Thursday, July 30, 2015

Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz


Al Ustadz Ahmad Hamdani Ibnu Muslim
Syaikh Bin Baz, menurut Syaikh Muqbil Bin Hadi Al Wadi’i, adalah seorang tokoh ahli fiqih yang diperhitungkan di jaman kiwari ini, sebagaimana Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani juga seorang ulama ahlul hadits yang handal masa kini. Untuk mengenal lebih dekat siapa beliau, mari kita simak penuturan beliau mengungkapkan data pribadinya berikut ini.

Syaikh mengatakan, "Nama lengkap saya adalah Abdul ‘Aziz Bin Abdillah Bin Muhammad Bin Abdillah Ali (keluarga) Baz. Saya dilahirkan di kota Riyadh pada bulan Dzulhijah 1330 H. Dulu ketika saya baru memulai belajar agama, saya masih bisa melihat dengan baik. Namun qodarullah pada tahun 1346 H, mata saya terkena infeksi yang membuat rabun. Kemudian lama-kelamaan karena tidak sembuh-sembuh mata saya tidak dapat melihat sama sekali. Musibah ini terjadi pada tahun 1350 Hijriyah. Pada saat itulah saya menjadi seorang tuna netra. Saya ucapkan alhamdulillah atas musibah yang menimpa diri saya ini. Saya memohon kepada-Nya semoga Dia berkenan menganugerahkan bashirah (mata hati) kepada saya di dunia ini dan di akhirat serta balasan yang baik di akhirat seperti yang dijanjikan oleh-Nya melalui nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam atas musibah ini. Saya juga memohon kepadanya keselamatan di dunia dan akhirat.

Mencari ilmu telah saya tempuh semenjak masa anak-anak. Saya hafal Al Qur’anul Karim sebelum mencapai usia baligh. Hafalan itu diujikan di hadapan Syaikh Abdullah Bin Furaij. Setelah itu saya mempelajari ilmu-ilmu syariat dan bahasa Arab melalui bimbingan ulama-ulama kota kelahiran saya sendiri. Para guru yang sempat saya ambil ilmunya adalah:
  1. Syaikh Muhammad Bin Abdil Lathif Bin Abdirrahman Bin Hasan Bin Asy Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab, seorang hakim di kota Riyadh.
  2. Syaikh Hamid Bin Faris, seorang pejabat wakil urusan Baitul Mal, Riyadh.
  3. Syaikh Sa’d, Qadhi negeri Bukhara, seorang ulama Makkah. Saya menimba ilmu tauhid darinya pada tahun 1355 H.
  4. Samahatus Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Bin Abdul Lathief Alu Syaikh, saya bermuzalamah padanya untuk mempelajari banyak ilmu agama, antara lain: aqidah, fiqih, hadits, nahwu, faraidh (ilmu waris), tafsir, sirah, selama kurang lebih 10 tahun. Mulai 1347 sampai tahun 1357 H.
Semoga Allah membalas jasa-jasa mereka dengan balasan yang mulia dan utama.
Dalam memahami fiqih saya memakai thariqah (mahdzab -red) Ahmad Bin Hanbal [1] rahimahullah. Hal ini saya lakukan bukan semata-mata taklid kepada beliau, akan tetapi yang saya lakukan adalah mengikuti dasar-dasar pemahaman yang beliau tempuh. Adapun dalam menghadapi ikhtilaf ulama, saya memakai metodologi tarjih, kalau dapat ditarjih dengan mengambil dalil yang paling shahih. Demikian pula ketika saya mengeluarkan fatwa, khususnya bila saya temukan silang pendapat di antara para ulama baik yang mencocoki pendapat Imam Ahmad atau tidak. Karena AL HAQ itulah yang pantas diikuti. Allah berfirman (yang artinya -red), "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" (An Nisa:59)"
TUGAS-TUGAS SYAR’I
" Banyak jabatan yang diamanahkan kepada saya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Saya pernah mendapat tugas sebagai:
  1. Hakim dalam waktu yang panjang, sekitar 14 tahun. Tugas itu berawal dari bulan Jumadil Akhir tahun 1357 H.
  2. Pengajar Ma’had Ilmi Riyadh tahun 1372 H dan dosen ilmu fiqih, tauhid, dan hadits sampai pada tahun 1380 H.
  3. Wakil Rektor Universitas Islam Madinah pada tahun 1381-1390 H.
  4. Rektor Universitas Islam Madinah pada tahun 1390 H menggantikan rektor sebelumnya yang wafat yaitu Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Ali Syaikh. Jabatan ini saya pegang pada tahun 1389 sampai dengan 1395 H.
  5. Pada tanggal 13 bulan 10 tahun 1395 saya diangkat menjadi pimpinan umum yang berhubungan dengan penelitian ilmiah, fatwa-fawa, dakwah dan bimbingan keagamaan sampai sekarang. Saya terus memohon kepada Allah pertolongan dan bimbingan pada jalan kebenaran dalam menjalankan tugas-tugas tersebut.  
Disamping jabatan-jabatan resmi yang sempat saya pegang sekarang, saya juga aktif di berbagai organisasi keIslaman lain seperti:
  1. Anggota Kibarul Ulama di Makkah.
  2. Ketua Lajnah Daimah (Komite Tetap) terhadap penelitian dan fatwa dalam masalah keagamaan di dalam lembaga Kibarul Ulama tersebut.
  3. Anggota pimpinan Majelis Tinggi Rabithah ‘Alam Islami.
  4. Pimpinan Majelis Tinggi untuk masjid-masjid.
  5. Pimpinan kumpulan penelitian fiqih Islam di Makkah di bawah naungan organisasi Rabithah ‘Alam Islami.
  6. Anggota majelis tinggi di Jami’ah Islamiyah (universitas Islam -red), Madinah.
  7. Anggota lembaga tinggi untuk dakwah Islam yang berkedudukan di Makkah.
Mengenai karya tulis, saya telah menulis puluhan karya ilmiah antara lain:
  1. Al Faidhul Hilyah fi Mabahits Fardhiyah.
  2. At Tahqiq wal Idhah li Katsirin min Masailil Haj wal Umrah Wa Ziarah (Tauhdihul Manasik - ini yang terpenting dan bermanfaat - aku kumpulkan pada tahun 1363 H). Karyaku ini telah dicetak ulang berkali-kali dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa (termasuk bahasa Indonesia -pent).
  3. At Tahdzir minal Bida’ mencakup 4 pembahasan (Hukmul Ihtifal bil Maulid Nabi wa Lailatil Isra’ wa Mi’raj, wa Lailatun Nifshi minas Sya’ban wa Takdzibir Ru’yal Mar’umah min Khadim Al Hijr An Nabawiyah Al Musamma Asy Syaikh Ahmad).
  4. Risalah Mujazah fiz Zakat was Shiyam.
  5. Al Aqidah As Shahihah wama Yudhadhuha.
  6. Wujubul Amal bis Sunnatir Rasul Sholallahu ‘Alaihi Wasallam wa Kufru man Ankaraha.
  7. Ad Dakwah Ilallah wa Akhlaqud Da’iyah.
  8. Wujubu Tahkim Syar’illah wa Nabdzu ma Khalafahu.
  9. Hukmus Sufur wal Hijab wa Nikah As Sighar.
  10. Naqdul Qawiy fi Hukmit Tashwir.
  11. Al Jawabul Mufid fi Hukmit Tashwir.
  12. Asy Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab (Da’wah wa Siratuhu).
  13. Tsalatsu Rasail fis Shalah: Kaifa Sholatun Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, Wujubu Ada’is Shalah fil Jama’ah, Aina Yadha’ul Mushalli Yadaihi hinar Raf’i minar Ruku’.
  14. Hukmul Islam fi man Tha’ana fil Qur’an au fi Rasulillah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.
  15. Hasyiyah Mufidah ‘Ala Fathil Bari - hanya sampai masalah haji.
  16. Risalatul Adilatin Naqliyah wa Hissiyah ‘ala Jaryanis Syamsi wa Sukunil ‘Ardhi wa Amakinis Su’udil Kawakib.
  17. Iqamatul Barahin ‘ala Hukmi man Istaghatsa bi Ghairillah au Shaddaqul Kawakib.
  18. Al Jihad fi Sabilillah.
  19. Fatawa Muta’aliq bi Ahkaml Haj wal Umrah wal Ziarah.
  20. Wujubu Luzumis Sunnah wal Hadzr minal Bid’ah."
Sampai di sini perkataan beliau yang saya (Ustadz Ahmad Hamdani -red) kutip dari buku Fatwa wa Tanbihat wa Nashaih hal 8-13.
 
