Monday, August 10, 2015

Pembahasan Tentang Haji Akbar


Banyak Muslim mengejar Haji akbar  yang pahalanya di anggap sangat besar. Barangkali, pembaca sering mendengar istilah haji akbar. Berbagai macam asumsi tentang haji akbar ini berkembang di tengah masyarakat, semisal, bahwa haji akbar adalah wuquf di padang Arafah yang bertepatan pada hari Jum'at. Sebagian berasumsi, bahwa haji akbar adalah hari Idul Adha yang bertepatan dengan hari Jum'at. 

Yang menjadi pertanyaan, dari manakah istilah haji akbar itu? Adakah dasar penggunaan istilah haji akbar ini? Kalaupun ada, apa yang dimaksud dengan haji akbar itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan kami jawab dalam ulasan berikut ini. 


1 Asal-Usul Istilah Haji Akbar

Istilah haji akbar telah digunakan Al Qur'an, yaitu dalam surat At Taubah. Allah berfirman,

 Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan RasulNya kepada manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakan kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.. (QS At Taubah:3).


2 Perbedaan Pendapat Di Antara Ulama Tentang Maksud Haji Akbar

Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang haji akbar yang dimaksudkan dalam ayat di atas. Imam Al Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dalam Shahih-nya berkenaan dengan tafsir ayat di atas, dari Abu Huralrah,

Dia mengabarkan, bahwa Abu Bakar Ash Shiddiq mengutusnya pada musim haji yang beliau diangkat sebagai amir haji oleh Rasulullah sebelum haji wada' dalam satu rombongan untuk mengumumkan kepada manusia, agar jangan ada seorangpun dari kaum musyrikin yang mengerjakan haji setelah tahun ini dan agar jangan ada seorangpun yang mengerjakan thawaf dalam keadaan telanjang.2

Humaid (salah seorang perawi) berkata,

"Hari Nahar (hari penyembelihan hewan kurban atau hari Idul Adha) adalah hari haji akbar berdasarkan hadits Abu Hurairah ini."3

Dalam lafadz lain disebutkan, dari Abu Hurairah, bahwa la berkata,



Abu Bakar mengutusku bersama beberapa orang pada hari Nahar di Mina. untuk mengumumkan agar jangan ada seorangpun dari kaum musyrikin yang mengerjakan haji setelah tahun ini,, dan agar Jangan ada seorangpun yang mengerjakan thawaf tanpa busana. Dan bahwasanya hari haji akbar adalah hari Nahar (Idul Adha). Sesungguhnya disebut haji akbar, karena orang-orang mengatakan haji ashgar. Lalu Abu Bakar berbicara di hadapan manusia pada tahun itu, sehingga tidak ada seorang musyrikpun yang mengerjakan haji pada tahun berikutnya, pada waktu Rasulullah mengerjakan haji wada'.4

Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan dalam kitab Fathul Bari,5 bahwa perkataan,



"Hari haji akbar adalah hari Nahar…"

adalah perkataan Humaid bin Abdurrahman (salah seorang perawi hadits yang meriwayatkan dari Abu Hurairah). la mengambil istimbath (kesimpulan) tersebut dari firman Allah surat At Taubah ayat 3 di atas, dan dari seruan yang dikumandangkan oleh Abu Hurairah atas perintah Abu Bakar pada hari Nahar. Itu menunjukkan, bahwa yang dimaksud haji akbar adalah hari Nahar.

Mengenai perkataan,


"sesungguhnya disebut haji akbar karena …"

yang termuat dalam hadits kedua di atas, Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan,


"Lafadz ini disebutkan juga dalam riwayat Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Abu Dawud''.

Asal riwayat ini terdapat dalam kitab Shahih secara marfu' dengan lafadz :


Hari apakah ini?"


Mereka berkata."Hari Nahar!"

Rasul berkata, "Hari ini adalah hari haji akbar."

Kemudian, para ulama berselisih pendapat tentang haji ashgar. Menurut jumhur ulama, maksudnya ialah umrah.

Abdurrazaq meriwayatkan secara maushul (tersambung sanadnya) dari jalur Abdullah bin Syaddad -salah seorang tabi'in senior- dan diriwayatkan juga secara maushul oleh Ath Thabari dari sejumlah ulama, seperti Atha' dan Asy Sya'bi.

Diriwayatkan pula dari Mujahid, bahwa yang dimaksud haji akbar adalah haji qiran. Sedangkan haji ashgar adalah haji ifrad. Ada pula ulama yang mengatakan, yang dimaksud dengan haji ashgar adalah hari Arafah, dan haji akbar adalah hari Nahar, karena pada hari itu disempurnakan manasik haji yang tersisa.

Menurut Sufyan Ats Tsauri, seluruh hari-hari haji (termasuk hari Arafah, hari Nahar dan tasyriq] adalah hari haji akbar, seperti halnya istilah hari Fath, hari Jamal, hari Shiffin dan sejenisnya. Pendapat seperti ini juga dinukil dari Mujahid dan Abu Ubaid. Pendapat ini didukung oleh As Suhaili. Dia menyebutkan, bahwa Ali membacakannya pada seluruh hari-hari haji.

Ada pendapat yang menyebutkan, bahwa ahli jahiliyah dahulu wuquf di Arafah, sedangkan kaum Quraisy wuquf di Muzdalifah. Lalu pada pagi hari Nahar, mereka semua berkumpul di Muzdalifah. Oleh karena itu, disebutlah hari itu sebagai hari haji akbar, karena seluruhnya (ahli jahiliyah dan kaum Quraisy) berkumpul di Muzdalifah."

Diriwayatkan dari Al Hasan, ia mengatakan, bahwa disebut hari haji akbar, karena pada hari itu bertepatan dengan hari besar seluruh agama-agama.

Ath Thabari meriwayatkan dari Abu Juhaifah dan yang lainnya, bahwa hari haji akbar itu ialah hari Arafah. Sementara Sa'id bin Jubair berpendapat, hari haji akbar adalah hari Nahar.6

At Tirmidzi meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib secara marfu' dan mauquf dengan lafadz,


"Hari haji akbar adalah hari Nahar."

Namun At Tirmidzi menguatkan riwayat yang mauquf. Ibnu Jarir Ath Thabari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Shahba' Al Bakri yang menyebutkan sebab munculnya anggapan sebagian orang, bahwa haji akbar itu adalah hari Nahar. Ia berkata,


"Aku bertanya kepada Ali bin Abi Thalib tentang hari haji akbar yang disebutkan dalam surat At Taubah ayat 3.
Ali berkata,"Sesungguhnya Rasulullah mengutus Abu Bakar bin Abi Quhafah untuk memimpin haji. Lalu beliau mengutusku bersamanya dengan membawa empat puluh ayat dari surat Al Bara'ah. Abu Bakar tiba di Arafah dan menyampaikan khutbah pada hari Arafah. Setelah menyampaikan khutbahnya, beliau memandang ke arahku lalu berkata,

“Bangkitlah, hai Ali dan sampaikanlah risalah Rasulullah''.
Lalu akupun bangkit dan membacakan kepada manusia empat puluh ayat dari surat Al Bara'ah (At Taubah). Kemudian kami bertolak dari Arafah dan tiba di Mina, aku melempar jumrah, menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut. Aku lihat jama'ah haji di Mina tidak seluruhnya menghadiri khutbah Abu Bakar pada hari Arafah. Akupun berkeliling ke kemah-kemah untuk membacakannya kepada mereka. Oleh karena itu kalian mengira, bahwa hari haji akbar itu adalah hari Nahar, padahal hari itu sebenarnya adalah hari Arafah."

Abu Ishaq pernah bertanya kepada Abu Juhiifah tentang hari haji akbar, ia menjawab,

 "Hari Arafah!"

Abu Ishaq bertanya,"Apakah menurut pendapatmu saja, atau pendapat seluruh sahabat Rasulullah?"

Beliau menjawab,"Dari pendapat seluruhnya."

Oleh karena itulah Umar bin Al Kaththab secara tegas mengatakan, bahwa hari haji akbar adalah hari Arafah. Pendapat ini diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas, Abdullah bin Az Zubair, Mujahid, Ikrimah, Atha' dan Thawus.

Sementara itu, para sahabat yang berpendapat bahwa hari haji akbar adalah hari Nahar, diantaranya ialah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abi Aufa, Al Mughirah bin Syu'bah, sebuah riwayat lain dari Abdullah bin Abbas, Abu Juhaifah. Sa'id bin Jubair, Abdullah bin Syaddad bin Al Haad, Nafi' bin Jubair bin Muth'im, Asy Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, Mujahid, Ikrimah, Abu Ja'far Al Baqir, Az Zuhri, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, bahwa mereka semua mengatakan hari haji akbar ialah hari Nahar.

Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir Ath Thabari dalam tafsirnya, berdasarkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al Bukhari di atas dan beberapa hadits lainnya.

Ibnu Jarir Ath Thabari menyebutkan hadits lain dari Abdullah bin Umar, bahwasanya ia berkata,


"Rasulullah berdiri di Jumrah pada hari Nahar ketika haji Wada'. Rasulullah berkata,''Ini adalah hari haji akbar'."

Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih dari hadits Abu Jabir -namanya adalah Muhammad bin Abdul Malik.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan hadits lain yang mendukung pendapatnya dari Abu Bakrah, ia berkata:



Pada hari Nahar, Rasulullah duduk di atas unta beliau. Orang-orang berdiri memegang tali kekangnya. Rasulullah bertanya,"Hari apakah ini?"
Kami diam, karena kami mengira beliau akan menyebutkan nama lain selain dari nama yang kami kenal. Kemudian beliau berkata,"Bukankah hari Ini adalah hari haji akbar?" (Sanadnya shahih, asalnya terdapat dalam kitab Ash Shahih).
Diriwayatkan pula oleh Abu Ahwash dari Amru bin Al Ahwash, bahwa ia mendengar Rasulullah berkata pada hari haji wada':

 "Hari apakah ini?" Mereka berkata, "Hari haji akbar."

Riwayat-riwayat di atas rnenguatkan pendapat yang rnengatakan, bahwa hari haji akbar adalah hari Nahar. Sementara itu, diriwayatkan dari Sa'id bin Al Musayyib, bahwa hari haji akbar adalah hari kedua dari hari Nahar. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya.7


3 Kesimpulan Masalah

Kesimpulannya, dalam masalah ini, ada beberapa pendapat ulama. sebagai berikut:


Pendapat yang rnengatakan hari haji akbar adalah hari Arafah.
Pendapat yang rnengatakan hari haji akbar adalah hari Nahar (hari Idul Adha).

Pendapat yang rnengatakan, bahwa hari haji akbar adalah hari kedua dari hari Nahar.
Pendapat yang rnengatakan, bahwa haji akbar adalah haji qiran, sedangkan haji ashgar adalah haji ifrad.
Pendapat yang rnengatakan, bahwa hari haji akbar adalah seluruh hari-hari haji.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa haji akbar adalah hari Arafah, dan haji ashgar adalah hari Nahar.
Sebagian ulama lainnya berpendapat, haji akbar adalah haji, dan haji ashgar adalah umrah.
Namun, seluruh pendapat tersebut dapat disatukan kepada pendapat yang kelima. Yaitu hari haji akbar adalah seluruh hari-hari haji, termasuk di dalamnya hari Arafah, hari Mina, hari Muzdalifah, hari Nahar dan hari-hari tasyriq. Karena, para sahabat maupun tabi'in yang berpendapat haji akbar adalah hari Nahar tidak menafikan jika haji akbar itu juga hari Arafah. Bahkan ada sebagian sahabat yang berpendapat, bahwa hari haji akbar adalah hari Arafah dan juga hari Nahar, misalnya seperti Turjumanul Al Qur'an Abdullah bin Abbas. Demikian pula sebaliknya. Wallahu a'lam bish shawab.

Catatan Kaki

…2
Shahih Bukhari
…3
Silakan lihat Shahih Al Bukhari, hadits nomor 4657, dari hadits Abu Hurairah.
…4
Silahkan lihat Shahih Al Bukhari dalam kitab Al Jizyah dari hadits Abu Hurairah.
…5
Juz Vlll/407..
…6
Silahkan lihat Fathul Bari VIII/407-408.
…7
Silahkan lihat riwayat-riwayat ini dalam Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Ath Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir.

::: BILA SHALAT TERASA BERAT… :::


Bismillah Assalamu Alaikum

Ustadz Aan Chandra Thalib حفظه الله تعالى
“Bila shalat terasa berat bagimu, maka ketahuilah bahwa di dalam hatimu ada kemunafikan. Karena merasa malas untuk menunaikan sholat merupakan sikap orang-orang munafik yang Allah kabarkan dalam firman-Nya:
وإذا قاموا إلى الصلاة قاموا كسالى
“…Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas… “(QS. An Nisa ‘: 142)
Namun bila engkau merasa bahwa sholat begitu ringan, hatimupun gembira karenanya maka itu merupakan tanda bahwa imanmu kokoh”
(Ibnu Utsaimin dalam syarah Shohih Muslim)

Catatan:
Sejenak mari kita bertanya pada diri masing-masing, bagaimanakah kedudukan sholat di hati kita..?
Apakah kita termasuk orang yang semangat dalam melaksanakan sholat ataukah sebaliknya.? Jawaban terhadap dua pertanyaan diatas akan menjadi penentu apakah kita termasuk orang yang beriman ataukah orang yang munafik.?
Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita memberi perhatian yang lebih terhadap sholat, yang merupakan tiang agama dan sekaligus sebagai penentu baik buruknya amalan kita. Menjaga sholat berarti menjaga agama.

Dalam risalah Ta’dzim As-Shalah (hal:6) Prof. Dr. Abdurrazzak bin Abdul Muhsin Al-Abbad mengatakan:
“Agama seorang muslim tidak akan kokoh, amalannya tidak akan baik dan seluruh urusannya baik dunia maupun akhirat akan berantakan sampai ia menegakkan sholat sebagaimana yang diperintahkan. Yaitu dengan keimanan yang kokoh, penghambaan yang tulus serta mengikuti petunjuk nabi shallallahu alaihi wa sallam”
Wallahu a’lam

Saturday, August 8, 2015

Keutamaan Sepuluh Hari (Pertama) Bulan Dzulhijjah



Departemen Agama Arab Saudi

Sesungguhnya merupakan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala, dijadikan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang shalih musim-musim untuk memperbanyak amal shaleh. Diantara musim-musim tersebut adalah sepuluh hari (pertama) bulan Dzul Hijjah yang keutamaannya dinyatakan oleh dalil-dalil dalam kitab dan Sunnah.
 
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): "Demi fajar, dan malam yang sepuluh" (Al Fajr 1-2). Ibnu Katsir berkata: “ Yang dimaksud adalah sepuluh hari (pertama) bulan Dzul Hijjah“

2. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “…dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan”(Al Hajj 28). Ibnu Abbas berkata: “ (Yang dimaksud adalah) hari-hari sepuluh (bulan Dzul Hijjah) “.

3. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dia berkata: Rasulullah bersabda (yang artinya): "Tidak ada amal perbuatan yang lebih utama dari (amal yang dilakukan pada) sepuluh hari bulan Dzul Hijjah, mereka berkata : Tidak juga jihad (lebih utama dari itu) ?, beliau bersabda: Tidak juga jihad, kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan jiwanya dan hartanya dan kembali tanpa membawa sesuatupun "(Riwayat Bukhori)

4. Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu dia berkata: Rasulullah bersabda (yang artinya): "Tidak ada hari-hari yang lebih besar di sisi Allah Ta’ala dan tidak ada amal perbuatan yang lebih dicintai selain pada sepuluh hari itu. Maka perbanyaklah pada hari-hari tersebut Tahlil, Takbir dan Tahmid " (Riwayat Tabrani dalam Mu’jam Al Kabir)

5. Adalah Sa’id bin Jubair –rahimahul-lah- dan dia yang meriwayatkan hadits Ibnu Abbas yang lalu, jika datang sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah sangat bersungguh-sungguh hingga hampir saja dia tidak kuasa (melaksa-nakannya) “ (Riwayat Darimi dengan sanad yang hasan)

6. Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya Fathul Baari: "Tampaknya sebab mengapa sepuluh hari Dzul Hijjah diisti-mewakan adalah karena pada hari tersebut merupakan waktu berkumpul-nya ibadah-ibadah utama; yaitu shalat, shaum, shadaqah dan haji dan tidak ada selainnya waktu seperti itu ".

7. Para ulama menyatakan: "Sepuluh hari Dzul Hijjah adalah hari-hari yang paling utama, sedangkan malam-malam terakhir bulan Ramadhan adalah malam-malam yang paling utama ".

Dinukil dari Buku Edisi Indonesia:
"Keutamaan sepuluh hari (pertama) Dzulhijjah
dan Hukum berkurban dan ‘Iedhul Adha yang berbarakah"
 
Seksi Terjemah Kantor Sosial, Dakwah & Penyuluhan Bagi Pendatang
Pemerintah Arab Saudi
 
 Sumber: www.salafy.or.id

Friday, August 7, 2015

Grilled Beef Flank Steak “Pastrami” – Backyard Deli

I’ll do a proper pastrami one of these days. Maybe right after I get a smoker. But in the meantime, this pastrami-spiced beef flank steak should do nicely. As with all "cheater" recipes, managing your expectations is key.

You can’t get the texture and color of a real “pastrami” without the curing step, where the meat is soaked in a brine, before being spiced/smoked, but you can get pretty close to the flavor, using the spice rub seen herein.

We’ve used a similar technique to turn plain corned beef into “pastrami,” as well as create a duck Reuben; one of my favorite videos of all time. By the way, the ingredient amounts below have been adjusted slightly, as my spice rub was a tad bit overpowering.

I’ve backed down the black pepper and mustard, but as with all spice amounts, that’s really up to you. If you simply put salt and pepper on a flank steak, and grill it properly, you’ll have something delicious to eat, so keep that in mind as you rub your meat. 

I ate mine fresh, but if you let it cool, slice it thin, and warm it up in a pan with a little splash of water, and a tiny pinch of sugar, you’ll have something even more pastrami-like. I really hope you give this a try soon. Enjoy!

