Berbagi pengalaman bersama.
Wednesday, July 22, 2015
Cara Mengetahui Aktivitas Klik Invalid Google Adsense
Invalid artinya tidak valid, heuheu.. iya sih. Maksudnya adalah tidak sah. Artinya, ada aktivitas atau klik iklan Google Adsense pada halaman anda yang tidak diakui oleh Google lantaran tidak memenuhi kriteria klik (dan impresi/traffic) yang disyaratkan.
Ini definisi Invalid Click Activity menurut Google:
Invalid click activity consists of any clicks or impressions that may artificially
Tuesday, July 21, 2015
Grilled Prosciutto-Wrapped Peaches with Burrata and Basil – An Exceptional Summer Exception
There are many people, myself included, that think cooking prosciutto is basically a crime against nature; but there are exceptions, and this plate of grilled peaches with burrata is one incredibly delicious example.
Having said that, I used a domestic version, which works beautifully here, so we’re not expecting you to use up your precious prosciutto di Parma.
Having said that, I used a domestic version, which works beautifully here, so we’re not expecting you to use up your precious prosciutto di Parma.
As far as the peaches go, you want something ripe, and sweet, but still somewhat firm. Above and beyond not being too soft, you must also make sure you’re buying “freestone” peaches. Non-freestone varieties will not separate as seen in the video. Ask the produce person at the market, and if they’re not sure, have them cut one open. They’re usually happy to do so!
After you talk to them, head over to the cheese department, and pick up some burrata. This extra rich and creamy cousin of mozzarella is not that hard to find, and really puts this over the top. You could use a nice, fresh mozzarella, or even a full-fat ricotta instead, but, if at all possible, find some burrata, and treat yourself to one of the world’s great cheese experiences. I hope you give this great summer recipe a try soon. Enjoy!
Ingredients for 2 large or 4 small portions:
2 ripe, sweet, but not soft peaches (must be “freestone”)
3 or 4 thin slices prosciutto, torn in ribbons
6 ounces (about 3/4 cup) burrata cheese
salt and pepper to taste
extra virgin olive oil as needed
1 tbsp finely sliced fresh basil leaves
Menambahkan & Menampilkan Snippet Twitter Cards Untuk Blogger
Twitter Cards diperkenalkan Twitter di Awal 2012 lalu. Sudah banyak yang menggunakan sehingga banyak pula yang mendapatkan keuntungan dari Twitter Cards ini. Memahami Twitter Cards hampir sama dengan memahami Schema yang selama ini kita gunakan untuk mengoptimasi tampilan snippet konten di search engine (rich snippets). Sosial media lain seperti Facebook dan Google+ misalnya, telah lebih dulu
Monday, July 20, 2015
Next Up: Something with Peach
I think I’m going to start a new tradition, where the first video I post after a vacation, is whatever the most delicious thing I had during my time away was. I don’t want to spoil the surprise, but I can tell you it involved peaches, and was amazing. Stay tuned!
.
.
Perang Membela Negara, Dikatakan Jihad ???
Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsary
Sebuah aksioma bahwa jihad adalah ibadah dan amal shalih yang paling afdhol dimana hal ini tentunya tidak lepas dari stipulasi rukun-rukunnya serta kewajiban-kewajibannya. Seperti halnya tidak boleh bagi seorang muslim untuk pergi sholat sedang ia tidak mengetahui hukum-hukumnya, demikian pula tidak boleh untuk masuk ke dalam bab ini (jihad) dan mengaku dirinya sebagai seorang mujahid sedang ia bodoh akan hukum-hukum jihad. Maka, wajib bagi seorang muslim sebelum terjun dalam perkara ini agar mengerti apa itu jihad, atas landasan apa ditegakkan, dengan siapa menegakkannya, dan apa pula syarat serta rukun-rukunnya, apakah telah terpenuhi ataukah tidak?
Sebuah aksioma bahwa jihad adalah ibadah dan amal shalih yang paling afdhol dimana hal ini tentunya tidak lepas dari stipulasi rukun-rukunnya serta kewajiban-kewajibannya. Seperti halnya tidak boleh bagi seorang muslim untuk pergi sholat sedang ia tidak mengetahui hukum-hukumnya, demikian pula tidak boleh untuk masuk ke dalam bab ini (jihad) dan mengaku dirinya sebagai seorang mujahid sedang ia bodoh akan hukum-hukum jihad. Maka, wajib bagi seorang muslim sebelum terjun dalam perkara ini agar mengerti apa itu jihad, atas landasan apa ditegakkan, dengan siapa menegakkannya, dan apa pula syarat serta rukun-rukunnya, apakah telah terpenuhi ataukah tidak?
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- sebelum kita menentukan jihad atau bukan perang membela negara, ada beberapa kondisi yang menyebabkan jihad menjadi fardlu ‘ain.
Kondisi pertama: jika waliyyul amri (penguasa/pemerintah -red) memerintahkan untuk berjihad fi sabilillah, maka tidak boleh seorangpun menyelisihinya untuk tetap tinggal kecuali yang memiliki udzur. Allah berfirman (yang artinya), "Hai orang-orang yang beriman apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu, ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah’, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibanding dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang niscaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksaan yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain dan kamu tidak akan memberikan kemudharatan padaNya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. At Taubah: 38-39).
Kondisi kedua: jika musuh mengepung suatu negeri, yakni musuh datang lalu masuk ke suatu negeri dan mengepungnya, ketika itu jihad menjadi fardlu ‘ain bagi seriap orang penduduk negeri itu sekalipun para wanita atau orang tua yang mampu untuk membela negaranya. Karena ini adalah perang pembelaan bukan perang dalam artian penyerangan (untuk perluasan Islam).
Kondisi ketiga: apabila telah memasuki barisan perang dan bertemu kedua pasukan (kafir dan muslim), maka jihad ketika itu menjadi fardlu ‘ain, tidak boleh bagi seorangpun untuk berpaling. Allah berfirman (yang artinya), "Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur), barangsiapa yang mundur di waktu itu kecuali berbelok (untuk siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya ialah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya." (QS Al Anfaal: 15-16). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan berpaling pada saat bertemunya dua pasukan termasuk salah satu dari tujuh dosa-dosa besar yang membinasakan.
Kondisi keempat: jika manusia membutuhkan kepada orang yang mampu menggunakan senjata, dalam posisi tak ada seorangpun yang mengetahui cara penggunaan senjata baru tersebut kecuali seorang saja, maka menjadi fardlu ‘ain bagi dia untuk berjihad meskipun tidak diperintahkan oleh pemimpin negara karena ia dibutuhkan.
Dalam empat kondisi inilah jihad menjadi fardlu ‘ain, adapun selainnya adalah fardlu kifayah.
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- oleh karena itu, dalam kondisi yang kita jalani sekarang ini wajib bagi kita untuk mengingatkan kepada segenap orang bahwa ajakan untuk pembebasan negara dan yang semisalnya adalah ajakan yang tidak relevan, dan wajib untuk membekali setiap orang dengan persiapan agama yang matang, katakanlah, "Bahwa kami membela agama kami sebelum segala sesuatu." Karena negeri kami adalah negeri agama dan negeri Islam yang butuh akan proteksi dan pembelaan, maka harus membela negara dengan niat seperti ini.
Para ahli ilmu berkata, "Wajib bagi setiap muslim untuk berjihad memerangi musuh Allah, agar kalimat Allah menjadi tinggi, bukan karena tujuan membela negaranya, sebab berperang semata-mata membela negara bisa dilakukan semua orang baik muslim maupun kafir. Maka seorang muslim ketika membela negaranya jangan semata-mata karena itu negerinya, tetapi karena negeri itu adalah negeri Islam, membelanya dengan tujuan untuk penjagaan terhadap Islam."
Adapun membela negara dengan dorongan nasionalisme atau fanatisme kaum, ini juga dapat dilakukan semua pihak baik muslim ataupun kafir. Yang demikian itu tidak akan membawa manfaat sedikitpun bagi pelakunya pada hari kiamat, de facto tidak dinamakan mati syahid, bila terbunuh dalam keadaan membela negara dengan niatan seperti itu. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang berperang karena fanatisme kaum, berperang supaya dikatakan pemberani, dan berperang agar mendapat predikat kaum grand-monde, manakah yang termasuk fi sabilillah? Beliau menjawab (yang artinya), "Barangsiapa berperang supaya kalimat Allah menjadi tinggi maka itulah fi sabilillah." (HR. Bukhori, Muslim dari sahabat Abu Musa).
Jika berperang karena negara, maka keadaannya sama dengan orang-orang kafir. Berperanglah agar kalimat Allah menjadi tinggi, telah ada dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), "Tidaklah yang terluka di jalan Allah -dan Allah lebih mengetahui siapa yang terluka di jalanNya- kecuali datang pada hari kiamat dan lukanya akan mengalirkan darah yang berwarna merah dan berbau misk." (HR. Bukhori no 5533, dan Muslim no 1876 dari sahabat Abu Hurairoh).
Disadur secara bebas dari pernyataannya Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
tentang "Berperang untuk Negara" pada saat hari-hari pertama invasi Iraq atas Kuwait
dengan sedikit tambahan dari penulis
Saturday, July 18, 2015
Siapa Saja Mahram Itu ?
Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini Al Makassari
Ada beberapa pertanyaan yang masuk seputar permasalahan muhrim, demikian para penanya menyebutnya, padahal yang mereka maksud adalah mahram. Perlu diluruskan bahwa muhrim dalam bahasa Arab adalah muhrimun, mimnya di-dhammah yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Sedangkan mahram bahasa Arabnya adalah mahramun, mimnya di-fathah.
Ada beberapa pertanyaan yang masuk seputar permasalahan muhrim, demikian para penanya menyebutnya, padahal yang mereka maksud adalah mahram. Perlu diluruskan bahwa muhrim dalam bahasa Arab adalah muhrimun, mimnya di-dhammah yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Sedangkan mahram bahasa Arabnya adalah mahramun, mimnya di-fathah.
Mahram ini berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). (Di sisi lain lelaki ini) boleh melakukan safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dan seterusnya dari hukum-hukum mahram.
Mahram sendiri terbagi menjadi tiga kelompok, yakni mahram karena nasab (keturunan), mahram karena penyusuan, dan mahram mushaharah (kekeluargaan kerena pernikahan).