AKIDAH DAN MANHAJ DAKWAH
 
Akidah dan manhaj dakwah Syaikh ini tercermin dari tulisan atau karya-karyanya. Kita lihat misalnya buku Aqidah Shahihah yang menerangkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menegakkan tauhid dan membersihkan sekaligus memerangi kesyirikan dan pelakunya. Pembelaannya kepada sunnah dan kebenciannya terhadap kebid’ahan tertuang dalam karya beliau yang ringkas dan padat, berjudul At Tahdzir ‘alal Bida’ (sudah diterjemahkan -pent). Sedangkan perhatian (ihtimam) dan pembelaan beliau terhadap dakwah salafiyah tidak diragukan lagi. Beliaulah yang menfatwakan bahwa firqatun najiyah (golongan yang selamat -red) adalah para salafiyyin yang berpegang dengan kitabullah dan sunnah Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hal suluk (perilaku) dan akhlaq serta aqidah. Beliau tetap gigih memperjuangkan dakwah ini di tengah-tengah rongrongan syubhat para da’i penyeru ke pintu neraka di negerinya khususnya dan luar negeri beliau pada umumnya, hingga al haq nampak dan kebatilan dilumatkan. Agaknya ini adalah bukti kebenaran sabda Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya), "Akan tetap ada pada umatku kelompok yang menampakkan kebenaran (al haq), tidak memudharatkan mereka orang yang mencela atau menyelisihinya"
 
Foot note:
 
[1] Mahdzab secara istilah yakni mengikuti istilah-istilah Ahmad Bin Hanbal dalam mempelajari masalah fiqih atau hadits. Bukan Mahdzab syakhsyi yaitu mengambil semua hadits yang diriwayatkannya.
 
Sumber: SALAFY Edisi XXV/1418 H/1998 M hal 48-49
Judul Asli: "Syaikh Bin Baz Mutjahid dan Ahli Fiqih Jaman Ini" 
 
WAFAT BELIAU (Keterangan tambahan)
 
Beliau wafat pada hari Kamis, 27 Muharram 1420 H / 13 Mei 1999 M. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala merahmatinya. Amin.
 
Sumber keterangan tambahan: www.fatwaonline.com

Tuesday, July 28, 2015

Turkish Chicken Kebabs – Expect More

I’d like to think that all the chicken coming off American grills this summer will be as tasty, juicy, and tender, as these Turkish chicken kebabs, but I know better. This has nothing to do with cooking skills, or quality of grills, but rather the unremarkable residue of low expectations.

People simply don’t expect much from their grilled chicken, and that’s exactly what they get. They use too little seasoning, and way too much time on the grill, followed by the inevitable barbecue sauce cover-up. Sure, the chicken was dry, but at least we couldn’t taste it.

It doesn’t have to be this way. By using a flavorful, yogurt-based marinade, like the one seen herein, even inexperienced grillers can produce impressive results. The acid and calcium in the yogurt tenderizes the meat, and unless it’s horribly over-cooked, you’ll be enjoying the kind of succulent chicken you didn’t even realize was possible.

Like I mentioned in the video, I’m not sure how "Turkish" this is. It’s loosely based on a lamb marinade I’ve used for a long time, but it really worked beautifully on these thighs. I really hope you give this easy, and very adaptable recipe a try soon. Enjoy!


