbar itu ialah hari Arafah. Sementara Sa'id bin Jubair berpendapat, hari haji akbar adalah hari Nahar.6

At Tirmidzi meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib secara marfu' dan mauquf dengan lafadz,


"Hari haji akbar adalah hari Nahar."

Namun At Tirmidzi menguatkan riwayat yang mauquf. Ibnu Jarir Ath Thabari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Shahba' Al Bakri yang menyebutkan sebab munculnya anggapan sebagian orang, bahwa haji akbar itu adalah hari Nahar. Ia berkata,


"Aku bertanya kepada Ali bin Abi Thalib tentang hari haji akbar yang disebutkan dalam surat At Taubah ayat 3.
Ali berkata,"Sesungguhnya Rasulullah mengutus Abu Bakar bin Abi Quhafah untuk memimpin haji. Lalu beliau mengutusku bersamanya dengan membawa empat puluh ayat dari surat Al Bara'ah. Abu Bakar tiba di Arafah dan menyampaikan khutbah pada hari Arafah. Setelah menyampaikan khutbahnya, beliau memandang ke arahku lalu berkata,

“Bangkitlah, hai Ali dan sampaikanlah risalah Rasulullah''.
Lalu akupun bangkit dan membacakan kepada manusia empat puluh ayat dari surat Al Bara'ah (At Taubah). Kemudian kami bertolak dari Arafah dan tiba di Mina, aku melempar jumrah, menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut. Aku lihat jama'ah haji di Mina tidak seluruhnya menghadiri khutbah Abu Bakar pada hari Arafah. Akupun berkeliling ke kemah-kemah untuk membacakannya kepada mereka. Oleh karena itu kalian mengira, bahwa hari haji akbar itu adalah hari Nahar, padahal hari itu sebenarnya adalah hari Arafah."

Abu Ishaq pernah bertanya kepada Abu Juhiifah tentang hari haji akbar, ia menjawab,

 "Hari Arafah!"

Abu Ishaq bertanya,"Apakah menurut pendapatmu saja, atau pendapat seluruh sahabat Rasulullah?"

Beliau menjawab,"Dari pendapat seluruhnya."

Oleh karena itulah Umar bin Al Kaththab secara tegas mengatakan, bahwa hari haji akbar adalah hari Arafah. Pendapat ini diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas, Abdullah bin Az Zubair, Mujahid, Ikrimah, Atha' dan Thawus.

Sementara itu, para sahabat yang berpendapat bahwa hari haji akbar adalah hari Nahar, diantaranya ialah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abi Aufa, Al Mughirah bin Syu'bah, sebuah riwayat lain dari Abdullah bin Abbas, Abu Juhaifah. Sa'id bin Jubair, Abdullah bin Syaddad bin Al Haad, Nafi' bin Jubair bin Muth'im, Asy Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, Mujahid, Ikrimah, Abu Ja'far Al Baqir, Az Zuhri, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, bahwa mereka semua mengatakan hari haji akbar ialah hari Nahar.

Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir Ath Thabari dalam tafsirnya, berdasarkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al Bukhari di atas dan beberapa hadits lainnya.

Ibnu Jarir Ath Thabari menyebutkan hadits lain dari Abdullah bin Umar, bahwasanya ia berkata,


"Rasulullah berdiri di Jumrah pada hari Nahar ketika haji Wada'. Rasulullah berkata,''Ini adalah hari haji akbar'."

Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih dari hadits Abu Jabir -namanya adalah Muhammad bin Abdul Malik.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan hadits lain yang mendukung pendapatnya dari Abu Bakrah, ia berkata:



Pada hari Nahar, Rasulullah duduk di atas unta beliau. Orang-orang berdiri memegang tali kekangnya. Rasulullah bertanya,"Hari apakah ini?"
Kami diam, karena kami mengira beliau akan menyebutkan nama lain selain dari nama yang kami kenal. Kemudian beliau berkata,"Bukankah hari Ini adalah hari haji akbar?" (Sanadnya shahih, asalnya terdapat dalam kitab Ash Shahih).
Diriwayatkan pula oleh Abu Ahwash dari Amru bin Al Ahwash, bahwa ia mendengar Rasulullah berkata pada hari haji wada':

 "Hari apakah ini?" Mereka berkata, "Hari haji akbar."

Riwayat-riwayat di atas rnenguatkan pendapat yang rnengatakan, bahwa hari haji akbar adalah hari Nahar. Sementara itu, diriwayatkan dari Sa'id bin Al Musayyib, bahwa hari haji akbar adalah hari kedua dari hari Nahar. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya.7


3 Kesimpulan Masalah

Kesimpulannya, dalam masalah ini, ada beberapa pendapat ulama. sebagai berikut:


Pendapat yang rnengatakan hari haji akbar adalah hari Arafah.
Pendapat yang rnengatakan hari haji akbar adalah hari Nahar (hari Idul Adha).