Kelompok pertama, yakni mahram karena keturunan, ada tujuh golongan:
- Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita
- Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
- Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu
- Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
- Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
- Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
- Putri saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu (keponakan), cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
Mereka inilah yang dimaksudkan Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): "Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…" (An-Nisa: 23)
Kelompok kedua, juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. Dua di antaranya telah disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): "Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan." (An-Nisa 23)
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahram bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan miliknya melainkan milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara tanbih bahwa suaminya menjadi mahram bagi anak susuan tersebut . Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak, berarti termasuk anak kandung dari ibu susu, anak kandung dari ayah susu, serta dua anak yang disusui oleh wanita yang sama. Maka ayat ini dan hadits yang marfu’ (artinya): "Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena punyusuan." (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Abbas), keduanya menunjukkan tersebarnya hubungan mahram dari pihak ibu dan ayah susu sebagaimana tersebarnya pada kerabat (nasab). Maka ibu dari ibu dan bapak (orang tua) susu misalnya, adalah mahram sebagai nenek karena susuan dan seterusnya ke atas sebagaimana pada nasab. Anak dari orang tua susu adalah mahram sebagai saudara karena susuan, kemudian cucu dari orang tua susu adalah mahram sebagai anak saudara (keponakan) karena susuan, dan seterusnya ke bawah.
Saudara dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi karena susuan, saudara ayah/ ibu dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi orang tua susu dan seterusnya ke atas.
Adapun dari pihak anak yang menyusu, maka hubungan mahram itu terbatas pada jalur anak keturunannya saja. Maka seluruh anak keturunan dia, berupa anak, cucu dan seterusnya ke bawah adalah mahram bagi ayah dan ibu susunya.
Hanya saja, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullahu, bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): "Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya." (Al-Baqarah: 233)
Dan Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.
Dan yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan. Setiap penyusuan bentuknya adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali.
Adapun kelompok ketiga, jumlahnya 4 golongan, sebagai berikut:
- Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan surat An-Nisa ayat 23.
- Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
- Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan An-Nisa: 23.
- Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah) , cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
Nomor 1, 2 dan 3 hanya menjadi mahram dengan akad yang sah meskipun belum melakukan jima’ (hubungan suami istri). Adapun yang keempat maka dipersyaratkan bersama dengan akad yang sah dan harus terjadi jima’, dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajih yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu.
Dan mereka tetap sebagai mahram meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati, maka istri bapak misalnya tetap sebagai mahram meskipun dicerai atau ditinggal mati. Dan Rabibah tetap merupakan mahram meskipun ibunya telah meninggal atau diceraikan, dan seterusnya.
Selain yang disebutkan di atas, maka bukan mahram. Jadi boleh seseorang misalnya menikahi rabibah bapaknya atau menikahi saudara perempuan dari istri bapaknya dan seterusnya.
Begitu pula saudara perempuan istri (ipar) atau bibi istri, baik karena nasab maupun karena penyusuan maka bukan mahram, tidak boleh safar berdua dengannya, berboncengan sepeda motor dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, berjabat tangan, dan seterusnya dari hukum-hukum mahram tidak berlaku padanya. Akan tetapi tidak boleh menikahinya selama saudaranya atau keponakannya itu masih sebagai istri hingga dicerai atau meninggal. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): "Dan (haram atasmu) mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri (secara bersama-sama)." (An-Nisa: 23)
Dan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu muttafaqun ‘alihi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya sebagai istri secara bersama-sama. Wallahu a’lam bish-shawab.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di, Syarhul Mumti’, 5/168-210)
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di, Syarhul Mumti’, 5/168-210)
Sumber: www.asysyariah.com
Download Office 2016 Pro Plus Full Version Free
Rafi Orilya, Semua laptop mayoritas menggunakan Office sebagai pengolah data, baik itu berupa dokumen, presentasi, database dll. Dengan office para pengguna dapat dengan mudah melakukan pekerjaan mereka. Nah kali ini Office meluncurkan produk terbarunya yaitu Office 2016, kali ini Office 2016 tampil dengan tampilan yang membuat kita merasa nyaman tidak membosankan dan penggunaan menu-menu yang mudah.
Office kali ini tampil dengan warna yang bermacam-macam bisa kalian atur sendiri dan temanyapun dapat berubah seperti office sebelumnya. Office 2016 lebih mudah digunakan dalam menggunakan tool-tool yang disediakan, kita tidak perlu lagi bingung karena telah disediakan icon-icon yang terjajar rapih.
baca : Cara Mudah Menghilangkan Password Windows 8 atau 8.1
Berikut persyaratan sistemnya :
OS : Windows 7, 8, 8.1, Windows Server 2008 / 2012
RAM : 1 GB RAM untuk (32 bit) dan 2 GB RAM untuk (64bit)
Disk : Dibutuhkan 3GB disk untuk menginstall office 2016
Resolusi layar : 1024 x 576 atau lebih
baca : Cara Menambah RAM Tanpa Software dengan Mudah
Cara menggunakan Activator :
1. Install Office 2016 terlebih dahulu seperti biasa > CLOSE OFFICE
2. Buka KMSAuto.exe
3. Klik Install GLVK, kemudian pilih Office Key. (tunggu hingga selesai)
4. Klik Activate Office
5. Tutup KMSAuto
* Jalankan Office 2016
Jika berminat untuk menggunakannya silahkan download pada link berikut :
Office 2016 Professional Plus (google drive) : KLIK DISINI
Office 2016 Professional Plus (32 bit/ x86) : KLIK DISINI
Office 2016 Professional Plus (64 bit/ x64) : KLIK DISINI
Activator KMSAuto : KLIK DISINI
baca : Download Windows 8.1 Pro Full Activator Free
Semoga dengan Office 2016 kinerja anda akan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dan tetap semangat dalam meraih kesuksesan-kesuksesan didepan kita.
Perkenankan anda untuk KLIK IKLAN dibawah dan KIRIM KOMENTARNYA semoga bermanfaat :)
Terima Kasih
Rafi Orilya Groups
by Rafi Aldiansyah Asikin
Friday, July 17, 2015
Mencari Barokah Kanjeng Kyai - Fenomena “Ngalap Berkah”
Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi
Orang alim memiliki kedudukan yang tinggi di hadapan Allah. Juga tinggi kedudukannya di hadapan makhluk-Nya. Semua ini merupakan pemberian dan karunia-Nya. Allah mengatakan di dalam Al-Qur’an (yang artinya):“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)
”Katakanlah: ‘Hai Tuhan yang memiliki kerajaan, engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari siapa yang engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan.’" (Ali ‘Imran: 26)
Kedua ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa yang mengangkat dan menjatuhkan seseorang adalah Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, usaha untuk mengangkat diri atau mengangkat siapa saja di hadapan orang lain, semuanya dengan kehendak Allah. Tanpa berharap pun, jika di sisi Allah subhanahu wata’ala seseorang memang pantas diangkat kedudukannya, niscaya ia akan diangkat.
Kedua ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa yang mengangkat dan menjatuhkan seseorang adalah Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, usaha untuk mengangkat diri atau mengangkat siapa saja di hadapan orang lain, semuanya dengan kehendak Allah. Tanpa berharap pun, jika di sisi Allah subhanahu wata’ala seseorang memang pantas diangkat kedudukannya, niscaya ia akan diangkat.
As-Sa’di di dalam tafsirnya mengatakan: “Perkaranya bukan hanya keinginan-keinginan ahli kitab (seseorang diangkat atau tidak) dan tidak pula selain mereka. Akan tetapi perkaranya adalah milik Allah subhanahu wata’ala. Semua Dia yang mengatur, tidak ada seorangpun yang sanggup menentang atau membantu-Nya dalam pengaturan ini.
Seandainya semua makhluk dari kalangan jin dan manusia dulu maupun sekarang, bahu-membahu dan memuji untuk mengangkatmu, maka mereka tidak akan sanggup kecuali memang yang telah dikehendaki Allah. Dan kehendak Allah subhanahu wata’ala, tidak sama dengan kehendak makhluk-Nya. Demikian juga jika seluruh makhluk bersatu-padu ingin menjatuhkan atau menghinakan seseorang, maka mereka tidak akan sanggup melainkan dengan kehendak-Nya.
Dan sebaliknya. Dalam pandangan makhluk bisa jadi seseorang pantas untuk diangkat kedudukannya. Akan tetapi karena dalam pandangan Allah tidak demikian, maka kita tidak bisa memaksakan keinginan kita kepada Allah subhanahu wata’ala. Dialah Dzat tunggal yang berbuat sesuai dengan kehendak-Nya."
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuatnya dan merekalah yang ditanya (apa yang mereka perbuat).” (Al-Anbiya: 23)
“(Allah) Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruj: 16)
Barakah Datang dari Allah
“(Allah) Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruj: 16)
Barakah Datang dari Allah
Barakah secara bahasa artinya “kebaikan yang banyak dan tetap.” Diambil dari kata “birkah” yang artinya kumpulan air. Sedangkan menurut syariat yaitu kebaikan yang banyak diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada siapa yang dikehendaki. Dari definisi keduanya, bisa ditarik kesimpulan bahwa barakah itu datang dari Allah subhanahu wata’ala sebagai satu bentuk karunia yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah mengatakan dalam Al-Qur’an (yang artinya):
“Di tangan Engkaulah segala kebaikan.” (Ali ‘Imran: 26)
“Allah menganugerahkan kefahaman (Al-Hikmah) kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa dianugerahi Al-Hikmah itu, maka dia benar-benar telah dianugerahi kebaikan yang banyak.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya):“Dan kebaikan seluruhnya ada di kedua tangan-Mu.” (Shahih, HR. Muslim no. 771 dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Tabarruk dalam Agama
“Di tangan Engkaulah segala kebaikan.” (Ali ‘Imran: 26)
“Allah menganugerahkan kefahaman (Al-Hikmah) kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa dianugerahi Al-Hikmah itu, maka dia benar-benar telah dianugerahi kebaikan yang banyak.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya):“Dan kebaikan seluruhnya ada di kedua tangan-Mu.” (Shahih, HR. Muslim no. 771 dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Tabarruk dalam Agama
Bertabarruk, istilah yang sangat kita kenal ini, maknanya adalah mencari barakah (berkah). Mencari barakah tidak terlepas dari dua keadaan:
Pertama, mencari barakah dengan perkara yang telah disyariatkan seperti (dengan) Al-Qur’an. Allah berfirman tentang hal ini (yang artinya): “Al-Qur’an yang Kami telah turunkan kepadamu akan dapat memberikan barakah.”