SPECIAL NOTE: I let my meat warm to room temp before grilling, so the inside reaches my desired temp a little quicker, and before the outside spice rub gets too black. Conversely, when grilling a steak, and there's nothing to burn on the surface, I generally like the meat cold, so the outside has plenty of time to sear, before the meat inside is done. 


Ingredients for 4 large portions:
1 trimmed beef flank steak (usually 1.5 to 1.75 pounds)
2 tsp vegetable oil
1 tbsp freshly ground black pepper
1 tbsp ground coriander
1 tbsp kosher salt
2 tsp paprika
1/2 tsp dry mustard
- For best results, cook to a medium. I pulled at about 135 F. internal temp, which will rise to about 140 F. as it rests.
-Serve with slightly sweetened mustard and rye bread

Wednesday, August 5, 2015

Sifat Kedua Tangan Allah Ta’ala



Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
Keimanan terhadap penetapan adanya Tangan bagi Allah merupakan keyakinan Ahlus Sunnah wal jama’ah , sebagaimana telah kami jelaskan pada edisi lalu (baca: Ahlus Sunnah Beriman Bahwa Allah Mempunyai Tangan -red). Keyakinan ini makin jelas dan tegas karena Al-Qur’an dan as-Sunnah telah menyebutkan adanya sifat Tangan bagi Allah secara terperinci dan disebutkan dengan kanan.
KEDUA TANGAN ALLAH ITU KANAN

Allah سبحانه وتعالى berfirman (yang artinya):Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Rabb dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.(az-Zumar: 67)

Demikian pula dalam firmanNya (yang artinya):Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia dengan tangan kanan. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. (al-Haaqqah: 44-46)

Pada kedua ayat di atas Allah سبحانه وتعالى menyebutkan tangan dengan tangan kanan. Pada surat Az-Zumar Allah berfirman (yang artinya): “Dan langit digulung dengan Tangan Kanan-Nya”. Sedangkan dalam surat al-Haqqah dikatakan (yang artinya): “Aku ambil dengan dengan tangan kanan”.

Dalam tafsir ayat az-Zumar ayat 67 ini, disebutkan hadits yang shahih dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda (yang artinya): "Allah Tabaraka wa ta’ala menggenggam bumi pada hari kiamat dan melipat langit dengan tangan kanannya, kemudian berkata “Aku adalah Raja, mana raja-raja dunia?" (HR. Bukhari-Muslim).

Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Umar رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda (yang artinya): Allah Azza wa Jalla menggulung langit pada hari kiamat dan menggenggam-nya dengan tangan kanan-Nya seraya berkata: “Aku adalah Raja, mana orang-orang yang sombong?” Kemudian menggulung bumi-bumi dan menggenggamnya dengan tangannya yang lain seraya berkata: “Aku adalah Raja, mana raja-raja dunia, mana orang-orang yang sombong?” (HR. Bukhari Muslim)
Perlu diketahui, dalam hadits yang kedua ini disebutkan “tangan yang lain”, ini yang lebih shahih, sedangkan dalam lafadh lainnya disebutkan “dengan tangan kirinya”. Berkata Baihaqi dalam Asma’ wa Sifat: “Demikianlah diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Bakar ibnu Abi Syaibah, sedangkan sebutan “tangan kiri” disebutkan secara menyendiri oleh Umar Ibnu Hamzah dari Salim. Padahal telah diriwayatkan hadits yang sama oleh Nafi’ dan Ubaidullah Ibnu Muqsim dari Ibnu Umar, keduanya tidak menyebutkan kalimat “kiri”. Demikian pula telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan lain-lainnya dari Nabi صلى الله عليه وسلم, semuanya tidak ada yang menyebutkan “tangan kiri”. (Lihat Asma’ wa Sifat, Baihaqi, hal. 139-140)

Apalagi telah diriwayatkan dengan shahih bahwa kedua tangan Allah adalah kanan, sebagaimana dalam sabdanya (yang artinya):Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di sisi Allah (mereka berada) di atas mimbar dari cahaya dari sisi kanan Allah Azza wa Jalla. Dan Kedua Tangan Allah adalah Kanan … (HR. Muslim)
Yang demikian karena tangan Allah keduanya Maha Sempurna, tidak sama dengan tangan mahlukNya. Sedangkan istilah kiri mengandung makna kekurangan dan kelemahan pada mahluk, maka tidak layak disebutkan untuk tangan Allah yang Maha Sempurna.

JARI-JEMARI ALLAH

Diriwayatkan dari ‘Amr bin Ash, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda (yang artinya): Sesungguhnya hati Bani Adam seluruhnya berada di antara dua jari dari jari ar-Rahman (Allah) seperti hati yang satu. Allah memalingkannya sekehendaknya. (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain Rasulullah صلى الله عليه وسلم membenarkan perkataan seorang Rahib Yahudi ketika menyebutkan jari-jemari bagi Allah, seperti dalam riwayat dari Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه, ia berkata: Seorang pendeta datang berjumpa Nabi صلى الله عليه وسلم lalu berkata: Wahai Muhammad atau Wahai Abu al-Qasim! Pada Hari Kiamat Allah سبحانه وتعالى memegang langit, bumi, gunung-gunung, pohon-pohon, air, tanah dan semua makhluk dengan jari-jemariNya. Kemudian Dia menggoyangkannya sambil berfirman: “Akulah Raja, Akulah Raja”. Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم tertawa karena kagum mendengar kata-kata pendeta tersebut sambil membenarkannya. Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya): Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Rabb dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (HR. Bukhari Muslim)
Dan dalam riwayat lain: Datang seorang rahib dari Yahudi dan berkata: “Allah meletakkan langit-langit di jari-Nya pada hari kiamat”, maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم pun terkagum-kagum membenarkan berita tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim)
TELAPAK TANGAN ALLAH

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda (yang artinya): Tidaklah seseorang bershadaqah dengan shadaqah yang baik –dan Allah tidak menerima kecuali yang baik—kecuali Allah yang Maha Rahman akan mengambilnya dengan Tangan kanan-Nya, walaupun sebuah kurma, Allah akan membesarkannya di Telapak Tangan Allah yang Maha Rahman hingga menjadi lebih besar dari gunung sebagaimana salah seorang kalian membesarkan anak kambing atau anak unta. (HR. Bukhari dan Muslim)
LENGAN ALLAH

Didalam riwayat yang agak panjang, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda (yang artinya): Apakah unta-unta kaummu yang lahir dalam keadaan sehat dan utuh telinga-telinganya kemudian kamu dengan sengaja mengambil pisau dan memotong telinga-telinganya dan kamu katakan unta-unta ini merdeka?!. Dan kamu robek telinga-telinganya atau kamu cacati kulit-kulitnya, kemudian kamu katakan unta-unta ini haram? Kemudian kamu haramkan untuk dirimu dan keluargamu?! Dia menjawab: “Ya”. Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Sungguh seluruh apa yang diberikan Allah kepadamu (dari binatang ternak itu) adalah halal. Ingat Lengan Allah lebih kuat dari lenganmu dan Pisau Allah lebih tajam dari pisaumu.” (HR. Ahmad, Hakim, Abu Dawud, Baihaqi, Thabrani dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata: “Hadits Hasan Shahih). Lihat Tahqiq Kitab Asma’ wa Sifat oleh Al-Baihaqi, hal. 170).
SIKAP AHLUS SUNNAH TERHADAP RIWAYAT-RIWAYAT DI ATAS
Berkata Sufyan Ibnu Uyainah: Setiap apa yang Allah sifati diri-Nya dalam kitab-Nya maka tafsirnya adalah membacanya dan diam. (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 248)

Berkata Ibnu Syihab Az-Zuhri: Allah yang menerangkan, rasul yang menyampaikan dan atas kita untuk menerima. (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 249)

Berkata Wahb bin Munabbih ketika ditanya oleh seorang tokoh sesat Ja’d bin Dirham tentang asma’ wa sifat: Celaka engkau wahai Ja’d karena permasalahan ini. Sungguh aku menduga engkau akan binasa. Wahai Ja’d, kalau saja Allah tidak mengkabarkan dalam kitab-Nya bahwa dia memiliki tangan, mata atau wajah, tentu kamipun tidak akan mengatakannya.Bertakwalah engkau kepada Allah!” (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 190)

Berkata al-Walid ibnu Muslim: “Aku telah bertanya kepada AlAuza’I, Sufyan Ats-tsauri, Malik bin Anas tentang hadits-hadits sifat dan ru’yah (tentang dilihatnya Allah pada hari kiamat), mereka semua menjawab: Langsungkanlah, sebagaimana adanya tanpa mempertanyakan seperti apa”. (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 249)

Berkata Imam Malik bin Anas: “Berhati-hatilah kalian terhadap kebid’ahan.” Beliau ditanya: “Apakah bid’ah itu”. Beliau menjawab: “Ahlul bid’ah adalah mereka yang membicarakan tentang nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, kalam Allah, Ilmu Allah dan kekuasan-Nya tanpa ilmu. Mereka tidak mau diam sebagaimana diamnya para shahabat dan tabi’in terhadap masalah tersebut”. (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal. 244)

Berkata Imam Al-Barbahari: “Tidak boleh berbicara tentang Allah kecuali dengan apa Allah sifatkan diriNya dengannya dalam al-Qur’an dan apa yang diterangkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada para shahabatnya”. Ia juga berkata: “Tidak berbicara tentang sifat-sifat Rabb dengan pertanyaan: “Bagaimana?” atau “mengapa?”, kecuali orang yang ragu terhadap Allah tabaraka wa ta’ala”. (Syarhus Sunnah, hal. 70)
Sumber: www.salafy.or.id
judul Asli: "Mengimani Sifat Kedua Tangan Allah Ta’ala"

Fresh Fig and Goat Cheese…Tart?