Pendapat yang rnengatakan, bahwa hari haji akbar adalah hari kedua dari hari Nahar.
Pendapat yang rnengatakan, bahwa haji akbar adalah haji qiran, sedangkan haji ashgar adalah haji ifrad.
Pendapat yang rnengatakan, bahwa hari haji akbar adalah seluruh hari-hari haji.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa haji akbar adalah hari Arafah, dan haji ashgar adalah hari Nahar.
Sebagian ulama lainnya berpendapat, haji akbar adalah haji, dan haji ashgar adalah umrah.
Namun, seluruh pendapat tersebut dapat disatukan kepada pendapat yang kelima. Yaitu hari haji akbar adalah seluruh hari-hari haji, termasuk di dalamnya hari Arafah, hari Mina, hari Muzdalifah, hari Nahar dan hari-hari tasyriq. Karena, para sahabat maupun tabi'in yang berpendapat haji akbar adalah hari Nahar tidak menafikan jika haji akbar itu juga hari Arafah. Bahkan ada sebagian sahabat yang berpendapat, bahwa hari haji akbar adalah hari Arafah dan juga hari Nahar, misalnya seperti Turjumanul Al Qur'an Abdullah bin Abbas. Demikian pula sebaliknya. Wallahu a'lam bish shawab.

Catatan Kaki

…2
Shahih Bukhari
…3
Silakan lihat Shahih Al Bukhari, hadits nomor 4657, dari hadits Abu Hurairah.
…4
Silahkan lihat Shahih Al Bukhari dalam kitab Al Jizyah dari hadits Abu Hurairah.
…5
Juz Vlll/407..
…6
Silahkan lihat Fathul Bari VIII/407-408.
…7
Silahkan lihat riwayat-riwayat ini dalam Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Ath Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir.

::: BILA SHALAT TERASA BERAT… :::


Bismillah Assalamu Alaikum

Ustadz Aan Chandra Thalib حفظه الله تعالى
“Bila shalat terasa berat bagimu, maka ketahuilah bahwa di dalam hatimu ada kemunafikan. Karena merasa malas untuk menunaikan sholat merupakan sikap orang-orang munafik yang Allah kabarkan dalam firman-Nya:
وإذا قاموا إلى الصلاة قاموا كسالى
“…Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas… “(QS. An Nisa ‘: 142)
Namun bila engkau merasa bahwa sholat begitu ringan, hatimupun gembira karenanya maka itu merupakan tanda bahwa imanmu kokoh”
(Ibnu Utsaimin dalam syarah Shohih Muslim)

Catatan:
Sejenak mari kita bertanya pada diri masing-masing, bagaimanakah kedudukan sholat di hati kita..?
Apakah kita termasuk orang yang semangat dalam melaksanakan sholat ataukah sebaliknya.? Jawaban terhadap dua pertanyaan diatas akan menjadi penentu apakah kita termasuk orang yang beriman ataukah orang yang munafik.?
Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita memberi perhatian yang lebih terhadap sholat, yang merupakan tiang agama dan sekaligus sebagai penentu baik buruknya amalan kita. Menjaga sholat berarti menjaga agama.

Dalam risalah Ta’dzim As-Shalah (hal:6) Prof. Dr. Abdurrazzak bin Abdul Muhsin Al-Abbad mengatakan:
“Agama seorang muslim tidak akan kokoh, amalannya tidak akan baik dan seluruh urusannya baik dunia maupun akhirat akan berantakan sampai ia menegakkan sholat sebagaimana yang diperintahkan. Yaitu dengan keimanan yang kokoh, penghambaan yang tulus serta mengikuti petunjuk nabi shallallahu alaihi wa sallam”
Wallahu a’lam

Saturday, August 8, 2015

Keutamaan Sepuluh Hari (Pertama) Bulan Dzulhijjah



Departemen Agama Arab Saudi

Sesungguhnya merupakan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala, dijadikan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang shalih musim-musim untuk memperbanyak amal shaleh. Diantara musim-musim tersebut adalah sepuluh hari (pertama) bulan Dzul Hijjah yang keutamaannya dinyatakan oleh dalil-dalil dalam kitab dan Sunnah.
 
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): "Demi fajar, dan malam yang sepuluh" (Al Fajr 1-2). Ibnu Katsir berkata: “ Yang dimaksud adalah sepuluh hari (pertama) bulan Dzul Hijjah“

2. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “…dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan”(Al Hajj 28). Ibnu Abbas berkata: “ (Yang dimaksud adalah) hari-hari sepuluh (bulan Dzul Hijjah) “.

3. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dia berkata: Rasulullah bersabda (yang artinya): "Tidak ada amal perbuatan yang lebih utama dari (amal yang dilakukan pada) sepuluh hari bulan Dzul Hijjah, mereka berkata : Tidak juga jihad (lebih utama dari itu) ?, beliau bersabda: Tidak juga jihad, kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan jiwanya dan hartanya dan kembali tanpa membawa sesuatupun "(Riwayat Bukhori)

4. Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu dia berkata: Rasulullah bersabda (yang artinya): "Tidak ada hari-hari yang lebih besar di sisi Allah Ta’ala dan tidak ada amal perbuatan yang lebih dicintai selain pada sepuluh hari itu. Maka perbanyaklah pada hari-hari tersebut Tahlil, Takbir dan Tahmid " (Riwayat Tabrani dalam Mu’jam Al Kabir)

5. Adalah Sa’id bin Jubair –rahimahul-lah- dan dia yang meriwayatkan hadits Ibnu Abbas yang lalu, jika datang sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah sangat bersungguh-sungguh hingga hampir saja dia tidak kuasa (melaksa-nakannya) “ (Riwayat Darimi dengan sanad yang hasan)

6. Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya Fathul Baari: "Tampaknya sebab mengapa sepuluh hari Dzul Hijjah diisti-mewakan adalah karena pada hari tersebut merupakan waktu berkumpul-nya ibadah-ibadah utama; yaitu shalat, shaum, shadaqah dan haji dan tidak ada selainnya waktu seperti itu ".

7. Para ulama menyatakan: "Sepuluh hari Dzul Hijjah adalah hari-hari yang paling utama, sedangkan malam-malam terakhir bulan Ramadhan adalah malam-malam yang paling utama ".

Dinukil dari Buku Edisi Indonesia:
"Keutamaan sepuluh hari (pertama) Dzulhijjah
dan Hukum berkurban dan ‘Iedhul Adha yang berbarakah"
 
Seksi Terjemah Kantor Sosial, Dakwah & Penyuluhan Bagi Pendatang
Pemerintah Arab Saudi
 
 Sumber: www.salafy.or.id

Friday, August 7, 2015

Grilled Beef Flank Steak “Pastrami” – Backyard Deli

I’ll do a proper pastrami one of these days. Maybe right after I get a smoker. But in the meantime, this pastrami-spiced beef flank steak should do nicely. As with all "cheater" recipes, managing your expectations is key.

You can’t get the texture and color of a real “pastrami” without the curing step, where the meat is soaked in a brine, before being spiced/smoked, but you can get pretty close to the flavor, using the spice rub seen herein.

We’ve used a similar technique to turn plain corned beef into “pastrami,” as well as create a duck Reuben; one of my favorite videos of all time. By the way, the ingredient amounts below have been adjusted slightly, as my spice rub was a tad bit overpowering.

I’ve backed down the black pepper and mustard, but as with all spice amounts, that’s really up to you. If you simply put salt and pepper on a flank steak, and grill it properly, you’ll have something delicious to eat, so keep that in mind as you rub your meat. 

I ate mine fresh, but if you let it cool, slice it thin, and warm it up in a pan with a little splash of water, and a tiny pinch of sugar, you’ll have something even more pastrami-like. I really hope you give this a try soon. Enjoy!

SPECIAL NOTE: I let my meat warm to room temp before grilling, so the inside reaches my desired temp a little quicker, and before the outside spice rub gets too black. Conversely, when grilling a steak, and there's nothing to burn on the surface, I generally like the meat cold, so the outside has plenty of time to sear, before the meat inside is done. 


Ingredients for 4 large portions:
1 trimmed beef flank steak (usually 1.5 to 1.75 pounds)
2 tsp vegetable oil
1 tbsp freshly ground black pepper
1 tbsp ground coriander
1 tbsp kosher salt
2 tsp paprika
1/2 tsp dry mustard
- For best results, cook to a medium. I pulled at about 135 F. internal temp, which will rise to about 140 F. as it rests.
-Serve with slightly sweetened mustard and rye bread

Wednesday, August 5, 2015

Sifat Kedua Tangan Allah Ta’ala



Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
Keimanan terhadap penetapan adanya Tangan bagi Allah merupakan keyakinan Ahlus Sunnah wal jama’ah , sebagaimana telah kami jelaskan pada edisi lalu (baca: Ahlus Sunnah Beriman Bahwa Allah Mempunyai Tangan -red). Keyakinan ini makin jelas dan tegas karena Al-Qur’an dan as-Sunnah telah menyebutkan adanya sifat Tangan bagi Allah secara terperinci dan disebutkan dengan kanan.
KEDUA TANGAN ALLAH ITU KANAN