Bentuk barakah Al-Qur’an di antaranya, barang siapa mengambil apa yang ada di dalamnya baik berupa perintah maupun larangan, niscaya akan terwujud kemenangan, dan Allah telah menyelamatkan umat-umat dengan Al-Qur’an ini. Termasuk juga dari barakah Al-Qur’an, bahwa satu huruf memiliki sepuluh kali lipat kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan tentang hal ini (yang artinya): ”Sesungguhnya Allah mengangkat suatu kaum dengan Al-Qur’an ini dan menghinakan kaum yang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 817 dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu).
Bentuk barakah Al-Qur’an di antaranya, barang siapa mengambil apa yang ada di dalamnya baik berupa perintah maupun larangan, niscaya akan terwujud kemenangan, dan Allah telah menyelamatkan umat-umat dengan Al-Qur’an ini. Termasuk juga dari barakah Al-Qur’an, bahwa satu huruf memiliki sepuluh kali lipat kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan tentang hal ini (yang artinya): ”Sesungguhnya Allah mengangkat suatu kaum dengan Al-Qur’an ini dan menghinakan kaum yang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 817 dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu).
Kedua, bertabarruk dengan perkara yang umum dan dapat dirasakan seperti bertabarruk (mencari kebaikan yang banyak) dengan cara mengajar, berdoa dan sebagainya (misalnya: bertabarruk dengan ilmu dan dakwah menuju kebaikan). Tentunya ini merupakan wujud barakah yang karenanya kita mendapatkan kebaikan yang banyak. (Al-Qaulul Mufid, 1/240)
Islam sendiri telah menetapkan adanya barakah pada hal-hal yang telah ditentukan oleh syariat di mana setiap orang berhak untuk mendapatkannya. Barakah tidak hanya didapati oleh murid guru tertentu, kelompok ataupun pengikut tertentu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang Al-Qur’an (yang artinya):“Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya Al-Qur’an itu akan menjadi pemberi syafaat bagi pembacanya di hari kiamat.” (Shahih, HR. Muslim dan shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu)
“Makanlah kalian dengan berjamaah dan sebutlah Allah, niscaya Allah akan memberkahi kalian padanya." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3199, Shahih Sunan Ibni Majah no. 3286, dan di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 664 dari shahabat Wahsyi radhiallahu ‘anhu).
”Barangsiapa bersuci di rumahnya kemudian dia mendatangi masjid Quba dan shalat di dalamnya, maka ganjarannya seperti pahala umrah.” (HR. Ahmad, An-Nasai, dan Ibnu Majah, dan telah dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitabnya Shahih Sunan Ibni Majah, 1/238 no. 1160, dan Ta’liqul Ar-Raghib, 2/138)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang itsmid (celak mata) (yang artinya): "Hendaklah kalian memakai itsmid karena sesungguhnya itsmid itu dapat menumbuhkan bulu mata, menghilangkan kotorannya, dan membersihkan penglihatan." (HR. Al-Bukhari di dalam At-Tarikh, 4/2/412, dan Ath-Thabrani, 1/12/1, dan Abu Nua’im di dalam Al-Hilyah, 3/178, dan dihasankan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 2/270 no. 665, dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Masih banyak lagi nash-nash yang menjelaskan adanya kebaikan (berkah) yang banyak pada makhluk-makhluk Allah yang lain. Dan itu menjadi sandaran bagi kita bahwa syariat menjelaskan adanya barakah yang dikandungnya.
Macam-Macam Tabarruk
Masih banyak lagi nash-nash yang menjelaskan adanya kebaikan (berkah) yang banyak pada makhluk-makhluk Allah yang lain. Dan itu menjadi sandaran bagi kita bahwa syariat menjelaskan adanya barakah yang dikandungnya.
Macam-Macam Tabarruk
Tabarruk terkadang dijadikan sebagai pembenaran atas amalan tertentu yang sebenarnya terlarang menurut syariat, bahkan termasuk dari perbuatan syirik besar. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui macam-macam tabarruk, mana yang diperbolehkan dan yang dilarang:
Pertama, tabarruk yang disyariatkan, sebagai berikut:
a. Tabarruk dengan ucapan, amalan, dan keadaan-keadaan (perilaku).
Di dalam Islam, ada beberapa perkataan, amalan, dan perilaku yang apabila dipraktekkan akan terwujud kebaikan dan barakah yang banyak. Tentu selama hal tersebut mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Contohnya adalah dzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an. Di antara barakah dzikir kepada Allah adalah mendapatkan doa dari malaikat, sanjungan di hadapan makhluk-Nya dan ampunan dari Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari. Di antara barakah Al-Qur’an adalah sebagai obat, petunjuk, dan rahmat bagi seluruh manusia. Serta sebagai pemberi syafaat kelak di hadapan Allah sebagaimana dalam hadits Abu Umamah yang dikeluarkan Al-Imam Muslim.
Adapun contoh amalan yang mengandung berkah adalah menuntut ilmu dan mengajarkannya. Di antara barakahnya adalah terangkatnya derajat di dunia dan di akhirat. Kemudian shalat secara berjamaah, yang barakahnya adalah dihapuskannya dosa-dosa dan dilipatgandakannya kebaikan-kebaikan.
Contoh perilaku (keadaan) di antaranya makan berjamaah, makan dari pinggir nampan, menjilat lidah dan menakar makanan sebagaimana dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang shahih.
b. Tabarruk dengan tempat
Memang ada sejumlah tempat yang oleh Allah dijadikan tempat yang mengandung banyak kebaikan (barakah). Yakni apabila beramal di tempat tersebut dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Contohnya adalah masjid-masjid, di mana mencari barakahnya dengan melaksanakan shalat lima waktu, beri’tikaf, menghadiri majelis ilmu, dan sebagainya dengan cara-cara yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Perlu diketahui, bertabarruk pada masjid-masjid itu bukan dengan cara mengusap-ngusap tembok atau tanah masjid tersebut, atau yang hal-hal lain yang dilarang syariat.
b. Tabarruk dengan tempat
Memang ada sejumlah tempat yang oleh Allah dijadikan tempat yang mengandung banyak kebaikan (barakah). Yakni apabila beramal di tempat tersebut dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Contohnya adalah masjid-masjid, di mana mencari barakahnya dengan melaksanakan shalat lima waktu, beri’tikaf, menghadiri majelis ilmu, dan sebagainya dengan cara-cara yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Perlu diketahui, bertabarruk pada masjid-masjid itu bukan dengan cara mengusap-ngusap tembok atau tanah masjid tersebut, atau yang hal-hal lain yang dilarang syariat.
Contoh lain bahwa Allah melalui lisan Rasul-Nya telah menjelaskan barakah kota Makkah, Madinah, Syam, Masjid Al-Haram, Masjid Quba, dan Masjid Al-Aqsha. Mencari barakah padanya bukan dengan menziarahi semata, mencium, atau mengusap tanahnya, namun dengan cara beribadah di dalamnya sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits.
c. Tabarruk dengan waktu
Contoh waktu yang telah dikhususkan oleh syariat di mana waktu tersebut mengandung kebaikan yang banyak (barakah) adalah bulan Ramadhan. Caranya, mengisi bulan mulia tersebut dengan berpuasa yang akan terhapuskan dosa-dosa dan bertambahnya rizki orang-orang yang beriman. Contoh lain adalah malam Lailatul Qadar, sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir, dan lain-lain. Mencari barakah pada waktu-waktu tersebut adalah dengan cara melaksanakan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
c. Tabarruk dengan waktu
Contoh waktu yang telah dikhususkan oleh syariat di mana waktu tersebut mengandung kebaikan yang banyak (barakah) adalah bulan Ramadhan. Caranya, mengisi bulan mulia tersebut dengan berpuasa yang akan terhapuskan dosa-dosa dan bertambahnya rizki orang-orang yang beriman. Contoh lain adalah malam Lailatul Qadar, sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir, dan lain-lain. Mencari barakah pada waktu-waktu tersebut adalah dengan cara melaksanakan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Apa-apa yang disebutkan di atas maupun yang belum disebutkan yang sudah jelas nashnya, mencari barakahnya adalah dengan cara yang telah disyariatkan oleh Allah dan tidak keluar dari pensyariatan tersebut. (At-Tabarruk Al-Masyru’, Al-’Ulyani, hal. 33-50)
Kedua, tabarruk batil yang tidak diperbolehkan. Di antara bentuk-bentuk tabarruk batil ini adalah:
Kedua, tabarruk batil yang tidak diperbolehkan. Di antara bentuk-bentuk tabarruk batil ini adalah:
a. Tabarruk pada tempat-tempat yang tidak dijelaskan oleh syariat baik dengan cara mencium, mengusap, atau mencari syafaat darinya.
b. Pergi ke kuburan dengan tujuan ziarah dan berdoa di sisinya, dengan keyakinan bahwa berdoa di sisinya lebih utama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim (hal. 433) mengatakan, “Bila seseorang shalat di sisi kuburan para nabi atau orang-orang shalih dengan tujuan untuk mencari barakah, maka ini merupakan bentuk penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya, menyelisihi agama, dan mengada-ada di dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah."
c. Disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim juga (hal. 424-426) contohnya seperti orang yang pergi ke gua Hira kemudian shalat di dalamnya, berdoa ke gua Tsur lalu shalat dan berdoa di dalamnya, atau ke bukit Thursina lalu shalat dan berdoa padanya. Atau pergi ke gunung-gunung atau selainnya yang disebut sebagai maqamat (tempat bersejarah) para nabi.