There are worse problems in the kitchen than making something that tastes amazing, but is very difficult to name. Like, for example, something that’s easy to name, but tastes terrible. Luckily, this fresh fig and goat cheese “tart” was the former.

I wanted to make some sort of crostata, or galette-type, free-form tart, which I’ve done successfully in the past (and have the video to prove it), but instead of using standard pie crust dough, I decided to try something a little more rustic, and savory, using spelt flour and olive oil.

I knew this would pair beautifully with the sweet fruit, and tangy cheese, but what I didn’t know, was that it would end up being way too crumbly, and pretty much useless as a tart crust. So, I crumbled it into the bottom of a shallow ramekin, and the rest is history.

As predicted, the combination of flavors really worked extraordinarily well, and the somewhat gritty texture of the “crust,” added to the interest. But, what the heck is this? I don’t think it’s a tart. An upside-down crumble? Sandy tart? I give up, but if you have some time to kill, I’d love to know what you would call this delicious accident. Semantics aside, I hope you give this a try soon. Enjoy!


For  the crust (makes enough for about 4 small tarts):
1 cup sprouted spelt flour
1 tsp kosher salt
1 tsp sugar
1/4 cup olive oil
3 or 4 tbsp water, or enough to form a crumbly dough

For one “tart:”
about 1/3 cup “crust” mixture
2 ounces creamy fresh goat cheese
1 black mission fig, sliced
tiny pinch of salt
very tiny pinch of cayenne
1 tbsp white sugar
spring of fresh lemon thyme

Monday, August 3, 2015

Shalat Gerhana


Syaikh Shalih Bin Fauzan Al Fauzan
Allah berfirman (yang artinya), "Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada orang-orang yang mengetahui" (Yunus:5)
Dan Dia juga berfirman (yang artinya), "Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ilalah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) bersujud kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah" (Fushilat:37)
Shalat gerhana adalah sunnah muakadah menurut kesepakatan para ulama, dan dalilnya adalah As Sunnah yang tsabit dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.
Gerhana adalah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah untuk menakut-nakuti para hamba-Nya. Allah berfirman (yang artinya), "Dan kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti" (Al Israa:59)
Ketika terjadi gerhana matahari di jaman Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau keluar dengan bergegas, menarik bajunya, lalu shalat dengan manusia, dan memberitakan kepada mereka: bahwa gerhana adalah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, dengan gerhana tersebut Allah menakut-nakuti para hamba-Nya; boleh jadi merupakan sebab turunnya adzab untuk manusia, dan memerintahkan untuk mengerjakan amalan yang bisa menghilangkannya. Beliau memerintahkan untuk mengerjakan sholat, berdo’a, istighfar, bersedekah, memerdekakan budak, dan amalan-amalan shalih lainnya ketika terjadi gerhana; hingga hilang musibah yang menimpa manusia.
Dalam gerhana terdapat peringatan bagi manusia dan ancaman bagi mereka agar kembali kepada Allah dan selalu merasa diawasi oleh-Nya.
Mereka di zaman jahiliyyah meyakini bahwa gerhana terjadi ketika lahirnya atau matinya seorang pembesar. Maka Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam membantah keyakina tersebut dan menjelaskan tentang hikmah ilahiyyah pada terjadinya gerhana.
Al Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari hadits Abu Mas’ud Al Anshari berkata (yang artinya),"Terjadi gerhana matahari pada hari meninggalnya Ibrahim Bin Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam maka manusia mengatakan, "Terjadi gerhana matahari karena kematian Ibrahim". Maka Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, ""Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak terkena gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang, jika kalian melihat yang demikian itu, maka bersegeralah untuk ingat kepada Allah dang mengerjakan Sholat" ".[1]
Dalam hadits lain dalam Ash Shahihain, (yang artinya), "Maka berdoalah kepada Allah dan kerjakanlah Sholat hingga matahari terang".[2]
Dari Shahih Al Bukhari dari Abu Musa, (artinya), "Tanda-tanda yang Allah kirimkan ini bukanlah karena kematian atau kehidupan seseorang, tetapi Allah sedang manakut-nakuti hamba-hamba-Nya dengannya, maka jika kalian melihat sesuatu yang demikian itu, bersegeralah untuk mengingat Allah, berdo’a dan meminta ampun kepada-Nya".[3]
Allah Subhanahu Wata’ala memberlakukan pada dua tanda kekuasaan-Nya yang besar ini (matahari dan bulan) kusuf dan khusuf (gerhana); agar para hamba mengambil pelajaran dan tahu bahwa keduanya adalah makhluk yang terkena kekurangan dan perubahan sebagaimana makhluk-makhluk lainnya; untuk menunjukkan kepada hamba-Nya dengan peritiwa itu atas kekuasaan-Nya yang sempurna dan hanya Dialah yang berhak untuk diibadahi sebagaimana firman Allah (yang artinya), "Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ilalah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) bersujud kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah" (Fushilat:37)
Waktu shalat gerhana: dari mulai terjadinya gerhana sampai hilang berdasar sabda beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya), "Apabila kalian melihat (artinya: sesuatu dari peristiwa tersebut), maka shalatlah". (Mutafaqqun ‘Alaih) [4]
Dan dalam hadits lainnya (yang artinya), "Dan jika kalian melihat yang demikian itu maka sholatlah hingga matahari kelihatan". (Diriwayatkan oleh Muslim) [5]
Shalat gerhana tidak diqadha setelah hilangnya gerhana tersebut, karena telah hilang waktunya. Jika gerhana telah hilang sebelum mereka mengetahuinya, maka mereka tidak perlu melakukan shalat gerhana.
Cara shalat gerhana: mengerjakan shalat 2 raka’at dengan mengeraskan bacaan padanya, menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama, membaca pada rakaat pertama surat Al Fatihah dan surat yang panjang seperti surat Al Baqarah atau yang seukuran dengannya, kemudian ruku’ dengan ruku’ yang panjang, kemudian mengangkat kepalanya dan membaca:
 


Artinya, "Maha mendengar Allah terhadap orang yang memuji-Nya. Wahai Robb kami, bagi Engkaulah segala puji"
Setelah i’tidal, melakukan seperti shalat-shalat yang lainnya, kemudian membaca Al Fatihah dan surat yang lebih pendek dari yang pertama seukuran surat Ali ‘Imran, kemudian memanjangkan ruku’nya, lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian mengangkat kepalanya dan membaca,

 