Ingredients for 4 large portions:
1 cup plain whole milk Greek yogurt
2 tablespoons olive oil
2 or 3 tablespoons freshly squeezed lemon juice
2 tbsp ketchup
6 finely minced garlic cloves
1 tbsp kosher salt
1 teaspoon freshly ground black pepper
1 tbsp Aleppo red pepper flakes
1 teaspoon paprika
1 1/2 teaspoon cumin
1/8 teaspoon cinnamon
2 1/2 pounds boneless skinless chicken thighs
4 long metal skewers

Tidak Membatalkan Wudhu





Al Ustadz Abdul Bar Kaisinda
Maha Suci Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya sebagaimana Allah telah berfirman dalam Al Qur’an (yang artinya), "Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian" (QS Al Maidah:3)
Maka dipahami dari ayat tersebut bahwasanya Islam itu agama yang sempurna, tidak ada perkara yang bisa mendekatkan kepada Allah melainkan sudah ada keterangannya. Dan diantara permasalahan-permasalahan yang telah Allah jelaskan adalah permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pembatal-pembatal wudhu, maka tidak boleh seseorang menetapkan sesuatu hal sebagai pembatal wudhu kecuali harus berdasarkan dengan dalil dari Al Qur’an ataupun As Sunnah.
Berikut ini kami akan membawakan beberapa permasalahan yang dianggap sebagai pembatal wudhu padahal tidak demikian, diantaranya:
1. AL ISTIHADHAH
Berkata Al Imam An Nawawi Rahimahullah , "Al Istihadhah adalah keluarnya darah dari kemaluan wanita bukan pada waktunya (bukan pada waktu menstruasi dan bukan pada saat melahirkan) yang darah tersebut keluar dari urat yang bernama adzil, berbeda dengan haidh, karena haid keluar dari dalam rahim" Lihat Syarh Shahih Muslim (4-16)
Dalam kesempatan yang ringkas ini kita akan membawakan 2 hukum yang berkaitan dengan istihadhah.
Masalah pertama adalah tidak diwajibkannya bagi wanita yang terkena istihadhah untuk mandi setiap hendak shalat, kecuali pada saat berhenti haidnya maka diwajibkan untuk mandi sekali saja. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama bahwa seorang wanita yang terkena istihadhah tidak wajib baginya untuk mandi setiap shalat sebagaimana hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha (yang artinya), "Telah berkata Fatimah bintu Abi Ubaisy, "Wahai Rasulullah Aku terkena Istihadhah dan tidak suci darinya apakah aku boleh meninggalkan sholat?" Berkata Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, "Tidak, itu adalah darah yang keluar dari urat (bukan darah dari rahim, darah haidh atau nifas) akan tetapi engkau boleh meninggalkan shalat di hari-hari haidmu kemudian mandilah dan shalatlah (setelah haidmu selesai)" ". Lihat Shahih Al Bukhary (325).
Dan kita lihat bahwasanya Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidak memerintahkan untuk mandi setiap shalat. Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah, "Pendapat kebanyakan ulama adalah pendapat yang benar, bahwasanya tidak wajib untuk mandi (setiap shalat) kecuali ketika haidnya selesai dikarenakan tidak ada dalil yang shahih (yang mewajibkan harus mandi setiap shalat)". Lihat Nail Al Authar (jilid 1 hal:261).
Demikian juga telah berkata Al Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah, "Adapun riwayat yang disitu Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan untuk mandi setiap shalat maka periwayatan tersebut telah diingkari oleh ulama’ ahlul hadits".
Adapun riwayat yang shahih adalah Ummu Habibah binti Jahsy Radhiyallahu ‘Anha sendirilah yang mandi setiap hendak shalat.
Maka telah berkata Al Imam Asy Syafi’i Rahimahullah, "Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam hanya memerintahkan untuk mandi dan sholat dan tidaklah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan padanya untuk mandi setiap sholat". Demikian juga dinukil perkataan yang sama dari Sufyan Bin Uyainah juga Laits Bin Sa’d. Lihat Fath Al Baari (jilid 1 halaman 535) dan Syarh Shahih Muslim (jilid 4 halaman 18)
Pendapat ini pendapat yang benar, yang diriwayatkan dari Ali Bin Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Urwah Bin Zubair, Abi Salamah, Malik, Abi Hanifah, Asy Syafi’i, dan Ahmad. Pendapat ini juga dikatakan oleh Al Imam An Nawawi, Al Hafidz Ibnu Hajar, Al Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Alu Asy Syaikh. Lihat Jami’ Ahkam Al Qur’an (jilid 2 no 77), Al Ihkam (No 192), Ainul Ma’bud (Jilid 1 No 333), Subul As Salaam (Jilid 1 no 160).
Tidak juga diwajibkan bagi wanita yang terkena istihadhah untuk wudhu setiap kali hendak sholat, maka bila telah berwudhu boleh baginya untuk untuk sholat dengan wudhu tersebut lebih dari satu kali sholat selama tidak berhadats selain darah istihadhah (semisal buang air besar, jima’, atau buang angin). Adapun darah istihadhah tidak membatalkan wudhu.
Ini adalah pendapat yang lebih kuat daripada yang mewajibkan untuk wudhu setiap kali sholat. Karena tidak ada dalil shahih yang mewajibkan untuk berwudhu setiap kali sholat.
Adapun hadits yang memerintahkan untuk berwudhu setiap kali hendak sholat adalah hadits lemah yangtelah diingkari oleh imam-imam ahli hadits, diantaranya Al Imam Muslim Rahimahullah dalam Shahih-nya, tatkala berkata, "Di periwayatan Hammad Bin Zaid ada tambahan (perintah berwudhu setiap kali sholat) sengaja kami tidak sebutkan". Syarah Shahih Muslim (4/19). Perkataan Imam Muslim Rahimahullah tersebut merupakan isyarat dari beliau bahwa periwayatan tersebut tidak shahih atau lemah. Hal ini perkara-perkara yang dipahami oleh orang-orang yang memperhatikan kebiasaan Imam Muslim Rahimahullah dalam Shahih-nya.
Mengingat kesempatan yang sedikit mungkin ada baiknya kalau kita bawakan bukti-bukti yang menguatkan hal itu di kesempatan yang lain. Dan hal ini juga dipahami oleh Al Hafidz Ibnu Hajar bahwasanya hadits ini dianggap lemah oleh Al Imam Muslim, walaupun Al Hafidz tidak sependapat dengan Al Imam Muslim dalam hal ini. Lihat Al Fathu AL Baari (1/512) 
Demikian juga Al Imam An Nasa’i Rahimahullah mengatakan bahwa periwayatan yang memerintahkan untuk berwudhu setiap hendak sholat tidaklah shahih. Demikian juga Abu Daud dalam Sunan-nya, "Hadits ‘Adi Bin Tsabit dan al A’masy dan Habib dan Ayub Abi Al ‘Ala semuanya lemah tidak shahih". Kemudian Beliau berkata, "Telah meriwayatkan Ibnu Abi Daud dari Al A’masy marfu’ awalnya kemudian ia ingkari hadits yang mewajibkan wudhu setiap sholat". Lihat Ainul Ma’bud (1/337)
KESIMPULAN: Tidak wajib bagi perempuan yang terkena istihadhah untuk berwudhu setiap kali hendak sholat dan darah istihadhahnya bukanlah pembatal wudhu. Pendapat ini adalah pendapat Imam Rabiah, Imam Malik, Dawud, dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang tersebut dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah (hal. 27)  