Asy-Syaikh Ibnu Baz dalam fatwa beliau (3/334) membantah orang-orang yang menghidupkan peninggalan-peninggalan nubuwwah seperti jalan yang dilalui oleh beliau ketika berhijrah, atau tempat tenda Ummu Abd (atau Ummu Ma’bad ???) atau yang sejenisnya. Beliau menjelaskan bahwa cara demikian dapat mengarah pada perbuatan mengagungkan, berdoa di sisinya, atau shalat, dan lain sebagainya. Semua ini merupakan jalan-jalan yang akan mengantarkan kepada kesyirikan.
d. Menetapkan waktu-waktu tertentu dengan berbagai macam bentuk pengagungan dan acara-acara serta berbagai bentuk ibadah lainnya. Seperti menyambut hari kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hari Isra’ Mi’raj, hari hijrah, hari Badr, hari Fathu Makkah, dan sebagainya. Bertabarruk pada hari-hari di atas termasuk perbuatan bid’ah dalam agama.
e. Bertabarruk dengan orang-orang shalih, peninggalan-peninggalan mereka seperti tongkatnya, air ludahnya, rambutnya, keringatnya, pakaian-pakaiannya, tempat tidurnya dan lain sebagainya.
(Ta’liq Al-Qaul Al-Mufid, 1/246-250)
Tabarruk Orang-Orang Jahiliyyah
Allah berfirman dalam Al-Qur’an (yang artinya): “Maka apakah patut kalian (hai orang-orang musyrik menganggap) Al-Lata dan Al-‘Uzza dan Manat yang ketiga. Yang paling terkemudian (sebagai anak-anak perempuan Allah)?” (An-Najm: 19-20)
Tiga sesembahan di atas merupakan tuhan-tuhan yang besar di kalangan mereka. Tuhan-tuhan itulah tempat mereka memuja dan memuji, serta bertabarruk kepada-Nya. Lalu apakah Al-Lata, Al-‘Uzza, dan Manat itu?
Adapun Al-Lata menurut Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (4/253), adalah sebuah batu besar yang terukir dan berwarna putih di mana di atasnya terdapat sebuah rumah. Memiliki kelambu dan juru kunci di sekelilingnya, serta terdapat halaman. Al-Lata memiliki kedudukan yang agung di sisi Bani Tsaqif, penduduk Thaif, di mana mereka sangat bangga dengannya di negeri Arab setelah Quraisy. Hakekat Al-Lata disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas, Mujahid, dan Rabi’ bin Anas bahwa dia adalah seseorang yang mengadon tepung untuk orang-orang yang melaksanakan haji di masa jahiliyyah. Ketika meninggal, orang-orang i’tikaf di kuburannya untuk kemudian menyembahnya.
Adapun Al-’Uzza menurut Ibnu Jarir adalah sebuah pohon yang di atasnya terdapat bangunan yang memiliki kelambu. Benda yang sangat diagungkan orang-orang Quraisy ini terletak di Nakhlah, yakni suatu tempat di antara Makkah dan Thaif.
Adapun Manat adalah sesembahan yang berada di Musyallal, tempat antara Makkah dan Madinah, di mana suku Khuza’ah, Aus, dan Khazraj mengagungkan dan memakaikan pakaian ihram padanya.
Di antara bentuk tabarruk mereka adalah apa yang diceritakan oleh Abu Waqid Al-Laitsi. Beliau berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menuju Hunain dan kami baru pindah dari agama kufur (menuju Islam). Orang-orang musyrik memiliki sidrah (sebuah pohon) tempat mereka berhenti dan beristirahat. Dan mereka juga menggantungkan pedang-pedang mereka (untuk bertabarruk dengannya). Pohon itu disebut Dzatu Anwath. (Kata Abu Waqid) kami kemudian melewati sebuah sidrah kemudian mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka (orang-orang musyrik) memiliki Dzatu Anwath.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Allahu Akbar, sesungguhnya apa yang kalian katakan ini merupakan jalan-jalan (orang sebelum kalian). Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seperti ucapan bani Israil kepada Musa: ‘Buatkanlah kami satu sesembahan sebagaimana mereka memiliki banyak sesembahan’. (Musa) berkata: ‘Sesungguhnya kalian adalah kaum yang jahil.’ (Rasulullah berkata: ‘Kalian benar-benar akan mengikuti langkah-langkah orang sebelum kalian)’." (HR. At-Tirmidzi no. 2181, beliau berkata: hadits hasan shahih).
Bentuk tabarruk mereka adalah mengagungkan pohon tersebut, beri’tikaf padanya lalu mengharapkan kebaikan darinya.
Tabarruk kepada Sang Guru, Benarkah?
Tabarruk kepada Sang Guru, Benarkah?
Bagaimana dengan bertabarruk kepada kanjeng guru? Apakah hal ini dibenarkan? Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, tabarruk yang diperbolehkan adalah apa yang telah dijelaskan kebolehannya oleh syariat. Adapun tabarruk kepada zat orang shalih atau peninggalan-peninggalannya, tidak ada syariatnya sama sekali. Karena, hal tersebut termasuk bentuk tabarruk yang batil.
Lalu bagaimana dengan perbuatan para shahabat terhadap diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di mana mereka berebutan mengambil ludah beliau, air wudhu beliau, bahkan di antara mereka ada yang mengumpulkan keringat dan rambut beliau?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan di dalam Fathul Majid (1/264), syarah beliau terhadap Kitab Tauhid, menjawab syubhat ini, dengan ucapan: “Adapun yang didengungkan oleh orang-orang sekarang ini bahwa boleh bertabarruk dengan peninggalan-peninggalan orang shalih, maka hal demikian terlarang dari beberapa sisi:
- Generasi pertama umat ini dari kalangan shahabat dan generasi setelahnya tidak pernah melakukannya kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak di masa hidup beliau ataupun setelah meninggalnya.
- Bila yang demikian itu adalah baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya.
- Seutama-utama shahabat adalah Abu Bakr, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman dan ‘Ali radhiallahu ‘anhum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan telah mempersaksikan mereka menjadi penghuni surga. Namun tidak ada seorangpun dari kalangan shahabat atau tabi’in yang melakukan amalan tersebut (yaitu bertabarruk) kepada tokoh-tokoh shahabat itu. Begitu juga tidak pernah dilakukan oleh generasi tabi’in kepada ahli ilmu dan ulama di masa mereka.
- Tidak boleh mengqiyaskan (menyamakan) kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan seorangpun dari umat ini.
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak boleh orang lain masuk ikut menyertai beliau dalam kekhususan itu.
- Melarang yang demikian ini dimaksudkan sebagai cara untuk menutup pintu-pintu kesyirikan.
Seruan
Wahai saudaraku se-Islam, kembalilah kepada kemurnian agama ini, tinggalkan agama turun-temurun dan agama mengekor. Ketahuilah bahwa seorang kiai bukanlah agama, dan agama bukanlah kiai. Ucapan dan perbuatan mereka berikut keyakinan yang mereka miliki harus dicocokkan dengan agama, sesuai atau tidak? Oleh karena itu, karena mereka bukan agama sebagai sumber kebenaran, namun hanya manusia biasa tempat kekurangan dan kesalahan, maka tidak pantas bagi kaum muslimin untuk bertabarruk dengan air liur mereka, keringat mereka, bekas minum mereka, dan sebagainya. Wallahu a’lam.
Thursday, July 16, 2015
Kembali Pada Fitrah
Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsary
Pada dasarnya secara fitrah, manusia dengan sendirinya akan menetapkan sang penciptanya dengan uluhiyahnya, mencintainya, dan mengikhlaskan agama untuknya serta senantiasa berada dalam agama tauhid. Bagaimana tidak dikatakan demikian sementara Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Setiap yang dilahirkan terlahir dalam keadaan fitrah…" (HR Bukhori, Muslim dari Abu Hurairoh).
Fitrah yang dimaksud dalam hadits ini menurut pendapat yang paling kuat adalah Islam, namun bukanlah maknanya bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan berpengetahuan tentang dien ini, karena Allah telah berfirman, "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun…" (QS An Nahl: 78).
Akan tetapi fitrahnya menuntut menghendaki dienul Islam, sehingga dengan sendirinya manusia akan menetapkan sang Fathirnya / Kholiqnya, mencintainya serta tunduk dalam ubudiyah terhadapNya. Di dalam Al Qur’an Allah subhanahu wa ta’ala juga telah menyinggungnya, seperti dalam firmanNya, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS Ar Ruum: 30).
Fitrah yang tercantum dalam ayat ini juga menurut tafsiran yang paling benar adalah Islam, dimana ini menunjukkan bahwa manusia secara fitrahnya beragama tauhid. Berkata Ibnu Katsir mengenai makna ayat ini, "Allah berfirman: ‘Luruskanlah wajahmu’ tetaplah di atas dien yang Allah telah syariatkan untukmu dari millah hanafiyah Ibrahim, yang Allah telah menunjukimu padanya serta menyempurnakannya untukmu, tetaplah kamu pada fitrahmu yang lurus yang Allah telah menciptakan menurut fitrahnya untuk mengetahuiNya dan mentauhidkanNya dan bahwasanya tidak ada ilah selainNya." (Tafsir Al Qur’anul Azhim: 3/451).
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- penyimpangan dan kesyirikan yang muncul di tengah-tengah umat adalah buah karya para durjana syaithan dari kalangan jin dan manusia yang berhasil mengelabui dan membuat tipu daya dengan rayuan-rayuan manisnya seperti yang telah terjadi dan menimpa kaum nabi Nuh ‘alaihis salam hingga kemudian tercatat dalam sejarah bahwa itulah awal penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan manusia, saat itu pulalah Allah subhanahu wa ta’ala mengutus nabi Nuh dalam rangka mengembalikan manusia pada fitrahnya. Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh pada kaumnya (dengan memerintahkan): ‘Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya adzab yang pedih.’ Nuh berkata: ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepadamu, (yaitu) sembahlah olehmu Allah, bertakwalah kepadaNya dan taatlah kepadaku.’" (QS Nuh: 1-3).
Allah subhanahu wa ta’ala juga telah mengutus nabi Huud kepada kaumnya Aad, mengutus nabi Sholeh kepada kaumnya Tsamud, dan mengutus nabi Syu’aib kepada kaumnya Madyan agar mengajak kaumnya kembali pada fitrahnya agama tauhid, begitu pula dengan nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah memerintahkannya agar menyeru manusia seperti nabi Nuh dan nabi-nabi setelahnya mengajak kembali kepada fitrah manusia yang lurus, kepada agama tauhid millah Ibrahim ketika muncul seorang reformer kesyirikan sepeninggal nabi Ibrahim yakni Amr bin Luha al Khuza’i. Allah berfirman, "Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi kemudiannya…" (QS An Nisaa`: 163).