Artinya, "Maha mendengar Allah terhadap orang yang memuji-Nya. Wahai Robb kami,bagi Engkaulah segala puji dengan pujian yang banyak, baik dan penuh keberkahan padanya, sepenuh langit, sepenuh bumi dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki dari segala sesuatu sesudahnya".
Kemudian sujud dua kali yang panjang dan tidak memperlama duduk diantara dua sujud, kemudian shalat untuk raka’at yang kedua seperti yang pertama dengan dua ruku’ dan dua sujud yang panjang, sebagaimana yang dikerjakan para raka’at yang pertama, kemudian tasyahud dan salam.
Inilah salat gerhana: sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dan sebagaimana yang diriwayatkan dari beliau tentang hal itu melalaui beberapa jalan, sebagiannya di Ash Shahihain.
Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘Anha (yang artinya), "Matahari mengalami gerhana pada masa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, maka beliau berdiri, bertakbir, dan orang-orang berbaris dibelakang beliau. Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam membaca bacaan yang panjang lalu beliau ruku’ dengan ruku’ yang lama, kemudian mengangkat kepalanya dan mengucapkan, "SAMI’ ALLAAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANAA WA LAKA AL HAMDU". Kemudian beliau berdiri dan membaca bacaan yang panjang lebih pendek dari bacaan yang pertama, lalu takbir dan ruku’ yang lama lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian mengucapkan, "SAMI’ ALLAAHU LIMAN HAMIDAH, ROBBANAA WA LAKA AL HAMDU". Kemudian sujud. Lalu beliau mengerjakan yang seperti itu pada rakaat yang kedua hingga sempurna empat ruku’ dan empat sujud. Dan matahari kembali terlihat sebelum beliau selesai" (Muttafaqun ‘Alaih) [6]
Dan disunnahkan untuk shalat dengan berjama’ah berdasar perbuatan Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan Boleh untuk mengerjakan sendiri-sendiri, tetapi mengerjakannya dengan berjama’ah lebih utama.
Disunnahkan bagi imam untuk memberikan nasehat kepada manusia setelah shalat gerhana, mengingatkan mereka dari kelalaian dan kelengahan serta memerintahkan mereka untuk memperbanya do’a dan istighfar.
Dalam Ash Shahih dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha (artinya),"Bahwa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah selesai shalat dan matahari telah nampak, lalu beliau berkhutbah di hadapan manusia, memuji Allah dan memuja-Nya, dan bersabda, "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, keduanya tidak terkena gerhana karena kamatian atau kehidupan seseorang, jika kalian melihat yang demikian itu, maka berdo’alah kepada Allah, bertakbir, mengerjakan shalat, dan bershadaqahlah… "."  [7]
Apabila shalat sudah selesai sebelum gerhana hilang, hendaknya mengingat dan berdo’a kepada Allah hingga gerhana tersebut hilang, dan tidak perlu mengulang shalat, seharusnya menyempurnakan shalat dan tidak menghentikannya; berdasar firman Allah (yang artinya),"Dan janganlah kamu merusakkan amal-amalmu"  (Muhammad:33)
Maka shalat dilakukan pada waktu terjadinya gerhana berdasar sabda beliau, "hingga gerhana itu hilang", dan sabda beliau, "Hingga dihilangkan apa yang menimpa kalian".[8]
Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Gerhana terkadang lama waktunya dan terkadang pendek, tergantung gerhananya. Terkadang tertutup semuanya (gerhana total), terkadang separuh atau sepertiganya. Jika yang tertutup besar; hendaknya memanjangkan shalat hingga membaca Al Baqarah dan yang semisalnya pada raka’at pertama dan setelah ruku’ yang kedua hendaknya membaca yang lebih pendek. Telah datang hadits-hadits shahih dari Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tentang apa yang kami sebutkan. Dan disyariatkan untuk mempercepat shalat jika telah hilang sebabnya. Begitu pula jika mengetahui bahwa gerhana tersebut tidak lama. Dan apabila gerhana tersebut menipis sebelum shalat, maka supaya memulai shalat dan memendekkannya, itulah pendapat jumhur Ahli Ilmu; karena shalat tersebut disyariatkan berdasarkan’illah (sebab), dan ‘illah itu telah hilang. Jika gerhana itu hilang sebelum shalat; maka tidak perlu shalat….". [9]
FootNote:
[1] Dikeluarkan oleh AL Bukhari ( Nomer 1041, 1057, 3204) dan Muslim (Nomer 911).
[2] Muttafaq ‘Alaih dari hadits Al Mughirah Bin Syu’bah; Al Bukhari (1060) [2/705] ini adalah lafadznya; dan Muslim (2119) [2/457].
[3] Dikeluarkan oleh Al Bukhari (1059) [2/704] Al Kusuf 14; dan Muslim (912).
[4] Muttafaq ‘Alaih dari hadits Mughirah: Al Bukhari (1043) [2/679] Al Kusuf 1, ini adalah lafadznya; dan Muslim (2119) [3/457] Al Kusuf 5
[5] Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Jabir (2099) [3/447] Al Kusuf 5.
[6] Muttafaq ‘Alaih: Al Bukhari (1046) [2/688]; dan Muslim (2088) [3/440].
[7] Muttafaq ‘Alaih: Al Bukhari (1044) [2/682]; dan Muslim (2086) [3/438].
[8] Dikeluarkan oleh Al Bukhari (1063) [2/706] Al Kusuf 17. Dan asalnya adalah Muttafaq ‘Alaih dari hadits ABu Mas’ud Al Anshari: Al Bukhari (1041) [2/678] Al Kusuf 1; dan Muslim (2111) [3/453] Al Kusuf 5.
[9] Lihat "Majmu Fataawaa Syaikh Al Islam" 
Dinukil dari Kitab Al Mulakhkhash Al Fiqhi
Edisi Indonesia: Ringkasan Fiqih Islami 1
Penerbit Pustaka Salafiyah

Next Up: Something with Figs


Saturday, August 1, 2015

Summer Vegetable Cavatelli with Fresh Corn “Cream” – Corn Not Cows!

There’s a restaurant near us that features a burrata-filled tortellini, served in a cream sauce fortified with fresh, sweet corn. It’s a wonderful dish, and was the inspiration for this simple, summer vegetable cavatelli.

I was going to use reduced cream, with fresh, pureed corn stirred in at the end, but then I had a thought. What if skipped the dairy altogether, and made the sauce 100% cob-based? I was also out of cream.

So, I blended the fresh corn with some chicken broth, and ended up with what looked like corn milk. At first, I thought I’d made it too thin, but after a few tests reducing some in a pan, I realized it was thickening up beautifully.

While I was very happy with this, in hindsight, I’d do a few things differently next time. I went with pancetta, but I think the smokiness of bacon would have made this even more delicious. I also think you should probably add the corn cream to the vegetables, and bring it to a simmer before the pasta is added.

Of course, this recipe will work with whatever fresh seasonal vegetables you happen to find at the market, as long as its something that tastes good with sweet corn. In related news, everything tastes good with sweet corn. I hope you give this a try soon. Enjoy!


Ingredients for 4 portions:

For the corn “cream” (will make more than needed for the recipe)
2 ears fresh white corn, or other sweet corn
2 cups chicken broth or water

For the pasta:
2 cups cavatelli
1 tbsp olive oil
4 ounces diced bacon or pancetta (sausage would also work nicely)
1/2 cup diced sweet red pepper
1 1/2 cup diced zucchini
pinch of cayenne
salt and pepper to taste
1 1/2 to 2 cups corn “cream,” or as needed
1 cup halved sweet cheery tomatoes
1 tbsp chopped Italian parsley
1 tbsp finely sliced basil leaves
grated Parmigiano Reggiano

Thursday, July 30, 2015

Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz


Al Ustadz Ahmad Hamdani Ibnu Muslim
Syaikh Bin Baz, menurut Syaikh Muqbil Bin Hadi Al Wadi’i, adalah seorang tokoh ahli fiqih yang diperhitungkan di jaman kiwari ini, sebagaimana Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani juga seorang ulama ahlul hadits yang handal masa kini. Untuk mengenal lebih dekat siapa beliau, mari kita simak penuturan beliau mengungkapkan data pribadinya berikut ini.

Syaikh mengatakan, "Nama lengkap saya adalah Abdul ‘Aziz Bin Abdillah Bin Muhammad Bin Abdillah Ali (keluarga) Baz. Saya dilahirkan di kota Riyadh pada bulan Dzulhijah 1330 H. Dulu ketika saya baru memulai belajar agama, saya masih bisa melihat dengan baik. Namun qodarullah pada tahun 1346 H, mata saya terkena infeksi yang membuat rabun. Kemudian lama-kelamaan karena tidak sembuh-sembuh mata saya tidak dapat melihat sama sekali. Musibah ini terjadi pada tahun 1350 Hijriyah. Pada saat itulah saya menjadi seorang tuna netra. Saya ucapkan alhamdulillah atas musibah yang menimpa diri saya ini. Saya memohon kepada-Nya semoga Dia berkenan menganugerahkan bashirah (mata hati) kepada saya di dunia ini dan di akhirat serta balasan yang baik di akhirat seperti yang dijanjikan oleh-Nya melalui nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam atas musibah ini. Saya juga memohon kepadanya keselamatan di dunia dan akhirat.