Allah سبحانه وتعالى berfirman (yang artinya):Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Rabb dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.(az-Zumar: 67)

Demikian pula dalam firmanNya (yang artinya):Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia dengan tangan kanan. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. (al-Haaqqah: 44-46)

Pada kedua ayat di atas Allah سبحانه وتعالى menyebutkan tangan dengan tangan kanan. Pada surat Az-Zumar Allah berfirman (yang artinya): “Dan langit digulung dengan Tangan Kanan-Nya”. Sedangkan dalam surat al-Haqqah dikatakan (yang artinya): “Aku ambil dengan dengan tangan kanan”.

Dalam tafsir ayat az-Zumar ayat 67 ini, disebutkan hadits yang shahih dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda (yang artinya): "Allah Tabaraka wa ta’ala menggenggam bumi pada hari kiamat dan melipat langit dengan tangan kanannya, kemudian berkata “Aku adalah Raja, mana raja-raja dunia?" (HR. Bukhari-Muslim).

Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Umar رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda (yang artinya): Allah Azza wa Jalla menggulung langit pada hari kiamat dan menggenggam-nya dengan tangan kanan-Nya seraya berkata: “Aku adalah Raja, mana orang-orang yang sombong?” Kemudian menggulung bumi-bumi dan menggenggamnya dengan tangannya yang lain seraya berkata: “Aku adalah Raja, mana raja-raja dunia, mana orang-orang yang sombong?” (HR. Bukhari Muslim)
Perlu diketahui, dalam hadits yang kedua ini disebutkan “tangan yang lain”, ini yang lebih shahih, sedangkan dalam lafadh lainnya disebutkan “dengan tangan kirinya”. Berkata Baihaqi dalam Asma’ wa Sifat: “Demikianlah diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Bakar ibnu Abi Syaibah, sedangkan sebutan “tangan kiri” disebutkan secara menyendiri oleh Umar Ibnu Hamzah dari Salim. Padahal telah diriwayatkan hadits yang sama oleh Nafi’ dan Ubaidullah Ibnu Muqsim dari Ibnu Umar, keduanya tidak menyebutkan kalimat “kiri”. Demikian pula telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan lain-lainnya dari Nabi صلى الله عليه وسلم, semuanya tidak ada yang menyebutkan “tangan kiri”. (Lihat Asma’ wa Sifat, Baihaqi, hal. 139-140)

Apalagi telah diriwayatkan dengan shahih bahwa kedua tangan Allah adalah kanan, sebagaimana dalam sabdanya (yang artinya):Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di sisi Allah (mereka berada) di atas mimbar dari cahaya dari sisi kanan Allah Azza wa Jalla. Dan Kedua Tangan Allah adalah Kanan … (HR. Muslim)
Yang demikian karena tangan Allah keduanya Maha Sempurna, tidak sama dengan tangan mahlukNya. Sedangkan istilah kiri mengandung makna kekurangan dan kelemahan pada mahluk, maka tidak layak disebutkan untuk tangan Allah yang Maha Sempurna.

JARI-JEMARI ALLAH

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Ash, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda (yang artinya): Sesungguhnya hati Bani Adam seluruhnya berada di antara dua jari dari jari ar-Rahman (Allah) seperti hati yang satu. Allah memalingkannya sekehendaknya. (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain Rasulullah صلى الله عليه وسلم membenarkan perkataan seorang Rahib Yahudi ketika menyebutkan jari-jemari bagi Allah, seperti dalam riwayat dari Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه, ia berkata: Seorang pendeta datang berjumpa Nabi صلى الله عليه وسلم lalu berkata: Wahai Muhammad atau Wahai Abu al-Qasim! Pada Hari Kiamat Allah سبحانه وتعالى memegang langit, bumi, gunung-gunung, pohon-pohon, air, tanah dan semua makhluk dengan jari-jemariNya. Kemudian Dia menggoyangkannya sambil berfirman: “Akulah Raja, Akulah Raja”. Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم tertawa karena kagum mendengar kata-kata pendeta tersebut sambil membenarkannya. Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya): Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Rabb dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (HR. Bukhari Muslim)
Dan dalam riwayat lain: Datang seorang rahib dari Yahudi dan berkata: “Allah meletakkan langit-langit di jari-Nya pada hari kiamat”, maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم pun terkagum-kagum membenarkan berita tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim)
TELAPAK TANGAN ALLAH