Segala penyimpangan dan bentuk kesyirikan adalah suatu yang tidak pernah dikehendaki Allah, bahkan Allah mencela semua bentuk syariat yang tidak pernah diturunkan dalam agamaNya. Allah berfirman, "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?…" (QS Asy Syuura: 21). Allah mencela kaum musyrikin karena mereka mengharamkan apa yang tidak diharamkanNya, menghalalkan apa yang diharamkanNya serta membuat aturan agama yang tidak diturunkan olehNya. Allah berfirman, "Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: ‘Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan demikian dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.’ Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? Katakanlah: ‘Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.’ Dan (katakanlah): ‘Luruskanlah muka (dirimu) di setiap sholat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepadaNya’…" (QS Al A’raaf: 28-29).
"Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hambaNya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik?’ Katakanlah: ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.’ Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang kamu tidak ketahui." (QS Al A’raaf: 32-33). Di awal surat ini (Al A’raaf, red.) Allah telah berfirman, "Alif laam mim shaad, ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab ini (kepada orang kafir) dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya)." (QS Al A’raaf: 1-3).
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- dari masa ke masa sejak awal penciptaan manusia dan dari generasi ke generasi seluruh pada nabi dan rosul serta para pengikut-pengikutnya berada dalam dien yang sama yaitu Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Islam dengan aqidah dan syariat-syariatnya adalah merupakan agama fitrah. Islam dengan aqidah dan hukum-hukumnya tidaklah bertentangan dengan fitrah justru setiap kali muncul aqidah dan hukum yang jauh dari Islam dengan serta merta fitrah pun menolaknya dan berada di posisi yang berlawanan dengannya. Allah berfirman tentang Nuh ‘alaihis salam, "Jika kamu berpaling (dari peringatanku) aku tidak meminta upah sedikitpun darimu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepadaNya)." (QS Yunus: 72).
Kemudian Allah berfirman tentang Ibrahim, "Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab: ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.’ Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’kub. (Ibrahim berkata:) ‘Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.’" (QS Al Baqoroh: 131-132).
Allah berfirman tentang para pengikut Isa, "Dan ingatlah ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: ‘Berimanlah kamu kepadaKu dan kepada rosulKu.’ Mereka menjawab: ‘Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rosul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu).’" (QS Al Maidah: 111).
Allah berfirman tentang Yusuf, "Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh." (QS Yusuf: 101).
Allah berfirman tentang Musa, "Berkata Musa: ‘Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertakwalah kepadaNya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri.’" (QS Yunus: 84). Kemudian Allah juga berfirman tentang para tukang sihir yang beriman kepada Musa, "(Mereka berkata:) ‘Ya Tuhan kami limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepadaMu).’" (QS Al A’raaf: 126).
Allah berfirman tentang seorang wanita yang memerintah kerajaan Sabaiyah di zaman nabi Sulaiman, "Ia (wanita itu) berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah tuhan semesta alam.’" (QS An Naml: 44).
Nabi Ismail dan nabi Ibrahim juga berkata seperti dalam firman Allah, "Ya tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau." (QS Al Baqoroh: 128). Demikianlah di saat penyimpangan dan pergolakan pemikiran kembali muncul pada generasi terakhir ini akibat pengaruh peradaban dan faham-faham yang berasal dari luar Islam yang kemudian diperparah dengan keadaan bodohnya umat dari perkara agamanya, maka kesyirikan dan kerusakan-kerusakan lainnya pun kembali tersebar luas, tak tersamarkan bagi orang-orang yang mengetahui peringatan Allah jauh sebelumnya dalam firmanNya, "Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)." (QS Yusuf: 106).
Oleh karena itulah kita diperintahkan untuk tetap istiqomah di atas millah Ibrahim yang lurus, memurnikan segala bentuk ubudiyah hanya kepada Allah, menjauhi kesyirikan dengan segala jenisnya, mengusir keraguan dan prasangka yang tidak benar terhadap agama Allah, menegakkan tauhid yang merupakan keadilan yang paling adil.
Allah berfirman, "Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh." (QS Al Baqoroh: 130).
Allah juga berfirman, "Allah mengatakan bahwasanya tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang maha perkasa lagi maha bijaksana. Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah hanyalah Islam." (QS Ali Imraan: 18-19). Wal ‘ilmu ‘indallah.
Penyaluran Zakat
Silahkan simak fatwa-fatwa seputar penyaluran zakat. Insya Allah bermanfaat bagi anda.
Masih disalin dari Buku 257 Tanya Jawab Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 174-179. terbitan Gema Risalah Press, alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy
Penyaluran Zakat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Tanya: Bolehkah menyalurkan hasil zakat emas kepada para pejuang Afganistan ..?
Jawab: Memang hal itu dibolehkan, baik berupa zakat emas, uang dirham, perdagangan atau zakat lainnya, sebab para pejuang Afganistan termasuk para pejuang di jalan Allah. Jihad di jalan Allah merupakan salah satu pos yang berhak mendapatkan penyaluran zakat sebagaimana firman-Nya.
“Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, utuk memerdekakan budak sahaya, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah ; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (At-Taubah : 60).
Tanya: Sahkah memberikan zakat harta atau zakat fitrah kepada saudara-saudaraku yang fakir yang pendidikannya ditanggung ibu setelah ditinggal wafat ayah kami, rahimahullah, dan sah pulakah memberikannya kepada saudara kami yang tidak fakir namun kami rasa merekapun membutuhkannya karena banyak orang lain yang memberinya .?
Jawab: Memberikan zakat kepada keluarga adalah lebih utama ketimbang kepada yang lain, sebab berzakat kepada keluarga punya dua nilai, nilai sedekah dan nilai shilaturahmi kecuali jika keluarga tersebut telah menjadi tanggungan biaya hidup yang berzakat itu sendiri, maka tidak boleh diberi zakat. Namun jika saudara-saudara yang disebutkan itu dipastikan dan harta kamu tak akan cukup membiayainya, maka tak menjadi halangan untuk diberi zakat. Begitu pula, jika mereka punya hutang kepada pihak lain, maka kamu boleh membayarnya dari harta zakat, sebab hutang kerabat itu tak mesti harus dipenuhi oleh kerabatnya pula. Membayar hutang pihak lain dari hasil zakat merupakan hal yang dibolehkan. Bahkan jika anakmu atau ayahmu punya hutang dan tak mampu dibayar, maka kamu boleh membayarnya dengan hasil zakat dengan syarat bila tidak dapat dipenuhi dengan nafkah wajib.
Tanya: Jika seorang saudara tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya namun ia sendiri termasuk perokok berat sehingga setengah kebutuhan hidupnya habis oleh biaya rokok, bolehkah ia diberi hasil zakat harta dan dibayarkan hutangnya..?
Jawab: Tak diragukan bahwa merokok itu haram. Orang yang membiasakan merokok, berarti ia senantiasa berbuat maksiat. Terbiasa dengan dosa-dosa kecil maka lambat laun akan terjerumus berbuat dosa besar. Karena itu, kami sarankan kepada saudara-saudaraku yang suka merokok hendaklah taubat kepada Allah dengan cara menjauhinya agar badan sehat dan harta hemat, sebab jelas sekali merokok itu dapat merusak kesehatan dan memboroskan harta. Selanjutnya menurut kami jika seseorang suka merokok dan ternyata fakir, maka sebaiknya harta zakat diberikan langsung kepada istrinya agar dibelikan kepada kebutuhan hidupnya. Atau bisa saja diberikan kepada perokok tadi dengan syarat ditanya dulu apakah harta zakat itu akan dibelikan kepada kebutuhan pokok atau tidak .? Ketika diberi zakat, kami menuntut pula agar ia didampingi oleh seorang wakil agar membeli hal-hal yang pokok terpenuhi dan terhindar dari hal-hal yang dilarang. Sebab barang siapa yang memberi uang kepada seseorang lalu dibelikannya untuk rokok, berarti ia telah membantu berbuat dosa dan termasuk ke dalam larangan Allah berikut :
“Artinya : Dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran,….. ” [Al-Maidah : 2]
Begitu juga, orang tersebut boleh dilunasi hutangnya dari hasil zakat.
Menangislah akan kepergian Ramadhan
Bismillah...
Selamat Jalan Ramadhan
Rangkaian kata-kata perpisahan dengan Ramadhan dari Ibnu Rajab:
Wahai hamba Allah, bulan Ramadhan telah bersiap-siap untuk berangkat.
Tidak ada lagi yang tersisa kecuali saat-saat yang singkat.
Barangsiapa yang telah melakukan kebaikan selama ini, hendaklah ia menyempurnakannya.
Tidak ada lagi yang tersisa kecuali saat-saat yang singkat.
Barangsiapa yang telah melakukan kebaikan selama ini, hendaklah ia menyempurnakannya.
Barangsiapa yang malah sebaliknya, hendaklah ia memperbaikinya dalam waktu yang masih tersisa. Karena ingatlah amalan itu dinilai dari akhirnya.
Manfaatkanlah malam-malam dan hari-hari Ramadhan yang masih tersisa,
Manfaatkanlah malam-malam dan hari-hari Ramadhan yang masih tersisa,
Serta titipkanlah amalan sholih yang dapat memberi kesaksian kepadamu nantinya di hadapan Al Malikul ‘Alam (Sang Penguasa Hari Pembalasan).
Lepaskanlah kepergian (bulan Ramadhan) dengan ucapan salam yang terbaik:
“Salam dari Ar-Rahman (Allah) pada setiap zaman.
Atas sebaik-baik bulan yang hendak berlalu.
Salam atas bulan di mana puasa dilakukan.
Lepaskanlah kepergian (bulan Ramadhan) dengan ucapan salam yang terbaik:
“Salam dari Ar-Rahman (Allah) pada setiap zaman.
Atas sebaik-baik bulan yang hendak berlalu.
Salam atas bulan di mana puasa dilakukan.
Sungguh ia adalah bulan yang penuh rasa aman dari Ar-Rahman.
Jika hari-hari berlalu tak terasakan.
Sungguh kesedihan hati untuk tak pernah hilang.”