2. MENYENTUH WANITA
Telah terjadi perbedaan pendapat di kalang an ulama dalam masalah ini menjadi lima pendapat sebagaimana yang telah disebutkan oleh Al Imam Qurtubi dalam Jami Li Ahkamil Qur’an (3-199). Akan tetapi bisa dikatakan pendapat yang mahsyur ada 3 pendapat. Lihat Majmu’  Al Fatawa (21-230)
Pendapat pertama: Menyentuh perempuan membatalkan wudhu secara mutlak (terangsang ataupun tidak terangsang) dengan syahwat atau tidak dengan syahwat. Mereka berdalil dengan ayat dalam Al Qur’an (yang artinya), "Atau bila kalian menyentuh perempuan dan kalian tidak mendapatkan air maka bertayamumlah" (QS An Nisaa’:43). Lihat Nailul Authar (1-213). Ayat tersebut sepintas menunjukkan apabila menyentuh perempuan dapat membatalkan wudhu.
Pendapat kedua: Menyentuh wanita dapat membatalkan wudhu apabila disertai dengan syahwat. Mereka juga berdalil dengan ayat di atas sebagaimana perkataan Ibnu Al Arabi dalam Ahkamul Qur’an (1-223) sebagaimana yang dinukil oleh Al Imam Al Qurtubi dalam Jami’ Ahkam Al Qur’an (3-200) bahwasanya perkataan Allah "Atau bila kalian menyentuh perempuan" bermakna menyentuh dan mencium.
Pendapat ketiga: Menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu baik dengan syahwat maupun tidak, selama tidak keluar sesuatu dari kemaluannya (mani atau madzi). Pendapat inilah yang diperkuat oleh Ali, Ibnu Abbas, Atha’, Thawus, Abu Hanifah, Sufyan Ats Tsauriy, dan lainnya. Lihat Ainul Ma’bud (1-2)
Berkata Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabari sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir, "Pendapat yang paling benar dalam permasalahan ini adalah pendapat yang mengatakan bahwasanya yang dikehendaki Allah Ta’ala dari perkataan-Nya, "Atau apabila kalian menyentuh perempuan" maksudnya adalah jima’ (hubungan suami istri -red) bukan yang lain dari makna tersebut karena telah ada hadits dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam mencium istri kemudian sholat dan tidak mengulangi wudhunya". Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1-516).
Berkata Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah, "Pendapat yang benar adalah menyentuh perempuan tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak kecuali jika keluar dari kemaluannya sesuatu. Dalilnya bahwa telah ada hadits dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bahwasanya beliau mencium istrinya kemudian Sholat tanpa mengulangi wudhunya. Selain itu tidaklah sesuatu itu bisa dianggap sebagai pembatal wudhu kecuali ada dalil yang shahih yang menunjukkan dengan jelas bahwa hal tersebut pembatal wudhu, dikarenakan seseorang yang yang telah berwudhu dengan mengikuti dalil syar’i maka tidak ada yang membatalkannya kecuali dengan keterangan dalil syar’i yang lain. Adapun firman Allah Ta’ala, "Atau apabila kalian menyentuh perempuan" maksudnya adalah jima’ (melakukan hubungan suami istri) sebagaiman ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, kemudian yang lebih memperkuat pendapat ini adalah ayat tersebut menjelaskan tentang pembagian (yang serasi) dari ayat Al Qur’an yaitu pembagian bersuci dengan thaharah yang asli (wudhu) dan thaharah pengganti (tayammum) kemudian pembagian yang serasi tentang bersuci dari hadats besar dan sebab-sebab untuk bersuci dari hadats kecil". Lihat Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (59) 
KESIMPULAN: Pendapat yang benar dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan "menyentuh perempuan tidaklah membatalkan wudhu dengan syahwat ataupun tidak dengan syahwat kecuali kalau keluar sesuatu dari kemaluannya (mani atau madzi)"
Hal tersebut dikarenakan tidak adanya dalil yang mengharuskan untuk bersuci setelah menyentuh perempuan. Adapun ayat pada surat An Nisaa’ maknanya adalah "melakukan hubungan suami istri" sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas yang telah didoakan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam agar Allah memberikan kepada Ibnu Abbas pemahaman tentang ilmu tafsir Al Qur’an. Dan diperkuat lagi oleh hadits Shahih Muslim dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwasanya dia berkata, "Aku letakkan tanganku di telapak kaki Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang sedang sholat)"
Berkata Imam Asy Syaukani, "Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh perempuan tidaklah membatalkan wudhu". Lihat Nail Authar (1-25). Pendapat ini juga diambil oleh Syaikhul Islam pada kesempatannya yang terakhir sebagaimana tertera dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah (hal: 28) 