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda (yang artinya): Tidaklah seseorang bershadaqah dengan shadaqah yang baik –dan Allah tidak menerima kecuali yang baik—kecuali Allah yang Maha Rahman akan mengambilnya dengan Tangan kanan-Nya, walaupun sebuah kurma, Allah akan membesarkannya di Telapak Tangan Allah yang Maha Rahman hingga menjadi lebih besar dari gunung sebagaimana salah seorang kalian membesarkan anak kambing atau anak unta. (HR. Bukhari dan Muslim)
LENGAN ALLAH

Didalam riwayat yang agak panjang, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda (yang artinya): Apakah unta-unta kaummu yang lahir dalam keadaan sehat dan utuh telinga-telinganya kemudian kamu dengan sengaja mengambil pisau dan memotong telinga-telinganya dan kamu katakan unta-unta ini merdeka?!. Dan kamu robek telinga-telinganya atau kamu cacati kulit-kulitnya, kemudian kamu katakan unta-unta ini haram? Kemudian kamu haramkan untuk dirimu dan keluargamu?! Dia menjawab: “Ya”. Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Sungguh seluruh apa yang diberikan Allah kepadamu (dari binatang ternak itu) adalah halal. Ingat Lengan Allah lebih kuat dari lenganmu dan Pisau Allah lebih tajam dari pisaumu.” (HR. Ahmad, Hakim, Abu Dawud, Baihaqi, Thabrani dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata: “Hadits Hasan Shahih). Lihat Tahqiq Kitab Asma’ wa Sifat oleh Al-Baihaqi, hal. 170).
SIKAP AHLUS SUNNAH TERHADAP RIWAYAT-RIWAYAT DI ATAS
Berkata Sufyan Ibnu Uyainah: Setiap apa yang Allah sifati diri-Nya dalam kitab-Nya maka tafsirnya adalah membacanya dan diam. (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 248)

Berkata Ibnu Syihab Az-Zuhri: Allah yang menerangkan, rasul yang menyampaikan dan atas kita untuk menerima. (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 249)

Berkata Wahb bin Munabbih ketika ditanya oleh seorang tokoh sesat Ja’d bin Dirham tentang asma’ wa sifat: Celaka engkau wahai Ja’d karena permasalahan ini. Sungguh aku menduga engkau akan binasa. Wahai Ja’d, kalau saja Allah tidak mengkabarkan dalam kitab-Nya bahwa dia memiliki tangan, mata atau wajah, tentu kamipun tidak akan mengatakannya.Bertakwalah engkau kepada Allah!” (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 190)

Berkata al-Walid ibnu Muslim: “Aku telah bertanya kepada AlAuza’I, Sufyan Ats-tsauri, Malik bin Anas tentang hadits-hadits sifat dan ru’yah (tentang dilihatnya Allah pada hari kiamat), mereka semua menjawab: Langsungkanlah, sebagaimana adanya tanpa mempertanyakan seperti apa”. (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 249)

Berkata Imam Malik bin Anas: “Berhati-hatilah kalian terhadap kebid’ahan.” Beliau ditanya: “Apakah bid’ah itu”. Beliau menjawab: “Ahlul bid’ah adalah mereka yang membicarakan tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, kalam Allah, Ilmu Allah dan kekuasan-Nya tanpa ilmu. Mereka tidak mau diam sebagaimana diamnya para shahabat dan tabi’in terhadap masalah tersebut”. (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 244)

Berkata Imam Al-Barbahari: “Tidak boleh berbicara tentang Allah kecuali dengan apa Allah sifatkan diriNya dengannya dalam al-Qur’an dan apa yang diterangkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada para shahabatnya”. Ia juga berkata: “Tidak berbicara tentang sifat-sifat Rabb dengan pertanyaan: “Bagaimana?” atau “mengapa?”, kecuali orang yang ragu terhadap Allah tabaraka wa ta’ala”. (Syarhus Sunnah, hal. 70)
Sumber: www.salafy.or.id
judul Asli: "Mengimani Sifat Kedua Tangan Allah Ta’ala"

Fresh Fig and Goat Cheese…Tart?

There are worse problems in the kitchen than making something that tastes amazing, but is very difficult to name. Like, for example, something that’s easy to name, but tastes terrible. Luckily, this fresh fig and goat cheese “tart” was the former.

I wanted to make some sort of crostata, or galette-type, free-form tart, which I’ve done successfully in the past (and have the video to prove it), but instead of using standard pie crust dough, I decided to try something a little more rustic, and savory, using spelt flour and olive oil.

I knew this would pair beautifully with the sweet fruit, and tangy cheese, but what I didn’t know, was that it would end up being way too crumbly, and pretty much useless as a tart crust. So, I crumbled it into the bottom of a shallow ramekin, and the rest is history.