Jika hari-hari berlalu tak terasakan.
Sungguh kesedihan hati untuk tak pernah hilang.”
Ibnu Rajab berkata pula:
Di mana kepedihan (dan kesedihan) orang-orang yang bersungguh-sungguh di siang hari Ramadhan? Di manakah duka orang-orang yang shalat pada waktu malam?
Jika demikian keadaan orang-orang yang telah mendapatkan keuntungan selama Ramadhan, bagaimanakah keadaan orang-orang yang telah merugi pada siang dan malam?
Apakah manfaat tangisan mereka yang melalaikan bulan Ramadhan ini, sementara musibah yang akan menimpanya demikian besar?
Apakah manfaat tangisan mereka yang melalaikan bulan Ramadhan ini, sementara musibah yang akan menimpanya demikian besar?
Betapa banyak nasihat telah diberikan kepada orang yang malang, namun tidak juga memberikan manfaat untuknya.
Betapa banyak ia telah diajak untuk melakukan perbaikan, namun ia tidak juga menyambutnya.
Betapa sering ia menyaksikan orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Nya, namun ia sendiri malah semakin jauh dari-Nya.
Alangkah seringnya berlalu dihadapannya rombongan orang-orang yang menuju kepada-Nya, sedangkan dia hanya duduk berpangku tangan (malas beribadah).
Hingga setelah waktu menyempit dan kemurkaan-Nya telah membayang,
Ia pun menyesali kelalaiannya pada saat penyesalan tidak lagi bermanfaat dan kesempatan untuk memperbaiki keadaan telah menghilang.
Beliau kembali berkata pula:
Hingga setelah waktu menyempit dan kemurkaan-Nya telah membayang,
Ia pun menyesali kelalaiannya pada saat penyesalan tidak lagi bermanfaat dan kesempatan untuk memperbaiki keadaan telah menghilang.
Beliau kembali berkata pula:
Wahai bulan Ramadhan.
Berikanlah belas kasihmu, sementara air mata para pencinta mengalir dengan deras.
Hati mereka (gundah) akibat kepedihan perpisahan terbuai,
semoga detik-detik perpisahan akan memadamkan api kerinduan yang membara.
Berikanlah belas kasihmu, sementara air mata para pencinta mengalir dengan deras.
Hati mereka (gundah) akibat kepedihan perpisahan terbuai,
semoga detik-detik perpisahan akan memadamkan api kerinduan yang membara.
Semoga saat-saat taubat akan melengkapi kekurangan puasa yang dilakukan.
Semoga pula orang-orang yang telah ketinggalan segera menyusul dan bersama.
Semoga para tawanan dosa segera dilepaskan,
Dan semoga orang (Islam) yang telah dinyatakan masuk Neraka segera dibebaskan.[3]
Dan semoga orang (Islam) yang telah dinyatakan masuk Neraka segera dibebaskan.[3]
Selamat jalan Ramadhan.
Semoga Allah memudahkan kita bersua kembali dan moga amalan kita pun diterima di sisi Allah.
Wallahu waliyyut taufiq.
Semoga Allah memudahkan kita bersua kembali dan moga amalan kita pun diterima di sisi Allah.
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Panggang-Gunung Kidul, 29 Ramadhan 1433
sumber : Rumaysho.com
Wednesday, July 15, 2015
Trik Nuyul Trafficmonsoon Menambah Penghasilan Perhari
Rafi Orilya, Hai sobat pemburu dollar di Internet. Apakah anda seorang clicker di Trafficmonsoon? Jika ya berarti anda telah memasukin area yang benar.
baca : Cara Mendapatkan Uang Halal & Mudah di Trafficmonsoon
Syarat untuk dapat password :
* Harus menggunakan sponsor piizaa (caranya daftar trafficmonsoon disini
* Claim iklan sampai $0.2 dollar
* Setelah semua diatas terpenuhi inbox admin melalui contact Disini atau Disini
Iedul Fithri Bersama Muslimin dan Pemerintah !
Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
Hukum asal penentuan awal bulan Syawwal (Hari Raya ‘Iedhul Fithri) adalah dengan ru’yatul hilal (melihat bulan sabit) berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: "Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian ber-iedlul Fithri hingga kalian melihatnya. Jika kalian terhalang untuk melihatnya, maka kalian perkirakanlah." (HR. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)
"Memperkirakan" ketika hilal terhalang oleh awan atau lainnya adalah dengan menggenapkan bilangan bulan sebelumnya menjadi 30 hari. Sebagaimana disebutkan dalam hadits lain sebagai berikut: "Berpuasalah kalian jika kalian melihatnya (hilal) dan ber’iedhul Fithrilah kalian jika kalian melihatnya. Jika kalian terhalang untuk melihatnya, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari." (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Maka jika yang terhalang adalah hilal Syawwal, genapkanlah bulan Ramadlan 30 hari.
Penentuan Ramadlan, Syawwal, Haji dan Lain-lain Adalah Tanggung Jawab Penguasa
Hari Raya adalah suatu amalan yang bersifat jama’i (dilakukan secara berjama’ah), maka penguasalah yang berkewajiban untuk ru’yatul hilal atau orang-orang khusus yang mereka tugaskan, atau merekalah yang menerima berita-berita dari orang yang melihat hilal dan menentukan sah atau tidak sahnya. Oleh karena itu kita tidak bisa melaksanakan hari raya sendiri-sendiri dengan melihat hilal sendiri-sendiri.
Kewajiban rakyat -kaum muslimin - adalah mentaati penguasanya pada hasil keputusan mereka, hingga terjadilah kebersamaan yang dikehendaki oleh syariat Islam.
Kewajiban rakyat -kaum muslimin - adalah mentaati penguasanya pada hasil keputusan mereka, hingga terjadilah kebersamaan yang dikehendaki oleh syariat Islam.
Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahmahullah dalam Tamamul Minnah: "Sesungguhnya untuk melihat hilal atau mencari berita tentang hilal dari negeri-negeri lain pada hari ini adalah perkara yang mudah, sebagaimana sudah dimaklumi. Namun yang demikian perlu perhatian serius dari para penguasa negara-negara Islam hingga (persatuan) akan terwujud menjadi kenyataan insya Allah tabaraka wa ta’ala". (Tamamul Minnah, hal. 398)
Perintah untuk mentaati penguasa tersebut adalah terus berlangsung walaupun penguasa tersebut dhalim atau fasik
Perintah untuk mentaati penguasa tersebut adalah terus berlangsung walaupun penguasa tersebut dhalim atau fasik
Berkata Imam ash-Shabuni rahimahullah dalam Aqidatus Salaf hal. 102: "Ahlul hadits berpendapat untuk menegakkan shalat Jum’at dan dua hari raya dan lain-lain dari shalat-shalat jama’ah di belakang setiap penguasa muslim yang baik atau pun yang jahat. Dan berpendapat untuk berjihad memerangi orang-orang kafir bersama mereka, walaupun penguasa tersebut dhalim dan jahat".
Berkata Imam al-Barbahari rahimahullah: "Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidak mengurangi kewajiban yang Allah wajibkan melalui lisan nabi-Nya sholallahu ‘alaihi wasallam. Kejahatannya untuk diri mereka sendiri, sedangkan ketaatan dan kebaikanmu bersamanya tetap sempurna -Insya Allah. Yakni kebaikan berupa shalat jama’ah, Jum’at dan jihad bersama mereka dan segala sesuatu dari ketaatan yang dikerjakan bersama mereka, maka pahalamu sesuai dengan niatmu". (Syarhus Sunnah, al-Barbahari, hal. 116)
Berkata Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah: "Haji dan jihad terus berlangsung bersama penguasa kaum muslimin, yang baik atau yang jahat, sampai hari kiamat; tidak terbatalkan dan tidak gugur (dengan kefasikan mereka). (Al-Aqidah ath-Thahawiyah, dengan syarh Ibnu Abil ‘Izz, hal. 287)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: "Dan mereka (ahlus sunnah wal jama’ah) memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar sesuai dengan apa yang diwajibkan oleh syari’at. Mereka berpendapat untuk menegakkan haji, shalat jum’at, dan hari raya bersama para penguasa, apakah mereka orang-orang baik ataukah orang-orang jelek. Dan berpendapat untuk menegakkan shalat jama’ah, jihad dan menegakkan nasehat untuk umat". (Aqidah Wasithiyah, Ibnu Taimiyah, hal. 257)
Berkata Syaikh Shalih al-Fauzan rahimahullah ketika menjelaskan ucapan Ibnu Taimiyah di atas sebagai berikut: "Yang demikian karena tujuan kaum muslimin adalah menyatukan kalimat dan menghindari perpecahan dan perselisihan. Karena penguasa yang fasik tidak lepas dari kedudukannya sebagai penguasa yang harus ditaati dan tidak boleh ditentang, apalagi jika sampai berakibat menelantarkan kewajiban-kewajiban dan menumpahkan darah". (Syarh Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Shalih Fauzan, hal. 216)
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas sebagai berikut: "Mereka (ahlus sunnah wal jama’ah) berpendapat untuk menegakkan haji bersama para penguasa walaupun mereka fasik. Bahkan walaupun merekaeminum khamr ketika haji. Mereka tidak berkata: "Ini adalah imam faajir, kami tidak mau terima kepemimpinannya". Karena mereka berpendapat bahwa mentaati penguasa adalah wajib walaupun mereka fasik, selama kefasikannya tidak membawa pada kekafiran yang jelas yang di sisi Allah kita punya bukti…". (Syarh al-Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Utsaimin, juz ke-2, hal. 337)
Berkata Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah: "Haji dan jihad terus berlangsung bersama penguasa kaum muslimin, yang baik atau yang jahat, sampai hari kiamat; tidak terbatalkan dan tidak gugur (dengan kefasikan mereka). (Al-Aqidah ath-Thahawiyah, dengan syarh Ibnu Abil ‘Izz, hal. 287)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: "Dan mereka (ahlus sunnah wal jama’ah) memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar sesuai dengan apa yang diwajibkan oleh syari’at. Mereka berpendapat untuk menegakkan haji, shalat jum’at, dan hari raya bersama para penguasa, apakah mereka orang-orang baik ataukah orang-orang jelek. Dan berpendapat untuk menegakkan shalat jama’ah, jihad dan menegakkan nasehat untuk umat". (Aqidah Wasithiyah, Ibnu Taimiyah, hal. 257)
Berkata Syaikh Shalih al-Fauzan rahimahullah ketika menjelaskan ucapan Ibnu Taimiyah di atas sebagai berikut: "Yang demikian karena tujuan kaum muslimin adalah menyatukan kalimat dan menghindari perpecahan dan perselisihan. Karena penguasa yang fasik tidak lepas dari kedudukannya sebagai penguasa yang harus ditaati dan tidak boleh ditentang, apalagi jika sampai berakibat menelantarkan kewajiban-kewajiban dan menumpahkan darah". (Syarh Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Shalih Fauzan, hal. 216)