Mencari ilmu telah saya tempuh semenjak masa anak-anak. Saya hafal Al Qur’anul Karim sebelum mencapai usia baligh. Hafalan itu diujikan di hadapan Syaikh Abdullah Bin Furaij. Setelah itu saya mempelajari ilmu-ilmu syariat dan bahasa Arab melalui bimbingan ulama-ulama kota kelahiran saya sendiri. Para guru yang sempat saya ambil ilmunya adalah:
  1. Syaikh Muhammad Bin Abdil Lathif Bin Abdirrahman Bin Hasan Bin Asy Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab, seorang hakim di kota Riyadh.
  2. Syaikh Hamid Bin Faris, seorang pejabat wakil urusan Baitul Mal, Riyadh.
  3. Syaikh Sa’d, Qadhi negeri Bukhara, seorang ulama Makkah. Saya menimba ilmu tauhid darinya pada tahun 1355 H.
  4. Samahatus Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Bin Abdul Lathief Alu Syaikh, saya bermuzalamah padanya untuk mempelajari banyak ilmu agama, antara lain: aqidah, fiqih, hadits, nahwu, faraidh (ilmu waris), tafsir, sirah, selama kurang lebih 10 tahun. Mulai 1347 sampai tahun 1357 H.
Semoga Allah membalas jasa-jasa mereka dengan balasan yang mulia dan utama.
Dalam memahami fiqih saya memakai thariqah (mahdzab -red) Ahmad Bin Hanbal [1] rahimahullah. Hal ini saya lakukan bukan semata-mata taklid kepada beliau, akan tetapi yang saya lakukan adalah mengikuti dasar-dasar pemahaman yang beliau tempuh. Adapun dalam menghadapi ikhtilaf ulama, saya memakai metodologi tarjih, kalau dapat ditarjih dengan mengambil dalil yang paling shahih. Demikian pula ketika saya mengeluarkan fatwa, khususnya bila saya temukan silang pendapat di antara para ulama baik yang mencocoki pendapat Imam Ahmad atau tidak. Karena AL HAQ itulah yang pantas diikuti. Allah berfirman (yang artinya -red), "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" (An Nisa:59)"
TUGAS-TUGAS SYAR’I
" Banyak jabatan yang diamanahkan kepada saya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Saya pernah mendapat tugas sebagai:
  1. Hakim dalam waktu yang panjang, sekitar 14 tahun. Tugas itu berawal dari bulan Jumadil Akhir tahun 1357 H.
  2. Pengajar Ma’had Ilmi Riyadh tahun 1372 H dan dosen ilmu fiqih, tauhid, dan hadits sampai pada tahun 1380 H.
  3. Wakil Rektor Universitas Islam Madinah pada tahun 1381-1390 H.
  4. Rektor Universitas Islam Madinah pada tahun 1390 H menggantikan rektor sebelumnya yang wafat yaitu Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Ali Syaikh. Jabatan ini saya pegang pada tahun 1389 sampai dengan 1395 H.
  5. Pada tanggal 13 bulan 10 tahun 1395 saya diangkat menjadi pimpinan umum yang berhubungan dengan penelitian ilmiah, fatwa-fawa, dakwah dan bimbingan keagamaan sampai sekarang. Saya terus memohon kepada Allah pertolongan dan bimbingan pada jalan kebenaran dalam menjalankan tugas-tugas tersebut.  
Disamping jabatan-jabatan resmi yang sempat saya pegang sekarang, saya juga aktif di berbagai organisasi keIslaman lain seperti:
  1. Anggota Kibarul Ulama di Makkah.
  2. Ketua Lajnah Daimah (Komite Tetap) terhadap penelitian dan fatwa dalam masalah keagamaan di dalam lembaga Kibarul Ulama tersebut.
  3. Anggota pimpinan Majelis Tinggi Rabithah ‘Alam Islami.
  4. Pimpinan Majelis Tinggi untuk masjid-masjid.
  5. Pimpinan kumpulan penelitian fiqih Islam di Makkah di bawah naungan organisasi Rabithah ‘Alam Islami.
  6. Anggota majelis tinggi di Jami’ah Islamiyah (universitas Islam -red), Madinah.
  7. Anggota lembaga tinggi untuk dakwah Islam yang berkedudukan di Makkah.
Mengenai karya tulis, saya telah menulis puluhan karya ilmiah antara lain:
  1. Al Faidhul Hilyah fi Mabahits Fardhiyah.
  2. At Tahqiq wal Idhah li Katsirin min Masailil Haj wal Umrah Wa Ziarah (Tauhdihul Manasik - ini yang terpenting dan bermanfaat - aku kumpulkan pada tahun 1363 H). Karyaku ini telah dicetak ulang berkali-kali dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa (termasuk bahasa Indonesia -pent).
  3. At Tahdzir minal Bida’ mencakup 4 pembahasan (Hukmul Ihtifal bil Maulid Nabi wa Lailatil Isra’ wa Mi’raj, wa Lailatun Nifshi minas Sya’ban wa Takdzibir Ru’yal Mar’umah min Khadim Al Hijr An Nabawiyah Al Musamma Asy Syaikh Ahmad).
  4. Risalah Mujazah fiz Zakat was Shiyam.
  5. Al Aqidah As Shahihah wama Yudhadhuha.
  6. Wujubul Amal bis Sunnatir Rasul Sholallahu ‘Alaihi Wasallam wa Kufru man Ankaraha.
  7. Ad Dakwah Ilallah wa Akhlaqud Da’iyah.
  8. Wujubu Tahkim Syar’illah wa Nabdzu ma Khalafahu.
  9. Hukmus Sufur wal Hijab wa Nikah As Sighar.
  10. Naqdul Qawiy fi Hukmit Tashwir.
  11. Al Jawabul Mufid fi Hukmit Tashwir.
  12. Asy Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab (Da’wah wa Siratuhu).
  13. Tsalatsu Rasail fis Shalah: Kaifa Sholatun Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, Wujubu Ada’is Shalah fil Jama’ah, Aina Yadha’ul Mushalli Yadaihi hinar Raf’i minar Ruku’.
  14. Hukmul Islam fi man Tha’ana fil Qur’an au fi Rasulillah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.
  15. Hasyiyah Mufidah ‘Ala Fathil Bari - hanya sampai masalah haji.
  16. Risalatul Adilatin Naqliyah wa Hissiyah ‘ala Jaryanis Syamsi wa Sukunil ‘Ardhi wa Amakinis Su’udil Kawakib.
  17. Iqamatul Barahin ‘ala Hukmi man Istaghatsa bi Ghairillah au Shaddaqul Kawakib.
  18. Al Jihad fi Sabilillah.
  19. Fatawa Muta’aliq bi Ahkaml Haj wal Umrah wal Ziarah.
  20. Wujubu Luzumis Sunnah wal Hadzr minal Bid’ah."
Sampai di sini perkataan beliau yang saya (Ustadz Ahmad Hamdani -red) kutip dari buku Fatwa wa Tanbihat wa Nashaih hal 8-13.
 
AKIDAH DAN MANHAJ DAKWAH
 
Akidah dan manhaj dakwah Syaikh ini tercermin dari tulisan atau karya-karyanya. Kita lihat misalnya buku Aqidah Shahihah yang menerangkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menegakkan tauhid dan membersihkan sekaligus memerangi kesyirikan dan pelakunya. Pembelaannya kepada sunnah dan kebenciannya terhadap kebid’ahan tertuang dalam karya beliau yang ringkas dan padat, berjudul At Tahdzir ‘alal Bida’ (sudah diterjemahkan -pent). Sedangkan perhatian (ihtimam) dan pembelaan beliau terhadap dakwah salafiyah tidak diragukan lagi. Beliaulah yang menfatwakan bahwa firqatun najiyah (golongan yang selamat -red) adalah para salafiyyin yang berpegang dengan kitabullah dan sunnah Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hal suluk (perilaku) dan akhlaq serta aqidah. Beliau tetap gigih memperjuangkan dakwah ini di tengah-tengah rongrongan syubhat para da’i penyeru ke pintu neraka di negerinya khususnya dan luar negeri beliau pada umumnya, hingga al haq nampak dan kebatilan dilumatkan. Agaknya ini adalah bukti kebenaran sabda Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya), "Akan tetap ada pada umatku kelompok yang menampakkan kebenaran (al haq), tidak memudharatkan mereka orang yang mencela atau menyelisihinya"
 
Foot note:
 
[1] Mahdzab secara istilah yakni mengikuti istilah-istilah Ahmad Bin Hanbal dalam mempelajari masalah fiqih atau hadits. Bukan Mahdzab syakhsyi yaitu mengambil semua hadits yang diriwayatkannya.
 
Sumber: SALAFY Edisi XXV/1418 H/1998 M hal 48-49
Judul Asli: "Syaikh Bin Baz Mutjahid dan Ahli Fiqih Jaman Ini" 
 
WAFAT BELIAU (Keterangan tambahan)
 
Beliau wafat pada hari Kamis, 27 Muharram 1420 H / 13 Mei 1999 M. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala merahmatinya. Amin.
 
Sumber keterangan tambahan: www.fatwaonline.com

Tuesday, July 28, 2015

Turkish Chicken Kebabs – Expect More

I’d like to think that all the chicken coming off American grills this summer will be as tasty, juicy, and tender, as these Turkish chicken kebabs, but I know better. This has nothing to do with cooking skills, or quality of grills, but rather the unremarkable residue of low expectations.

People simply don’t expect much from their grilled chicken, and that’s exactly what they get. They use too little seasoning, and way too much time on the grill, followed by the inevitable barbecue sauce cover-up. Sure, the chicken was dry, but at least we couldn’t taste it.

It doesn’t have to be this way. By using a flavorful, yogurt-based marinade, like the one seen herein, even inexperienced grillers can produce impressive results. The acid and calcium in the yogurt tenderizes the meat, and unless it’s horribly over-cooked, you’ll be enjoying the kind of succulent chicken you didn’t even realize was possible.

Like I mentioned in the video, I’m not sure how "Turkish" this is. It’s loosely based on a lamb marinade I’ve used for a long time, but it really worked beautifully on these thighs. I really hope you give this easy, and very adaptable recipe a try soon. Enjoy!


Ingredients for 4 large portions:
1 cup plain whole milk Greek yogurt
2 tablespoons olive oil
2 or 3 tablespoons freshly squeezed lemon juice
2 tbsp ketchup
6 finely minced garlic cloves
1 tbsp kosher salt
1 teaspoon freshly ground black pepper
1 tbsp Aleppo red pepper flakes
1 teaspoon paprika
1 1/2 teaspoon cumin
1/8 teaspoon cinnamon
2 1/2 pounds boneless skinless chicken thighs
4 long metal skewers