As predicted, the combination of flavors really worked extraordinarily well, and the somewhat gritty texture of the “crust,” added to the interest. But, what the heck is this? I don’t think it’s a tart. An upside-down crumble? Sandy tart? I give up, but if you have some time to kill, I’d love to know what you would call this delicious accident. Semantics aside, I hope you give this a try soon. Enjoy!


For  the crust (makes enough for about 4 small tarts):
1 cup sprouted spelt flour
1 tsp kosher salt
1 tsp sugar
1/4 cup olive oil
3 or 4 tbsp water, or enough to form a crumbly dough

For one “tart:”
about 1/3 cup “crust” mixture
2 ounces creamy fresh goat cheese
1 black mission fig, sliced
tiny pinch of salt
very tiny pinch of cayenne
1 tbsp white sugar
spring of fresh lemon thyme

Monday, August 3, 2015

Shalat Gerhana


Syaikh Shalih Bin Fauzan Al Fauzan
Allah berfirman (yang artinya), "Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada orang-orang yang mengetahui" (Yunus:5)
Dan Dia juga berfirman (yang artinya), "Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ilalah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) bersujud kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah" (Fushilat:37)
Shalat gerhana adalah sunnah muakadah menurut kesepakatan para ulama, dan dalilnya adalah As Sunnah yang tsabit dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.
Gerhana adalah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah untuk menakut-nakuti para hamba-Nya. Allah berfirman (yang artinya), "Dan kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti" (Al Israa:59)
Ketika terjadi gerhana matahari di jaman Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau keluar dengan bergegas, menarik bajunya, lalu shalat dengan manusia, dan memberitakan kepada mereka: bahwa gerhana adalah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, dengan gerhana tersebut Allah menakut-nakuti para hamba-Nya; boleh jadi merupakan sebab turunnya adzab untuk manusia, dan memerintahkan untuk mengerjakan amalan yang bisa menghilangkannya. Beliau memerintahkan untuk mengerjakan sholat, berdo’a, istighfar, bersedekah, memerdekakan budak, dan amalan-amalan shalih lainnya ketika terjadi gerhana; hingga hilang musibah yang menimpa manusia.
Dalam gerhana terdapat peringatan bagi manusia dan ancaman bagi mereka agar kembali kepada Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya.
Mereka di zaman jahiliyyah meyakini bahwa gerhana terjadi ketika lahirnya atau matinya seorang pembesar. Maka Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam membantah keyakina tersebut dan menjelaskan tentang hikmah ilahiyyah pada terjadinya gerhana.
Al Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari hadits Abu Mas’ud Al Anshari berkata (yang artinya),"Terjadi gerhana matahari pada hari meninggalnya Ibrahim Bin Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam maka manusia mengatakan, "Terjadi gerhana matahari karena kematian Ibrahim". Maka Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ""Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak terkena gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang, jika kalian melihat yang demikian itu, maka bersegeralah untuk ingat kepada Allah dang mengerjakan Sholat" ".[1]
Dalam hadits lain dalam Ash Shahihain, (yang artinya), "Maka berdoalah kepada Allah dan kerjakanlah Sholat hingga matahari terang".[2]
Dari Shahih Al Bukhari dari Abu Musa, (artinya), "Tanda-tanda yang Allah kirimkan ini bukanlah karena kematian atau kehidupan seseorang, tetapi Allah sedang manakut-nakuti hamba-hamba-Nya dengannya, maka jika kalian melihat sesuatu yang demikian itu, bersegeralah untuk mengingat Allah, berdo’a dan meminta ampun kepada-Nya".[3]
Allah Subhanahu Wata’ala memberlakukan pada dua tanda kekuasaan-Nya yang besar ini (matahari dan bulan) kusuf dan khusuf (gerhana); agar para hamba mengambil pelajaran dan tahu bahwa keduanya adalah makhluk yang terkena kekurangan dan perubahan sebagaimana makhluk-makhluk lainnya; untuk menunjukkan kepada hamba-Nya dengan peritiwa itu atas kekuasaan-Nya yang sempurna dan hanya Dialah yang berhak untuk diibadahi sebagaimana firman Allah (yang artinya), "Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ilalah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) bersujud kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah" (Fushilat:37)
Waktu shalat gerhana: dari mulai terjadinya gerhana sampai hilang berdasar sabda beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya), "Apabila kalian melihat (artinya: sesuatu dari peristiwa tersebut), maka shalatlah". (Mutafaqqun ‘Alaih) [4]
Dan dalam hadits lainnya (yang artinya), "Dan jika kalian melihat yang demikian itu maka sholatlah hingga matahari kelihatan". (Diriwayatkan oleh Muslim) [5]
Shalat gerhana tidak diqadha setelah hilangnya gerhana tersebut, karena telah hilang waktunya. Jika gerhana telah hilang sebelum mereka mengetahuinya, maka mereka tidak perlu melakukan shalat gerhana.
Cara shalat gerhana: mengerjakan shalat 2 raka’at dengan mengeraskan bacaan padanya, menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama, membaca pada rakaat pertama surat Al Fatihah dan surat yang panjang seperti surat Al Baqarah atau yang seukuran dengannya, kemudian ruku’ dengan ruku’ yang panjang, kemudian mengangkat kepalanya dan membaca:
 