3. MIMISAN
Adapun duapendapat dikalangan ulama yang mempermasalahkan ini: Ada yang mengatakan "Mimisan merupakan salah satu pembatal wudhu." Mereka berdalil dengan hadits Aisyah yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah (bab 137 hadits 1222) dan dikeluarkan oleh Al Imam Ad Daruquthni dan Al Imam Ahmad (yang artinya), "Barangsiapa yang muntah atau mimisan atau keluar sisa makanan dari kerongkongan atau madzi maka hendaklah ia berwudhu."
Adapun sebagian ulama yang lain berpendapat "mimisan tidak membatalkan wudhu." Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Malik As Syarif, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnu Al Musayyab, Makhul dan Rabi’ah. Lihat Nail Authar (1/206).
Pendapat yang kedua (mimisan tidak membatalkan wudhu) adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam sebagaimana dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah (hal 28). Selain itu juga dikuatkan oleh Al Imam Asy Syaukani. Beliau berkata, "Tidaklah pantas untuk mengatakan bahwa darah atau muntah sebagai pembatal wudhu kecuali jika ada dalil yang menunjangnya dan memastikan kewajiban (wajib wudhu dari mimisan atau muntah) sebelum mengetahui kebenaran dalilnya, sama sepertu memastikan keharaman sebelum mengetahui kebenaran dalil yang mengharamkan. Semua itu adalah menyandarkan kepada Allah suatu perkataan padahal Allah tidak mengatakannya". Lihat Nail Al Authar (1-207)
Berkata Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di, "Pendapat yang benar adalah darah dan muntah dan yang semisalnya (sesuatu yang keluar dari tubuh manusia yang bukan dari kemaluan dan anus) tidak membatalkan wudhu banyak atau sedikit karena tidak ada dalil yang menunjukkan kalau darah atau muntah membatalkan wudhu, dan hukum asal seseorang yang telah bersuci adalah tetap dalam keadaan suci (sampai ada dalil yang mengeluarkan dari kesuciannya)". Lihat Tawdhih Al Ahkam (1/301).
Berkata Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, "Sesuatu yang keluar dari sealin 2 jalan (kemaluan dan anus) tidaklah membatalkan wudhu sedikit ataupun banyak kecuali kencing atau tinja (atau madzi atau mani) karena hukum asalnya adalah tidaklah sebagai pembatal wudhu. Barangsiapa yang mengeluarkan dari hukum asal maka wajib baginya untuk mendatangkan dalilnya". Lihat Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (57).
KESIMPULAN: Pendapat yang benar dalam hal ini adalah yang mengatakan bahwa mimisan bukanlah sebagai pembatal wudhu dikarenakan hukum asal seseorang yang sudah bersuci tetap dalam keadaan kesuciannya selama tidak ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asal tersebut dan dalam permasalahan ini tidak ada dalil yang kuat untuk mengeluarkan dari hukum asal. Adapun hadits yang dikeluarkan ‘Aisyah bahwa mimisan dan muntah sebagai pembatal wudhu, maka hadits ini adalah hadits yang lemah dikarenakan perawinya yang bernama Ismail bin Ayyas telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, sementara periwayatannya dari selain orang se-negrinya sering salah, lihat At Taqrib (48), ditambah lagi dalam hal ini ia menyelisihi perawi-perawi yang lebih kuat darinya dan mereka meriwayatkannya secara mursal (terputus jalan haditsnya) dan riwayat yang mursal telah dikuatkan oleh Al Imam Muhammad Bin Yahya Ad Dzuhli, Ad Daruquthni dan Abu Hatim. Adapun jalan yang lain, dikeluarkan Ad Daruquthni darinya dari Atha’ bin Ajlan dan Abbad Bin Katsir dari Ibnu Abi Mulaikah dari ‘Aisyah.
Berkata Al Imam Baihaqi, "Yang benar irsal dan hadits dirafa’kan (disambungkan jalannya) oleh Sulaiman bin Arqam tetapi periwayatannya ditinggalkan oleh ahlul hadits. Selain itu juga ada periwayatan dari Ibnu Abbas dikeluarkan oleh Ad Daruquthni, Ibnu Adiy dan Ath Thabrani tetapi di jalannya ada Sulaiman Bin Arqam. Kemudian dari shahabat Abi Said dikeluarkan oleh Ad Daruquthni di sanadnya ada Abu Bakr Adz Dzahiri, dia juga ditinggalkan periwayatannya". Lihat Nail Al Authar (1-206)

4. MUNTAH
Demikian juga dalam hal ini bahwa pendapat yang benar adalah muntah tidak membatalkan wudhu. Hal ini dikarenakan tidak ada dalil yang kuat yang mengharuskan wudhu dari muntah. Sebagaimana kaidah berulang-ulang kali disebutkan, yaitu "hukum asal seseorang yang telah bersuci maka tidak membatalkan sucinya kecuali perkara-perkara yang datang dengan dalil yang kuat." Pendapat ini adalah pendapat Al Imam Malik, Imam Asy Syafii, dan lain-lain dan diperkuat oleh Syaikhul Islam, Al Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh As Sa’di, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lain-lain. Lihat Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah (28), Nail Al Authar (1-207), Taudhih Ahkam (1/301), Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (57).
Adapun hadits Aisyah yang mewajibkan wudhu dari muntah telah dijelaskan kelemahannya.
Sedangkan hadits Abi Darda’, "Bahwa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam muntah kemudian berwudhu" Hadits riwayat Al Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnul Jarud, Ibnu Hibban, Ad Daruquthni, Al Baihaqi, Ath Thabrani, Ibnu Majah, dan Al Hakim. Berkata Ibnu Mandah, "Isnadnya shahih bersambung akan tetapi ditinggalkan oleh Al Bukhari dan Muslim karena ada perselisihan di jalan haditsnya".
Berkata At Tirmidzi, "Husein Al Mu’allim telah membaikkan sanadnya dan ini yang paling shahih dalam permasalahan ini. Demikian juga berkata Ahmad dan di situ ada perselisihan yang banyak sebagaimana disebutkan oleh Ath Thabrani dan juga yang lainnya. Berkata Al Baihaqi: Jalan haditsnya mudhthradib (banyak perselisihan) tidak dapat dipakai sebagai hujjah" Talkhis Al Habir (2-190) 
KESIMPULANNYA: Hadits ini tidak bisa dipakai hujjah, kalaupun hadits ini dianggap shahih sebagaimana disebutkan oleh Asy Syaikh Al Albani di dalam Tamamul Minnah (hal 111) hadits ini tidak tidak menunjukkan wajibnya wudhu dari muntah akan tetapi hanya mustahab saja (disunnahkan saja), afdhal untuk dilakukan dan tidaklah mengapa jika ditinggalkan karena hanya berupa fiil saja (perbuatan saja). Sebagimana dinukil oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah (112) dari Syaikhul Islam di Majmu’al Ar Rasail 1  dan sebagaimana disebutkan oleh Al Imam Asy Syaukani dalam Nail Al Authar (1-205) dan ditekankan juga oleh Syaikh Ibnu Utsaimin. Fatawa Al Mar’ah  Al Muslimah (57)
Sumber: Majalah As Salam No IV/Tahun II -2006 M/1427 H hal 20-24
Judul Asli:
"Istihadhah, Menyentuh Wanita, Muntah, dan Mimisan Tidak Membatalkan Wudhu"

Sunday, July 26, 2015

Beragam Tujuan Menimba Ilmu Agama

 
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata
"Janganlah kalian memperlajari ilmu karena 3 hal: (1) Dalam rangka debat kusir dengan orang-orang bodoh, (2) Untuk mendebat para Ulama, atau (3) memalingkan wajah-wajah manusia ke arah kalian. Carilah apa yang ada di sisi Allah Subhanahu Wata’ala dengan ucapan dan perbuatan kalian. Karena sesungguhnya itulah yang kekal abadi, sedangkan yang selain itu akan hilang dan pergi"
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/45)
 