Tidak Membatalkan Wudhu





Al Ustadz Abdul Bar Kaisinda
Maha Suci Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya sebagaimana Allah telah berfirman dalam Al Qur’an (yang artinya), "Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian" (QS Al Maidah:3)
Maka dipahami dari ayat tersebut bahwasanya Islam itu agama yang sempurna, tidak ada perkara yang bisa mendekatkan kepada Allah melainkan sudah ada keterangannya. Dan diantara permasalahan-permasalahan yang telah Allah jelaskan adalah permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pembatal-pembatal wudhu, maka tidak boleh seseorang menetapkan sesuatu hal sebagai pembatal wudhu kecuali harus berdasarkan dengan dalil dari Al Qur’an ataupun As Sunnah.
Berikut ini kami akan membawakan beberapa permasalahan yang dianggap sebagai pembatal wudhu padahal tidak demikian, diantaranya:
1. AL ISTIHADHAH
Berkata Al Imam An Nawawi Rahimahullah , "Al Istihadhah adalah keluarnya darah dari kemaluan wanita bukan pada waktunya (bukan pada waktu menstruasi dan bukan pada saat melahirkan) yang darah tersebut keluar dari urat yang bernama adzil, berbeda dengan haidh, karena haid keluar dari dalam rahim" Lihat Syarh Shahih Muslim (4-16)
Dalam kesempatan yang ringkas ini kita akan membawakan 2 hukum yang berkaitan dengan istihadhah.
Masalah pertama adalah tidak diwajibkannya bagi wanita yang terkena istihadhah untuk mandi setiap hendak shalat, kecuali pada saat berhenti haidnya maka diwajibkan untuk mandi sekali saja. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama bahwa seorang wanita yang terkena istihadhah tidak wajib baginya untuk mandi setiap shalat sebagaimana hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha (yang artinya), "Telah berkata Fatimah bintu Abi Ubaisy, "Wahai Rasulullah Aku terkena Istihadhah dan tidak suci darinya apakah aku boleh meninggalkan sholat?" Berkata Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, "Tidak, itu adalah darah yang keluar dari urat (bukan darah dari rahim, darah haidh atau nifas) akan tetapi engkau boleh meninggalkan shalat di hari-hari haidmu kemudian mandilah dan shalatlah (setelah haidmu selesai)" ". Lihat Shahih Al Bukhary (325).
Dan kita lihat bahwasanya Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidak memerintahkan untuk mandi setiap shalat. Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah, "Pendapat kebanyakan ulama adalah pendapat yang benar, bahwasanya tidak wajib untuk mandi (setiap shalat) kecuali ketika haidnya selesai dikarenakan tidak ada dalil yang shahih (yang mewajibkan harus mandi setiap shalat)". Lihat Nail Al Authar (jilid 1 hal:261).
Demikian juga telah berkata Al Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah, "Adapun riwayat yang disitu Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan untuk mandi setiap shalat maka periwayatan tersebut telah diingkari oleh ulama’ ahlul hadits".
Adapun riwayat yang shahih adalah Ummu Habibah binti Jahsy Radhiyallahu ‘Anha sendirilah yang mandi setiap hendak shalat.
Maka telah berkata Al Imam Asy Syafi’i Rahimahullah, "Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam hanya memerintahkan untuk mandi dan sholat dan tidaklah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan padanya untuk mandi setiap sholat". Demikian juga dinukil perkataan yang sama dari Sufyan Bin Uyainah juga Laits Bin Sa’d. Lihat Fath Al Baari (jilid 1 halaman 535) dan Syarh Shahih Muslim (jilid 4 halaman 18)
Pendapat ini pendapat yang benar, yang diriwayatkan dari Ali Bin Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Urwah Bin Zubair, Abi Salamah, Malik, Abi Hanifah, Asy Syafi’i, dan Ahmad. Pendapat ini juga dikatakan oleh Al Imam An Nawawi, Al Hafidz Ibnu Hajar, Al Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Alu Asy Syaikh. Lihat Jami’ Ahkam Al Qur’an (jilid 2 no 77), Al Ihkam (No 192), Ainul Ma’bud (Jilid 1 No 333), Subul As Salaam (Jilid 1 no 160).
Tidak juga diwajibkan bagi wanita yang terkena istihadhah untuk wudhu setiap kali hendak sholat, maka bila telah berwudhu boleh baginya untuk untuk sholat dengan wudhu tersebut lebih dari satu kali sholat selama tidak berhadats selain darah istihadhah (semisal buang air besar, jima’, atau buang angin). Adapun darah istihadhah tidak membatalkan wudhu.
Ini adalah pendapat yang lebih kuat daripada yang mewajibkan untuk wudhu setiap kali sholat. Karena tidak ada dalil shahih yang mewajibkan untuk berwudhu setiap kali sholat.
Adapun hadits yang memerintahkan untuk berwudhu setiap kali hendak sholat adalah hadits lemah yangtelah diingkari oleh imam-imam ahli hadits, diantaranya Al Imam Muslim Rahimahullah dalam Shahih-nya, tatkala berkata, "Di periwayatan Hammad Bin Zaid ada tambahan (perintah berwudhu setiap kali sholat) sengaja kami tidak sebutkan". Syarah Shahih Muslim (4/19). Perkataan Imam Muslim Rahimahullah tersebut merupakan isyarat dari beliau bahwa periwayatan tersebut tidak shahih atau lemah. Hal ini perkara-perkara yang dipahami oleh orang-orang yang memperhatikan kebiasaan Imam Muslim Rahimahullah dalam Shahih-nya.
Mengingat kesempatan yang sedikit mungkin ada baiknya kalau kita bawakan bukti-bukti yang menguatkan hal itu di kesempatan yang lain. Dan hal ini juga dipahami oleh Al Hafidz Ibnu Hajar bahwasanya hadits ini dianggap lemah oleh Al Imam Muslim, walaupun Al Hafidz tidak sependapat dengan Al Imam Muslim dalam hal ini. Lihat Al Fathu AL Baari (1/512) 
Demikian juga Al Imam An Nasa’i Rahimahullah mengatakan bahwa periwayatan yang memerintahkan untuk berwudhu setiap hendak sholat tidaklah shahih. Demikian juga Abu Daud dalam Sunan-nya, "Hadits ‘Adi Bin Tsabit dan al A’masy dan Habib dan Ayub Abi Al ‘Ala semuanya lemah tidak shahih". Kemudian Beliau berkata, "Telah meriwayatkan Ibnu Abi Daud dari Al A’masy marfu’ awalnya kemudian ia ingkari hadits yang mewajibkan wudhu setiap sholat". Lihat Ainul Ma’bud (1/337)
KESIMPULAN: Tidak wajib bagi perempuan yang terkena istihadhah untuk berwudhu setiap kali hendak sholat dan darah istihadhahnya bukanlah pembatal wudhu. Pendapat ini adalah pendapat Imam Rabiah, Imam Malik, Dawud, dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang tersebut dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah (hal. 27)  

2. MENYENTUH WANITA
Telah terjadi perbedaan pendapat di kalang an ulama dalam masalah ini menjadi lima pendapat sebagaimana yang telah disebutkan oleh Al Imam Qurtubi dalam Jami Li Ahkamil Qur’an (3-199). Akan tetapi bisa dikatakan pendapat yang mahsyur ada 3 pendapat. Lihat Majmu’  Al Fatawa (21-230)
Pendapat pertama: Menyentuh perempuan membatalkan wudhu secara mutlak (terangsang ataupun tidak terangsang) dengan syahwat atau tidak dengan syahwat. Mereka berdalil dengan ayat dalam Al Qur’an (yang artinya), "Atau bila kalian menyentuh perempuan dan kalian tidak mendapatkan air maka bertayamumlah" (QS An Nisaa’:43). Lihat Nailul Authar (1-213). Ayat tersebut sepintas menunjukkan apabila menyentuh perempuan dapat membatalkan wudhu.
Pendapat kedua: Menyentuh wanita dapat membatalkan wudhu apabila disertai dengan syahwat. Mereka juga berdalil dengan ayat di atas sebagaimana perkataan Ibnu Al Arabi dalam Ahkamul Qur’an (1-223) sebagaimana yang dinukil oleh Al Imam Al Qurtubi dalam Jami’ Ahkam Al Qur’an (3-200) bahwasanya perkataan Allah "Atau bila kalian menyentuh perempuan" bermakna menyentuh dan mencium.
Pendapat ketiga: Menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu baik dengan syahwat maupun tidak, selama tidak keluar sesuatu dari kemaluannya (mani atau madzi). Pendapat inilah yang diperkuat oleh Ali, Ibnu Abbas, Atha’, Thawus, Abu Hanifah, Sufyan Ats Tsauriy, dan lainnya. Lihat Ainul Ma’bud (1-2)
Berkata Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabari sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir, "Pendapat yang paling benar dalam permasalahan ini adalah pendapat yang mengatakan bahwasanya yang dikehendaki Allah Ta’ala dari perkataan-Nya, "Atau apabila kalian menyentuh perempuan" maksudnya adalah jima’ (hubungan suami istri -red) bukan yang lain dari makna tersebut karena telah ada hadits dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam mencium istri kemudian sholat dan tidak mengulangi wudhunya". Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1-516).
Berkata Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah, "Pendapat yang benar adalah menyentuh perempuan tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak kecuali jika keluar dari kemaluannya sesuatu. Dalilnya bahwa telah ada hadits dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bahwasanya beliau mencium istrinya kemudian Sholat tanpa mengulangi wudhunya. Selain itu tidaklah sesuatu itu bisa dianggap sebagai pembatal wudhu kecuali ada dalil yang shahih yang menunjukkan dengan jelas bahwa hal tersebut pembatal wudhu, dikarenakan seseorang yang yang telah berwudhu dengan mengikuti dalil syar’i maka tidak ada yang membatalkannya kecuali dengan keterangan dalil syar’i yang lain. Adapun firman Allah Ta’ala, "Atau apabila kalian menyentuh perempuan" maksudnya adalah jima’ (melakukan hubungan suami istri) sebagaiman ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, kemudian yang lebih memperkuat pendapat ini adalah ayat tersebut menjelaskan tentang pembagian (yang serasi) dari ayat Al Qur’an yaitu pembagian bersuci dengan thaharah yang asli (wudhu) dan thaharah pengganti (tayammum) kemudian pembagian yang serasi tentang bersuci dari hadats besar dan sebab-sebab untuk bersuci dari hadats kecil". Lihat Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (59) 
KESIMPULAN: Pendapat yang benar dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan "menyentuh perempuan tidaklah membatalkan wudhu dengan syahwat ataupun tidak dengan syahwat kecuali kalau keluar sesuatu dari kemaluannya (mani atau madzi)"
Hal tersebut dikarenakan tidak adanya dalil yang mengharuskan untuk bersuci setelah menyentuh perempuan. Adapun ayat pada surat An Nisaa’ maknanya adalah "melakukan hubungan suami istri" sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas yang telah didoakan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam agar Allah memberikan kepada Ibnu Abbas pemahaman tentang ilmu tafsir Al Qur’an. Dan diperkuat lagi oleh hadits Shahih Muslim dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwasanya dia berkata, "Aku letakkan tanganku di telapak kaki Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang sedang sholat)"
Berkata Imam Asy Syaukani, "Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh perempuan tidaklah membatalkan wudhu". Lihat Nail Authar (1-25). Pendapat ini juga diambil oleh Syaikhul Islam pada kesempatannya yang terakhir sebagaimana tertera dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah (hal: 28) 