Artinya, "Maha mendengar Allah terhadap orang yang memuji-Nya. Wahai Robb kami, bagi Engkaulah segala puji"
Setelah i’tidal, melakukan seperti shalat-shalat yang lainnya, kemudian membaca Al Fatihah dan surat yang lebih pendek dari yang pertama seukuran surat Ali ‘Imran, kemudian memanjangkan ruku’nya, lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian mengangkat kepalanya dan membaca,

 

Artinya, "Maha mendengar Allah terhadap orang yang memuji-Nya. Wahai Robb kami,bagi Engkaulah segala puji dengan pujian yang banyak, baik dan penuh keberkahan padanya, sepenuh langit, sepenuh bumi dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki dari segala sesuatu sesudahnya".
Kemudian sujud dua kali yang panjang dan tidak memperlama duduk diantara dua sujud, kemudian shalat untuk raka’at yang kedua seperti yang pertama dengan dua ruku’ dan dua sujud yang panjang, sebagaimana yang dikerjakan para raka’at yang pertama, kemudian tasyahud dan salam.
Inilah salat gerhana: sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dan sebagaimana yang diriwayatkan dari beliau tentang hal itu melalaui beberapa jalan, sebagiannya di Ash Shahihain.
Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘Anha (yang artinya), "Matahari mengalami gerhana pada masa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, maka beliau berdiri, bertakbir, dan orang-orang berbaris dibelakang beliau. Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam membaca bacaan yang panjang lalu beliau ruku’ dengan ruku’ yang lama, kemudian mengangkat kepalanya dan mengucapkan, "SAMI’ ALLAAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANAA WA LAKA AL HAMDU". Kemudian beliau berdiri dan membaca bacaan yang panjang lebih pendek dari bacaan yang pertama, lalu takbir dan ruku’ yang lama lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian mengucapkan, "SAMI’ ALLAAHU LIMAN HAMIDAH, ROBBANAA WA LAKA AL HAMDU". Kemudian sujud. Lalu beliau mengerjakan yang seperti itu pada rakaat yang kedua hingga sempurna empat ruku’ dan empat sujud. Dan matahari kembali terlihat sebelum beliau selesai" (Muttafaqun ‘Alaih) [6]
Dan disunnahkan untuk shalat dengan berjama’ah berdasar perbuatan Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan Boleh untuk mengerjakan sendiri-sendiri, tetapi mengerjakannya dengan berjama’ah lebih utama.
Disunnahkan bagi imam untuk memberikan nasehat kepada manusia setelah shalat gerhana, mengingatkan mereka dari kelalaian dan kelengahan serta memerintahkan mereka untuk memperbanya do’a dan istighfar.
Dalam Ash Shahih dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha (artinya),"Bahwa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah selesai shalat dan matahari telah nampak, lalu beliau berkhutbah di hadapan manusia, memuji Allah dan memuja-Nya, dan bersabda, "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak terkena gerhana karena kamatian atau kehidupan seseorang, jika kalian melihat yang demikian itu, maka berdo’alah kepada Allah, bertakbir, mengerjakan shalat, dan bershadaqahlah… "."  [7]
Apabila shalat sudah selesai sebelum gerhana hilang, hendaknya mengingat dan berdo’a kepada Allah hingga gerhana tersebut hilang, dan tidak perlu mengulang shalat, seharusnya menyempurnakan shalat dan tidak menghentikannya; berdasar firman Allah (yang artinya),"Dan janganlah kamu merusakkan amal-amalmu"  (Muhammad:33)
Maka shalat dilakukan pada waktu terjadinya gerhana berdasar sabda beliau, "hingga gerhana itu hilang", dan sabda beliau, "Hingga dihilangkan apa yang menimpa kalian".[8]
Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Gerhana terkadang lama waktunya dan terkadang pendek, tergantung gerhananya. Terkadang tertutup semuanya (gerhana total), terkadang separuh atau sepertiganya. Jika yang tertutup besar; hendaknya memanjangkan shalat hingga membaca Al Baqarah dan yang semisalnya pada raka’at pertama dan setelah ruku’ yang kedua hendaknya membaca yang lebih pendek. Telah datang hadits-hadits shahih dari Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tentang apa yang kami sebutkan. Dan disyariatkan untuk mempercepat shalat jika telah hilang sebabnya. Begitu pula jika mengetahui bahwa gerhana tersebut tidak lama. Dan apabila gerhana tersebut menipis sebelum shalat, maka supaya memulai shalat dan memendekkannya, itulah pendapat jumhur Ahli Ilmu; karena shalat tersebut disyariatkan berdasarkan’illah (sebab), dan ‘illah itu telah hilang. Jika gerhana itu hilang sebelum shalat; maka tidak perlu shalat….". [9]
FootNote:
[1] Dikeluarkan oleh AL Bukhari ( Nomer 1041, 1057, 3204) dan Muslim (Nomer 911).
[2] Muttafaq ‘Alaih dari hadits Al Mughirah Bin Syu’bah; Al Bukhari (1060) [2/705] ini adalah lafadznya; dan Muslim (2119) [2/457].
[3] Dikeluarkan oleh Al Bukhari (1059) [2/704] Al Kusuf 14; dan Muslim (912).
[4] Muttafaq ‘Alaih dari hadits Mughirah: Al Bukhari (1043) [2/679] Al Kusuf 1, ini adalah lafadznya; dan Muslim (2119) [3/457] Al Kusuf 5
[5] Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Jabir (2099) [3/447] Al Kusuf 5.
[6] Muttafaq ‘Alaih: Al Bukhari (1046) [2/688]; dan Muslim (2088) [3/440].
[7] Muttafaq ‘Alaih: Al Bukhari (1044) [2/682]; dan Muslim (2086) [3/438].
[8] Dikeluarkan oleh Al Bukhari (1063) [2/706] Al Kusuf 17. Dan asalnya adalah Muttafaq ‘Alaih dari hadits ABu Mas’ud Al Anshari: Al Bukhari (1041) [2/678] Al Kusuf 1; dan Muslim (2111) [3/453] Al Kusuf 5.
[9] Lihat "Majmu Fataawaa Syaikh Al Islam" 
Dinukil dari Kitab Al Mulakhkhash Al Fiqhi
Edisi Indonesia: Ringkasan Fiqih Islami 1
Penerbit Pustaka Salafiyah