Ishaq Ibnu Ath-Thiba’ Rahimahullah berkata
"Aku mendengar Hammad Bin Salamah Rahimahullah berkata: Barangsiapa mencari (ilmu -pen) hadits untuk selain Allah Subhanahu Wata’ala maka Allah Subhanahu Wata’ala akan membuat makar atasnya"


Waki’ Rahimahullah berkata
"Tidaklah kita hidup melainkan dalam suatu tutupan. Andaikata tutupan tersebut disingkap, niscaya akan memperlihatkan suatu perkara yang besar yakni kejujuran niat"


Al Hafidz Adz Dzahabi Rahimahullah berkata
""menuntut ilmu yang merupakan perkara yang wajib dan sunnah yang sangat ditekankan, namun terkadang menjadi suatu yang tercela pada sebagian orang. Seperti halnya seseorang menimba ilmu agar dapat berjalan bersama (disetarakan -pen) dengan para ulama, atau supaya dapat mendebat kusir orang-orang yang bodoh, atau untuk memalingkan mata manusia ke arahnya, atau supaya dapat diagungkan dan dikedepankan, atau dalam rangka meraih dunia, harta, kedudukan, dan jabatan tinggi. Ini semua merupakan salah satu dari tiga golongan yang api neraka dinyalakan (sebagai balasan -pen) bagi mereka [1]"  

 (An Nubadz fi Adabi Thalabil ‘ilmi hal 10-11)
 
[1] Hadits riwayat Muslim no 1907 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu 
 
Sumber: Majalah Asysyari’ah
Vol III/No.33/1428 H/2007 M Hal 1 

Hal yang harus Diketahui tentang Puasa Syawwal

Bismillah Assalamu Alaikum 


Termasuk rahmat Allah kepada para hambaNya, Dia menjadikan amalan sunnah pada setiap jenis amalan wajib, seperti shalat, ada yang wajib ada yang sunnah, demikian pula puasa, shodaqoh, haji dan lain sebagainya.
Ketahuilah wahai saudaraku seiman –semoga Allah merahamtimu- bahwa adanya amalan-amalan sunnah tersebut memiliki beberapa faedah bagi umat manusia:
  1. Menyempurnakan kekurangan pada amalan wajib, sebab bagaimanapun seorang telah berusaha agar ibadah wajibnya sempurna semaksimal mungkin namun tidak luput dari kekurangan. Di sinilah peran amalan sunnah untuk menutup lubang-lubang tersebut.
  2. Menambah pahala disebabkan bertambahnya amal shaleh
  3. Menggapai kecintaan Allah
  4. Menambah keimanan seorang hamba
  5. Menambah kuatnya hubungan seorang hamba dengan Robbnya
  6. Merupakan medan untuk berlomba-lomba dalam ketaatan
  7. Mendorong hamba dalam melakukan amalan wajib, sebab sepertinya mustahil kalau ada seorang yang rajin mengamalkan perkara sunnah tetapi mengabaikan amal yang wajib
  8. Pembuka amalan wajib
  9. Penutup pintu bid’ah dalam agama
  10. Mencontoh Nabi dan para salaf shalih.[194]
Diantara amalan sunnah tersebut adalah puasa syawwal. Berikut ini beberapa pembahasan tentang puasa syawal. Semoga bermanfaat.

1. Disyari’atkannya Puasa Enam Hari Pada Bulan Syawwal

Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadits, di antaranya hadits Abu Ayyub dan Tsauban berikut:

عَنْ أبِي أَيُّوْبَ اْلأَنْصَارِيِّ τ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ n قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَ أَْتبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَهْرِ
Dari Abu Ayyub al-Anshari a/ bahwasanya Rasulullah n/ bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari bulan Syawwal, maka dia seperti berpuasa satu tahun penuh.”[195]

عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُوْلِ اللهِ n عَنْ رَسُوْلِ اللهِ n أَنَّهُ قَالَ: مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَنَّةِ. مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشَرُ أَمْثَالِهَا
Dari Tsauban, budak Rasulullah n/, bahwasanya beliau n/ bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Idul Fithri, maka seperti telah berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.”[196]

Puasa enam hari bulan syawwal hukumnya sunnah, baik bagi kaum pria maupun wanita. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu seperti diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ka’b al-Akhbar, Sya’bi, Thawus, Maimun bin Mihran, Abdullah bin Mubarok, Ahmad bin Hanbal dan Syafi’i.[197]
Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya mengenai sunnahnya puasa enam hari bulan Syawwal.”[198]
Ibnu Hubairah berkata: “Mereka bersepakat tentang sunnahnya puasa enam hari Syawal kecuali Abu Hanifah dan Malik yang mengatakan bahwa hal itu dibenci dan tidak disunnahkan”.[199]
Alangkah bagusnya ucapan Al-Allamah al-Mubarakfuri: “Pendapat yang menyatakan dibencinya puasa enam hari Syawwal merupakan pendapat yang bathil dan bertentangan dengan hadits-hadits shahih. Oleh karena itu, mayoritas ulama Hanafiyah berpendapat tidak mengapa seorang berpuasa enam hari Syawwal tersebut. Ibnu Humam berkata[200]: “Puasa enam hari Syawwal menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf makruh (dibenci) tetapi ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu tidak mengapa”.[201]

2. Keutamaan puasa enam hari Syawwal.

Yaitu dihitung seperti puasa setahun penuh, karena satu kebaikan berkelipatan sepuluh. Satu bulan 30 hari x 10 = 10 bulan, dan enam hari 6 x 10 = 2 bulan. Jadi, jumlah seluruhnya 12 bulan = 1 tahun. Hal ini sangat jelas dalam riwayat Tsauban.
Namun hal ini bukan berarti dibolehkan atau disunnahkan puasa dahr (setahun) sebagaimana anggapan sebagian kalangan, karena beberapa sebab:
Pertama: Maksud perumpamaan Nabi di atas adalah sebagai anjuran dan penjelasan tentang keutamaannya, bukan untuk membolehkan puasa dahr (setahun) yang jelas hukumnya haram dan memberatkan diri, apalagi dalam setahun seorang akan berbenturan dengan hari-hari terlarang untuk puasa seperti hari raya dan hari tasyriq.
Kedua: Nabi telah melarang puasa dahr. Kalau demikian, lantas mungkinkah kemudian hal itu dinilai sebagai puasa yang dianjurkan?!
Ketiga: Nabi bersabda: “Sebaik-baik puasa adalah puasa Dawud, beliau sehari puasa dan sehari berbuka”. Hadits ini sangat jelas sekali menunjukkan bahwa puasa Dawud lebih utama daripada puasa dahr sekalipun hal itu lebih banyak amalnya.[202]