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas sebagai berikut: "Mereka (ahlus sunnah wal jama’ah) berpendapat untuk menegakkan haji bersama para penguasa walaupun mereka fasik. Bahkan walaupun merekaeminum khamr ketika haji. Mereka tidak berkata: "Ini adalah imam faajir, kami tidak mau terima kepemimpinannya". Karena mereka berpendapat bahwa mentaati penguasa adalah wajib walaupun mereka fasik, selama kefasikannya tidak membawa pada kekafiran yang jelas yang di sisi Allah kita punya bukti…". (Syarh al-Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Utsaimin, juz ke-2, hal. 337)
Beliau berkata pula: "Demikian pula menegakkan hari raya-hari raya bersama para penguasa yang mengimami shalat mereka. Apakah ia orang baik ataukah orang jelek. Dengan jalan yang damai ini, jelaslah bahwa agama Islam ini merupakan jalan tengah di antara orang yang berlebih-lebihan dan orang-orang yang melalaikan". (sumber yang sama hal. 336)
Berkata Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah: "Telah ditunjukkan oleh dalil-dalil dari kitab dan sunnah serta ijma’ para salaful ummah bahwa para penguasa, pemimpin shalat, hakim, panglima perang dan pengurus zakat ditaati dalam perkara-perkara ijtihad. Dan tidaklah mereka mentaati anak buahnya dalam perkara ijtihad, tetapi rakyatlah yang harus mentaatinya dalam masalah-masalah tersebut. Dan hendaklah mereka menyerahkan pendapatnya kepada penguasa tersebut, karena kepentingan umum dan persatuan serta bahayanya perpecahan dan pertikaian adalah lebih diperhatikan daripada masalah-masalah pribadi atau kelompok." (Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 376)
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah: "Jika ada yang bertanya: "Mengapa kita mesti shalat di belakang mereka dan mengikuti mereka dalam haji, jihad, Jum’at dan hari raya?" Kita katakan bahwa mereka adalah penguasa kita yang kita beragama dengan mentaati mereka, karena perintah Allah Subhanahu Wata’ala Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian…" (an-Nisaa’: 59)
Dan sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya): "Sesungguhnya akan terjadi setelahku kedhaliman-kedhaliman dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada orang yang mengalami masa tersebut dari kami?" Beliau menjawab: "Tunaikanlah hak-hak mereka atas kalian, dan mintalah kepada Allah hak-hak kalian." (HR. Muslim)
Berkata Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah: "Telah ditunjukkan oleh dalil-dalil dari kitab dan sunnah serta ijma’ para salaful ummah bahwa para penguasa, pemimpin shalat, hakim, panglima perang dan pengurus zakat ditaati dalam perkara-perkara ijtihad. Dan tidaklah mereka mentaati anak buahnya dalam perkara ijtihad, tetapi rakyatlah yang harus mentaatinya dalam masalah-masalah tersebut. Dan hendaklah mereka menyerahkan pendapatnya kepada penguasa tersebut, karena kepentingan umum dan persatuan serta bahayanya perpecahan dan pertikaian adalah lebih diperhatikan daripada masalah-masalah pribadi atau kelompok." (Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 376)
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah: "Jika ada yang bertanya: "Mengapa kita mesti shalat di belakang mereka dan mengikuti mereka dalam haji, jihad, Jum’at dan hari raya?" Kita katakan bahwa mereka adalah penguasa kita yang kita beragama dengan mentaati mereka, karena perintah Allah Subhanahu Wata’ala Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian…" (an-Nisaa’: 59)
Dan sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya): "Sesungguhnya akan terjadi setelahku kedhaliman-kedhaliman dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada orang yang mengalami masa tersebut dari kami?" Beliau menjawab: "Tunaikanlah hak-hak mereka atas kalian, dan mintalah kepada Allah hak-hak kalian." (HR. Muslim)
Yang dimaksud "hak-hak mereka (para penguasa)" adalah ketaatan kepada mereka pada selain kemaksiatan. (Syarh al-Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Utsaimin, juz ke-2, hal. 339)
Dengan kita mengikuti ucapan-ucapan para ulama di atas, niscaya akan terwujud kebersamaan yang disebutkan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits yang sudah kita sebutkan, Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): "Puasa itu adalah hari ketika kalian seluruhnya berpuasa, Iedlul Fithri adalah hari di mana seluruh kalian berbuka (yakni tidak berpuasa lagi –pent.) dan Iedlul Adha adalah hari ketika kalian seluruhnya menyembelih kurban." (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dengan Tuhfatul Ahwadzi, 2/37)
Adapun cara para penguasa menentukan hari raya tersebut, apakah dengan ru’yah atau dengan hisab, maka merekalah yang bertanggung jawab di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala
Hadits di atas di samping merupakan dalil untuk berpuasa bersama kaum muslimin, juga merupakan dalil berhari raya bersama mereka.
Berkata ash-Shan’ani dalam Subulus Salam 2/72: "Pada hadits ini ada dalil bahwa yang teranggap dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan manusia. Dan bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya dengan melihat hilal (bulan sabit) tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, ber’iedlul Fithri atau pun berkurban".
Disamping itu ada pula hadits mauquf yang semakna dengan ini dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha dikeluarkan oleh al-Baihaqi dari jalan Abu Hanifah, Ia berkata: Menyampaikan kepadaku Ali bin Aqmar, dari Masruq, bahwa ia mendatangi rumah Aisyah pada hari Arafah (dalam keadaan tidak berpuasa –pent.). Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: "Berilah Masruq minuman dan perbanyaklah halwa untuknya!" Masruq berkata: "Tidaklah menghalangiku untuk berpuasa pada hari ini, kecuali aku khawatir hari ini adalah hari raya nahr (iedlul Adha). Maka Aisyah pun berkata: Hari raya Nahr adalah hari manusia menyembelih, dan iedlul Fithri adalah hari ketika manusia berbuka (yakni tidak lagi berpuasa). (Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin alAlbani, hal. 442)
Disebutkan pula ucapan senada oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam Tahdzibu as-Sunan, 3/214: "Dikatakan bahwa pada hadits ini terdapat bantahan atas orang yang berkata: "Sesungguhnya barangsiapa yang melihat munculnya bulan Sabit dengan mengukur hisabnya atau menghitung tempat-tempat terbitnya, boleh baginya berpuasa dan beriedlul Fithri sendiri, tidak seperti orang yang tidak mengetahuinya". Dikatakan bahwa seorang yang melihat munculnya bulan sabit sendirian, tetapi hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia pun belum berpuasa". (Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)
Demikian pula tentunya siapa yang melihat hilal Syawwal sendirian, namun penguasa tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berhari raya sendirian.
Berkata Abul Hasan as-Sindi dalam catatan kakinya terhadap Sunan Ibnu Majah, setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah dalam riwayat di atas sebagai berikut: "Tampaknya makna hadits ini adalah bahwa perkara-perkara tersebut bukan haknya pribadi-pribadi seseorang tertentu. Dan tidak boleh seseorang menyendiri dalam masalah tersebut, tetapi urusan ini dikembalikan kepada imam dan jama’ah kaum muslimin seluruhnya. Wajib bagi setiap pribadi mengikuti kebanyakan manusia dan penguasanya. Dengan demikian jika seseorang melihat hilal, tetapi penguasa menolaknya, maka semestinya dia tidak tidak menetapkan perkara-perkara tadi pada dirinya sendirian, sebaliknya wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia". (Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)
Maka nasehat kita kepada para penguasa adalah: tentukanlah awal bulan Ramadlan, Syawwal dan lain-lain dengan ru’yatul hilal di mana pun hilal itu terlihat, walaupun di negara-negara lain.
Dan nasehat kita kepada kaum muslimin adalah: taatilah penguasa; berpuasa dan ber’iedhul Fithrilah bersama mereka, dan janganlah berpecah-belah.
judul asli Berhari Raya Bersama Kaum Muslimin dan Penguasanya, penulis asli Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
Kajian Zakat Fithri
A. Hukumnya
Zakaatul fithri hukumnya wajib menurut hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakaatul fithri kepada manusia di bulan Ramadhan." (HR al Bukhori dan Muslim). Dan menurut hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakaatul fithri." (HR Abu Dawud dan an Nasa`i).
Sebagian ahli ilmu menetapkan bahwa (kedua) hadits tersebut terhapus (mansukh) dengan hadits dari Qais bin Sa’d bin ‘Ubadah, "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami bershadaqah fithri sebelum turun ayat (perintah) tentang zakat (maal), maka tatkala turun ayat tersebut beliau tidak memerintahkan dan tidak melarang kami dan kami masih tetap mengerjakannya."
Dan al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah menjawabnya (3/ 368), "Bahwa dalam sanadnya ada seorang periwayat yang majhul. Maka berdasarkan ketentuan yang benar, tidak ada dalil akan penghapusannya, karena kemungkinan merasa cukup dengan perkara dikarenakan turunnya suatu kewajiban tidak mengharuskan gugurnya kewajiban yang lain."
Al Khathaabi rahimahullah berkata di dalam Ma’alimus Sunan (2/ 214), "Dan ini tidak menunjukkan bergesernya kewajibannya, yang demikian itu bahwa penambahan yang terjadi di dalam sebuah jenis ibadah tidak mesti menghapuskan yang pokok yang ditambahkan atasnya, hanya saja tempat zakat harta dan posisi zakaatul fithri berdekatan."