Next Up: Something with Figs


Saturday, August 1, 2015

Summer Vegetable Cavatelli with Fresh Corn “Cream” – Corn Not Cows!

There’s a restaurant near us that features a burrata-filled tortellini, served in a cream sauce fortified with fresh, sweet corn. It’s a wonderful dish, and was the inspiration for this simple, summer vegetable cavatelli.

I was going to use reduced cream, with fresh, pureed corn stirred in at the end, but then I had a thought. What if skipped the dairy altogether, and made the sauce 100% cob-based? I was also out of cream.

So, I blended the fresh corn with some chicken broth, and ended up with what looked like corn milk. At first, I thought I’d made it too thin, but after a few tests reducing some in a pan, I realized it was thickening up beautifully.

While I was very happy with this, in hindsight, I’d do a few things differently next time. I went with pancetta, but I think the smokiness of bacon would have made this even more delicious. I also think you should probably add the corn cream to the vegetables, and bring it to a simmer before the pasta is added.

Of course, this recipe will work with whatever fresh seasonal vegetables you happen to find at the market, as long as its something that tastes good with sweet corn. In related news, everything tastes good with sweet corn. I hope you give this a try soon. Enjoy!


Ingredients for 4 portions:

For the corn “cream” (will make more than needed for the recipe)
2 ears fresh white corn, or other sweet corn
2 cups chicken broth or water

For the pasta:
2 cups cavatelli
1 tbsp olive oil
4 ounces diced bacon or pancetta (sausage would also work nicely)
1/2 cup diced sweet red pepper
1 1/2 cup diced zucchini
pinch of cayenne
salt and pepper to taste
1 1/2 to 2 cups corn “cream,” or as needed
1 cup halved sweet cheery tomatoes
1 tbsp chopped Italian parsley
1 tbsp finely sliced basil leaves
grated Parmigiano Reggiano
auto insurance, auto insurance quotes, auto insurance companies, auto insurance florida, auto insurance quotes online, auto insurance america, auto insurance comparison, auto insurance reviews, auto insurance calculator, auto insurance score, auto insurance quotes, auto insurance companies, auto insurance florida, auto insurance quotes online, auto insurance america, auto insurance comparison, auto insurance reviews, auto insurance calculator, auto insurance score, auto insurance ratings

Follow us on Facebook :P

Blogger news