3. Beberapa Faedah Puasa Syawal

Membiasakan puasa setelah ramadhan memiliki beberapa faedah yang cukup banyak, diantaranya:
  1. Puasa enam hari syawal setelah ramadhan berarti meraih pahala puasa setahun penuh
  2. Puasa syawal dan sya’ban seperti shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu, untuk sebagai penyempurna kekurangan yang terdapat dalam fardhu
  3. Puasa syawal setelah ramadhan merupakan tanda bahwa Allah menerima puasa ramadhannya, sebab Allah apabila menerima amal seorang hamba maka Dia akan memberikan taufiq kepadanya untuk melakukan amalan shalih setelahnya
  4. Puasa syawal merupakan ungkapan syukur setelah Allah mengampuni dosanya dengan puasa ramadhan
  5. Puasa syawwal merupakan tanda keteguhannya dalam beramal shalih, karena amal shalih tidaklah terputus dengan selesainya ramadhan tetapi terus berlangusng selagi hamba masih hidup.[203]

4. Haruskah berturut-turut setelah Idul Fithri?!

Ash-Shon’ani berkata: “Ketahuilah bahwa pahala puasa ini bisa didapatkan bagi orang yang berpuasa secara berpisah atau berturut-turut, dan bagi yang berpuasa langsung setelah hari raya atau di tengah-tengah bulan”.[204]
An-Nawawi berkata: “Afdhalnya, berpuasa enam hari berturut turut langsung setelah Idhul Fithri. Namun jika seseorang berpuasa Syawwal tersebut dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, dia masih mendapatkan keutamaan puasa Syawwal, berdasarkan konteks hadits ini.”[205] Yakni keumuman sabda Nabi “enam hari bulan syawal”.[206]
Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah maupun di akhir bulan Syawwal. Namun, yang lebih utama adalah bersegera melakukan puasa Syawwal karena beberapa sebab:
Pertama: Bersegera dalam beramal shalih
Kedua: Agar tidak terhambat oleh halangan dan godaan syetan sehingga menjadikannya tidak berpuasa
Ketiga: Manusia tidak tahu kapan malaikat maut menjemputnya.
Dengan demikian, maka kita dapat mengetahui kesalahan keyakinan sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa puasa sunnah syawwal harus pada hari kedua setelah hari raya, bila tidak maka sia-sia puasanya!!

5. Bila Masih Punya Tanggungan Puasa Ramadhan

Apabila seorang ingin berpuasa Syawwal tetapi dia masih memiliki tangungan puasa ramadhan, bagaimana hukumnya?!
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, kemudian dia memulai puasa enam syawal, maka dia tidak mendapatkan keutamaan pahala orang yang puasa ramadhan dan mengirinya dengan enam syawal, sebab dia belum menyempurnakan puasa ramadhan”.[207]
Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin berkata: “Puasa enam syawal berkaitan dengan ramadhan, dan tidak dilakukan kecuali setelah melunasi tanggungan puasa wajibnya. Seandainya dia berpuasa syawal sebelum melunasinya maka dia tidak mendapatkan pahala keutamaannya, berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa puasa ramadhan kemudian dia menyertainya dengan enam hari syawal maka seakan-akan dia berpuasa setahun penuh”.
Dan telah dimaklumi bersama bahwa orang yang masih memiliki tanggungan puasa ramadhan berarti dia tidak termasuk golongan orang yang telah puasa ramadhan sampai dia melunasinya terlebih dahulu. Sebagian manusia keliru dalam masalah ini, sehingga tatkala dia khawatir keluarnya bulan syawal maka dia berpuasa sebelum melunasi tanggungannya. Ini adalah suatu kesalahan”.[208]

6. Kalau Memang Ada Udzur Sehingga Keluar Bulan Syawwal

Bagaimana kalau seseorang tidak bisa melakukan puasa syawal karena ada udzur seperti sakit, nifas atau melunasi hutang puasanya sebanyak sebulan, sehingga keluar bulan syawal. Apakah dia boleh menggantinya pada bulan-bulan lainnya dan meraih keutamaannya, ataukah tidak perlu karana waktunya telah keluar?! Masalah ini diperselisihkan oleh ulama:

1. Boleh menggodho’nya karena ada udzur. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di[209] dan Syaikh Ibnu Utsaimin[210]. Alasannya adalah menqiyaskan dengan ibadah-ibadah lain yang bisa diqodho’ apabila ada udzur seperti shalat.

2. Tidak disyariatkan untuk mengqodho’nya apabila telah keluar bulan syawal, baik karena ada udzur atau tidak, karena waktunya telah lewat. Pendapat ini dipilih oleh syaikh Abdul Aziz bin Baz[211].
Pendapat kedua inilah yang tentram dalam hati penulis, karena qodho’ membutuhkan dalil khusus dan tidak ada dalil dalam masalah ini. Wallahu A’lam.[212] Alhamdulillah, kalau memang dia benar-benar jujur dalam niatnya yang seandainya bukan karena udzur tersebut dia akan melakukan puasa syawal, maka Allah akan memberikan pahala baginya, sebagaimana dalam hadits:
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلَ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْمًا صَحِيْحًا
Apabila seorang hamba sakit atau bepergian, maka dia ditulis seperti apa yang dia lakukan dalam muqim sehat. [213]

7. Menggabung Niat Puasa

Kalau ada orang yang berpuasa syawwal dan ingin menggabungnya dengan qodho’ puasa ramadahan, atau dengan puasa senin kamis, atau tiga hari dalam sebulan, bagaimana hukumnya?! Menjawab masalah ini, hendakanya kita mengetahui terlebih dahulu sebuah kaidah berharga yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Rojab, yaitu “Apabila berkumpul dua ibadah satu jenis dalam satu waktu, salah satunya bukan karena qodho’ (mengganti) atau mengikut pada ibadah lainnya, maka dua ibadah tersebut bisa digabung jadi satu”.[214]

Jadi, menggabung beberapa ibadah menjadi satu itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Tidak mungkin digabung, yaitu apabila ibadah tersebut merupakan ibadah tersendiri atau mengikut kepada ibadah lainnya, maka di sini tidak mungkin digabung.