3. MIMISAN
Adapun duapendapat dikalangan ulama yang mempermasalahkan ini: Ada yang mengatakan "Mimisan merupakan salah satu pembatal wudhu." Mereka berdalil dengan hadits Aisyah yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah (bab 137 hadits 1222) dan dikeluarkan oleh Al Imam Ad Daruquthni dan Al Imam Ahmad (yang artinya), "Barangsiapa yang muntah atau mimisan atau keluar sisa makanan dari kerongkongan atau madzi maka hendaklah ia berwudhu."
Adapun sebagian ulama yang lain berpendapat "mimisan tidak membatalkan wudhu." Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Malik As Syarif, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnu Al Musayyab, Makhul dan Rabi’ah. Lihat Nail Authar (1/206).
Pendapat yang kedua (mimisan tidak membatalkan wudhu) adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam sebagaimana dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah (hal 28). Selain itu juga dikuatkan oleh Al Imam Asy Syaukani. Beliau berkata, "Tidaklah pantas untuk mengatakan bahwa darah atau muntah sebagai pembatal wudhu kecuali jika ada dalil yang menunjangnya dan memastikan kewajiban (wajib wudhu dari mimisan atau muntah) sebelum mengetahui kebenaran dalilnya, sama sepertu memastikan keharaman sebelum mengetahui kebenaran dalil yang mengharamkan. Semua itu adalah menyandarkan kepada Allah suatu perkataan padahal Allah tidak mengatakannya". Lihat Nail Al Authar (1-207)
Berkata Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di, "Pendapat yang benar adalah darah dan muntah dan yang semisalnya (sesuatu yang keluar dari tubuh manusia yang bukan dari kemaluan dan anus) tidak membatalkan wudhu banyak atau sedikit karena tidak ada dalil yang menunjukkan kalau darah atau muntah membatalkan wudhu, dan hukum asal seseorang yang telah bersuci adalah tetap dalam keadaan suci (sampai ada dalil yang mengeluarkan dari kesuciannya)". Lihat Tawdhih Al Ahkam (1/301).
Berkata Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, "Sesuatu yang keluar dari sealin 2 jalan (kemaluan dan anus) tidaklah membatalkan wudhu sedikit ataupun banyak kecuali kencing atau tinja (atau madzi atau mani) karena hukum asalnya adalah tidaklah sebagai pembatal wudhu. Barangsiapa yang mengeluarkan dari hukum asal maka wajib baginya untuk mendatangkan dalilnya". Lihat Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (57).
KESIMPULAN: Pendapat yang benar dalam hal ini adalah yang mengatakan bahwa mimisan bukanlah sebagai pembatal wudhu dikarenakan hukum asal seseorang yang sudah bersuci tetap dalam keadaan kesuciannya selama tidak ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asal tersebut dan dalam permasalahan ini tidak ada dalil yang kuat untuk mengeluarkan dari hukum asal. Adapun hadits yang dikeluarkan ‘Aisyah bahwa mimisan dan muntah sebagai pembatal wudhu, maka hadits ini adalah hadits yang lemah dikarenakan perawinya yang bernama Ismail bin Ayyas telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, sementara periwayatannya dari selain orang se-negrinya sering salah, lihat At Taqrib (48), ditambah lagi dalam hal ini ia menyelisihi perawi-perawi yang lebih kuat darinya dan mereka meriwayatkannya secara mursal (terputus jalan haditsnya) dan riwayat yang mursal telah dikuatkan oleh Al Imam Muhammad Bin Yahya Ad Dzuhli, Ad Daruquthni dan Abu Hatim. Adapun jalan yang lain, dikeluarkan Ad Daruquthni darinya dari Atha’ bin Ajlan dan Abbad Bin Katsir dari Ibnu Abi Mulaikah dari ‘Aisyah.
Berkata Al Imam Baihaqi, "Yang benar irsal dan hadits dirafa’kan (disambungkan jalannya) oleh Sulaiman bin Arqam tetapi periwayatannya ditinggalkan oleh ahlul hadits. Selain itu juga ada periwayatan dari Ibnu Abbas dikeluarkan oleh Ad Daruquthni, Ibnu Adiy dan Ath Thabrani tetapi di jalannya ada Sulaiman Bin Arqam. Kemudian dari shahabat Abi Said dikeluarkan oleh Ad Daruquthni di sanadnya ada Abu Bakr Adz Dzahiri, dia juga ditinggalkan periwayatannya". Lihat Nail Al Authar (1-206)

4. MUNTAH
Demikian juga dalam hal ini bahwa pendapat yang benar adalah muntah tidak membatalkan wudhu. Hal ini dikarenakan tidak ada dalil yang kuat yang mengharuskan wudhu dari muntah. Sebagaimana kaidah berulang-ulang kali disebutkan, yaitu "hukum asal seseorang yang telah bersuci maka tidak membatalkan sucinya kecuali perkara-perkara yang datang dengan dalil yang kuat." Pendapat ini adalah pendapat Al Imam Malik, Imam Asy Syafii, dan lain-lain dan diperkuat oleh Syaikhul Islam, Al Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh As Sa’di, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lain-lain. Lihat Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah (28), Nail Al Authar (1-207), Taudhih Ahkam (1/301), Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (57).
Adapun hadits Aisyah yang mewajibkan wudhu dari muntah telah dijelaskan kelemahannya.
Sedangkan hadits Abi Darda’, "Bahwa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam muntah kemudian berwudhu" Hadits riwayat Al Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnul Jarud, Ibnu Hibban, Ad Daruquthni, Al Baihaqi, Ath Thabrani, Ibnu Majah, dan Al Hakim. Berkata Ibnu Mandah, "Isnadnya shahih bersambung akan tetapi ditinggalkan oleh Al Bukhari dan Muslim karena ada perselisihan di jalan haditsnya".
Berkata At Tirmidzi, "Husein Al Mu’allim telah membaikkan sanadnya dan ini yang paling shahih dalam permasalahan ini. Demikian juga berkata Ahmad dan di situ ada perselisihan yang banyak sebagaimana disebutkan oleh Ath Thabrani dan juga yang lainnya. Berkata Al Baihaqi: Jalan haditsnya mudhthradib (banyak perselisihan) tidak dapat dipakai sebagai hujjah" Talkhis Al Habir (2-190) 
KESIMPULANNYA: Hadits ini tidak bisa dipakai hujjah, kalaupun hadits ini dianggap shahih sebagaimana disebutkan oleh Asy Syaikh Al Albani di dalam Tamamul Minnah (hal 111) hadits ini tidak tidak menunjukkan wajibnya wudhu dari muntah akan tetapi hanya mustahab saja (disunnahkan saja), afdhal untuk dilakukan dan tidaklah mengapa jika ditinggalkan karena hanya berupa fiil saja (perbuatan saja). Sebagimana dinukil oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah (112) dari Syaikhul Islam di Majmu’al Ar Rasail 1  dan sebagaimana disebutkan oleh Al Imam Asy Syaukani dalam Nail Al Authar (1-205) dan ditekankan juga oleh Syaikh Ibnu Utsaimin. Fatawa Al Mar’ah  Al Muslimah (57)
Sumber: Majalah As Salam No IV/Tahun II -2006 M/1427 H hal 20-24
Judul Asli:
"Istihadhah, Menyentuh Wanita, Muntah, dan Mimisan Tidak Membatalkan Wudhu"
auto insurance, auto insurance quotes, auto insurance companies, auto insurance florida, auto insurance quotes online, auto insurance america, auto insurance comparison, auto insurance reviews, auto insurance calculator, auto insurance score, auto insurance quotes, auto insurance companies, auto insurance florida, auto insurance quotes online, auto insurance america, auto insurance comparison, auto insurance reviews, auto insurance calculator, auto insurance score, auto insurance ratings

Follow us on Facebook :P

Blogger news