B. Siapa yang Wajib Mengeluarkan Zakat?
Zakaatul fithri wajib bagi anak kecil, orang dewasa, laki-laki, wanita, orang yang merdeka dan budak dari kaum muslimin menurut hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakaatul fithri satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum bagi budak, orang yang merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslimin." (HR al Bukhori dan Muslim).
Sebagian ahli ilmu berpegang kepada (pendapat) wajib bagi budak yang kafir menurut hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, "Tidak ada shodaqoh yang wajib bagi seorang hamba / budak, kecuali shodaqotul fithri." (HR Muslim).
Dan hadits ini umum, sedangkan hadits Ibnu ‘Umar khusus. Dan yang dimaklumi, bahwa yang khusus itu menetapkan yang umum. Dan yang lain berkata, "Tidak wajib, kecuali atas orang puasa menurut hadits Ibnu Abbas, bahwa Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakaatul fithri sebagai pensuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia / main-main, keji dan dalam rangka memberi makan orang miskin."
Al Khathaabi rahimahullah berkata di dalam Ma’alimus Sunan (3/ 214), "Zakat itu wajib bagi setiap orang yang puasa lagi mampu dan memiliki kelapangan atau orang fakir yang berusaha semampunya. Apabila kewajibannya karena alasan pensucian sedangkan semua orang yang berpuasa sangat membutuhkannya, maka jika mereka bersekutu dalam ‘illat (sebabnya), mereka pun terkena kewajiban tersebut."
Dan al Hafizh rahimahullah berkata (3/ 369), "Bahwa penyebutan pensucian itu telah keluar dari keumuman tidaklah hal itu diwajibkan hanya bagi orang yang tidak berdosa, seperti orang yang merealisasikan kebaikan atau seorang yang baru masuk Islam sesaat sebelum terbenamnya matahari."
Dan sebagian mereka berpendapat wajibnya bagi janin, kami tidak mengetahui satu dalil pun dalam masalah itu. Dan janin itu tidaklah dinamakan anak kecil baik secara bahasa dan kebiasaan.
C. Jenis-jenis Zakaatul Fithri
Zakaatul fithri dikeluarkan (berupa) satu shaa’ gandum atau satu shaa’ kurma atau satu shaa’ keju atau satu shaa’ kismis (anggur yang dikeringkan) atau satu shaa’ salt (gandum tanpa kulit), sesuai dengan hadits Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, "Dahulu kami mengeluarkan zakaatul fithri (berupa) satu shaa’ makanan atau satu shaa’ gandum atau satu shaa’ kurma, satu shaa’ keju atau satu shaa’ kismis." (HR al Bukhori dan Muslim).
Dan juga menurut hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Telah diwajibkan zakaatul fithri satu shaa’ gandum atau satu shaa’ kurma atau satu shaa’ salt." (HR Ibnu Majah dan al Hakim).
Telah diperselisihkan tentang tafsir lafazh "ath tho’am (makanan)" dalam hadits Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, maka dikatakan "al hinthah (padi)", dan ada yang mengatakan selain itu. Dan pendapat yang kuat (yang menenangkan jiwa), makanan yang dimaksud di sini bersifat umum, meliputi seluruh makanan, seperti: padi (beras), jenis-jenis yang telah disebutkan sebelumnya (tepung dan tepung gandum). Kesemuanya itu telah dikerjakan pada jaman Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kami untuk menunaikan zakat Ramadhan (berupa) satu shaa’ dari makanan bagi anak kecil, orang dewasa, orang merdeka dan budak, barangsiapa yang mengeluarkan salt akan diterima darinya dan aku memperkirakan beliau berkata, ‘Barangsiapa mengeluarkan tepung akan diterima darinya dan barangsiapa mengeluarkan tepung gandum akan diterima darinya’." (HR Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih).
Dan darinya (Ibnu Abbas) radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, "Shodaqoh Ramadhan itu satu shaa’ dari makanan, barangsiapa yang datang dengan membawa biji-bijian akan diterima darinya, yang membawa gandum akan diterima, yang membawa kurma akan diterima, yang membawa gandum tanpa biji akan diterima serta barangsiapa datang dengan kismis akan diterima darinya. Dan aku memperkirakannya beliau telah berkata, ‘Barangsiapa datang dengan membawa tepung gandum akan diterima darinya’." (HR Ibnu Khuzaimah dengan sanad shahih).
Adapun hadits-hadits yang menafikan keberadaan al hinthah (padi) atau bahwa Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu telah berpendapat mengeluarkan dua mud samra (sejenis padi) dari negeri Syam, bahwa ia sebanding dengan satu shaa’, maka yang demikian itu mungkin karena jarang serta beraneka ragamnya macam dan bentuk jenis lainnya atau keberadaan jenis ini mendominasi pada makanan mereka. Dan pengertian ini telah dikuatkan dengan ucapan Abu Sa’id, "Dan makanan kami adalah gandum, kismis, keju, dan kurma."
Selanjutnya penjelasan tentang takaran-takarannya dari hadits-hadits yang shahih lagi jelas akan menghentikan persangkaan orang yang menyelisihi keberadaan al hinthah (padi), yaitu dua mud darinya sebanding dengan satu shaa’, maka hendaklah seorang muslim mengetahui kadar kedudukan para shahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menempatkan mereka sesuai dengan tempat dan kedudukannya, bahwa pendapat Mu’awiyah bukanlah ijtihad dan ro`yunya semata, akan tetapi disandarkan kepada hadits yang marfu’ sampai kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
D. Ukuran-ukurannya
Seorang muslim mengeluarkan zakatnya satu shaa’ (satu shaa’ = tiga mud, satu mud = dua telapak tangan orang dewasa) makanan dari berbagai jenis yang telah disebutkan sebelumnya dan mereka telah berselisih dalam masalah al hinthah (padi), ada yang mengatakan setengah shaa’ dan ini yang paling kuat dan paling shahih, menurut sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Keluarkanlah satu shaa’ dari biji-bijian atau setengah shaa’ gandum di antara dua atau satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum dari setiap orang yang merdeka, budak, anak kecil, dan orang dewasa." (HR Ahmad dari Tsa’labah bin Shu’air, sanad para perawinya tsiqah / tepercaya).
Dan ukuran satu shaa’ yang diakui adalah ukuran shaa’ penduduk Madinah sesuai dengan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Ukuran timbangan adalah timbangannya penduduk Makkah dan ukuran takaran adalah takarannya penduduk Madinah." (HR Abu Dawud, an Nasa`i, dan al Baihaqi dengan sanad yang shahih).
E. Dari Siapa Seseorang Mengeluarkan Zakat?
Seorang muslim mengeluarkannya dari dirinya sendiri dan setiap orang yang menjadi tanggungannya (seperti) anak kecil, orang dewasa, laki-laki, wanita, orang yang merdeka, dan budak. Hal ini sesuai dengan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan mengeluarkan shodaqotul fithri dari anak kecil, orang dewasa, bukan budak maupun budak yang menjadi tanggungannya." (HR ad Daruquthni dan al Baihaqi, hadits hasan).
F. Sasaran Pengeluarannya
Tidaklah zakat itu dikeluarkan kecuali kepada yang berhak menerimanya, yakni fuqara dan kaum miskin sesuai dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakaatul fithri sebagai pensuci bagi seorang yang berpuasa dari segala hal yang sia-sia / main-main, perbuatan keji dan dalam rangka memberi makan kepada fakir miskin."
Dan inilah yang dipilih Syaikhul Islam di dalam Majmu’ul Fatawa (25/ 71-78) dan muridnya Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’aad (2/ 44). Sebagian ahli ilmu berpendapat, bahwa zakat diberikan kepada delapan golongan, dan pendapat ini tidak ada dalilnya. Syaikhul Islam telah menentukannya di dalam sumber yang telah disebutkan di atas, maka rujuklah, karena itu penting sekali!
Dan disunnahkan adanya orang yang mengkoordinir zakat dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewakilkan urusan ini kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepadaku agar aku menjaga zakat Ramadhan." (HR Al Bukhori).
Dan sungguh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma biasa memberikan zakat itu kepada orang-orang yang menangani zakat, yakni para amil yang telah ditunjuk oleh pemerintah untuk mengumpulkannya dan hal itu dilakukan sehari atau dua hari sebelum ‘Idul Fithri. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah (4/ 83), dari jalan Abdul Waarits, dari Ayyub: Aku berkata, "Kapan Ibnu ‘Umar biasa mengeluarkan satu shaa’?" Ia berkata, "Bila telah ditunjuk seorang amil zakat." Aku berkata, "Kapan ditunjuknya seorang amil itu?" Ia berkata, "Satu hari atau dua hari sebelum ‘Idul Fithri."
G. Waktunya
Zakaatul fithri dikeluarkan sebelum keluarnya manusia untuk sholat ‘Id dan tidak boleh diakhirkan (setelah) sholat atau didahulukan, kecuali satu atau dua hari sebelum sholat. Hal ini berdasarkan perbuatan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, maka jika terlambat dikeluarkan jadilah ia sedekah biasa, sebagaimana hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, "… Barangsiapa mengeluarkan zakaatul fithri sebelum sholat, maka zakat tersebut diterima, dan barangsiapa mengeluarkannya setelah sholat, maka ia sekedar shodaqoh dari shodaqoh-shodaqoh yang ada."
H. Hikmahnya
Zakat diwajibkan oleh Dzat Yang Maha Bijaksana sebagai pensuci / pembersih bagi orang yang berpuasa dari segala perbuatan yang sia-sia dan keji, serta memberi makan fakir miskin, sehingga (zakat itu) akan mencukupi mereka pada hari yang menyulitkan sesuai dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang telah lalu.
Diringkas dari terjemah Shifat Shoum Nabi
karya Syaikh Salim Bin ‘Id al Hilaly dan Syaikh ‘Ali Bin Hasan Bin ‘Ali Bin Abdul Hamid
bab Zakaatul Fithri
bab Zakaatul Fithri
Subscribe to:
Posts (Atom)
auto insurance, auto insurance quotes, auto insurance companies, auto insurance florida, auto insurance quotes online, auto insurance america, auto insurance comparison, auto insurance reviews, auto insurance calculator, auto insurance score, auto insurance quotes, auto insurance companies, auto insurance florida, auto insurance quotes online, auto insurance america, auto insurance comparison, auto insurance reviews, auto insurance calculator, auto insurance score, auto insurance ratings