Contoh: Seorang ketinggalan shalat sunnah fajar sampai terbit matahari dan datang waktu sholat dhuha, di sini tidak bisa digabung antara shalat sunnah fajar dan shalat dhuha, karena shalat sunnah fajar adalah ibadah tersendiri dan shalat dhuha juga ibadah tersendiri.

Contoh lain: Seorang sholat fajar dengan niat untuk shalat sunnah rawatib dan shalat fardhu, maka tidak bisa, karena shalat sunnah rawatib adalah mengikut kepada shalat fardhu.

Kedua: Bisa untuk digabung, yaitu kalau maksud dari ibadah tersebut hanya sekedar adanya perbuatan tersebut, bukan ibadah tersendiri, maka di sini bisa untuk digabung.
Contoh: Seorang masuk masjid dan menjumpai manusia sedang melakukan shalat fajar, maka dia ikut shalat dengan niat shalat fajar dan tahiyyatul masjid, maka boleh karena tahiyyatul masjid bukanlah ibadah tersendiri.[215]
Nah, dari sini dapat kita simpulkan bahwa kalau seorang menggabung puasa syawwal dengan mengqodho’ puasa ramadhan maka hukumnya tidak boleh karena puasa syawal di sini mengikut kepada puasa ramadhan[216]. Namun apabila seseorang menggabung puasa syawwal dengan puasa tiga hari dalam sebulan, puasa dawud, senin kami maka hukumnya boleh. Wallahu A’lam.
Demikianlah beberapa pembahasan yang dapat kami ketengahkan. Semoga bermanfaat.
_______________________________________________
Footnote:
[194] Min Fawaid Syaikhina Sami Abu Muhammad atas kitab Ar-Raudh al-Murbi’ al-Bahuti, kitab puasa.
[195] HR. Muslim 1164.
[196] Diriwayatkan Ibnu Majah 1715, ad-Darimi 1762, Nasa’i dalam Sunan Kubra 2810, 2861, Ibnu Khuzaimah 2115, Ibnu Hibban 928, dan Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya 5/280, ath-Thobarani dalam Mu’jamul Kabir 1451 dan Musnad Syamiyyin 485, ath-Thohawi dalam Musykil Atsar 1425, dan dishahihkan al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil 4/107.
[197] Al-Mughni Ibnu Qudamah 4/438 dan Lathoiful Ma’arif Ibnu Rojab hal. 389
[198] Syarah Shahih Muslim 8/138,
[199] Al-Ifshoh 1/252
[200] Fathul Qodir 2/349
[201] Tuhfatul Ahwadzi 3/389
[202] Tahdzib Sunan 7/70-71 dan al-Manarul Munif hal. 39 Ibnu Qayyim
[203] Lathoiful Ma’arif Ibnu Rojab hal. 393-396
[204] Subulus Salam 4/127
[205] Syarh Muslim 8/238,
[206] lihat pula Masail Imam Ahmad 2/662
[207] Latha’iful Ma’arif hal. 397
[208] Liqa’athi Ma’a Samahatis Syaikh Ibnu Utsaimin Dr. Abdullah ath-Thoyyar 2/79 dan Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 20/17-20
[209] Al-Fatawa Sa’diyyah hal. 230
[210] Syarh Mumti’ 7/467
[211] Majmu Fatawa Ibnu Baz 3/270, al-Fatawa Ibnu Baz -Kitab Da’wah 2/172, Fatawa Shiyam 2/694-695 kumpulan Asyrof Abdul Maqshud
[212] Simak kaset Fatawa Jeddah oleh Syaikh al-Albani no. 7 dan Ahkamul Adzkar Zakariya al-Bakistani hal. 51
[213] HR. Bukhari: 2996.
[214] Taqrir Qowaid 1/142
[215] Liqa’ Bab Maftuh Ibnu Utsaimin hal. 20. Lihat penjelasan tentang kaidah ini dan contoh-contohnya secara panjang dalam Taqrir Qowa’id Ibnu Rojab 1/142-158

Dari Abiubaidah.com

Friday, July 24, 2015

The Best Chocolate Chip Cookies. Ever.

I know, everybody says that, but I really mean it. These are, these have to be, the best chocolate chip cookies, ever. Crispy around the edges, chewy and chocolaty in the middle, and thin, oh so thin.

The only way someone doesn’t love these, is if they prefer thick cookies instead, which, in that case, makes their opinion invalid, since they’re obviously crazy. Besides, you know you can just press two thin cookies together to get a thick one. Right?

My “secret” formula has been adapted from Alton Brown’s famous, “The Thin” recipe, and is fairly foolproof. The only real variable is the baking time, since we all scoop slightly different amounts. Mine took about 12 minutes, but if you make yours a little bigger, or smaller, that time will change.

And yes, of course you can add nuts to yours! I’m a walnut guy from way back, but decided to go sans nuts for this video. Speaking of nuts, you’re nuts if you don’t try this very simple, and amazing chocolate chip cookie recipe soon. Enjoy!


Ingredients for about 32 Chocolate Chip Cookies (depending on size):
2 1/4 cups all-purpose flour
1 1/4 teaspoons kosher salt (or 3/4 teaspoon of fine table salt)
1 teaspoon baking soda
2 sticks (1 cup) very soft unsalted *butter (be sure the butter is room temp, and very, very soft!)
*I used a high-quality European-style butter, and recommend you do the same. Cheaper butters will have more water content, which can affect the fat ratio, and thickness of your cookie.
1 cup sugar
1/2 cup light brown sugar
1 1/4 teaspoons vanilla extract
2 tablespoons milk
1 large egg
2 cups semisweet chocolate chips
- Bake at 375 F. for about 12 minutes

Membentuk Khilafah Sesuai dengan Tuntunan Islam


Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al Bugisi 
  
"Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa tetap kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (An-Nur: 55)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat

‘Allah telah berjanji’, maknanya adalah Allah telah menjanjikan. Dan telah menjadi ketetapan Allah bahwa Dia tidak akan mengingkari janji-Nya.
 
‘Kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih’, mereka adalah orang-orang yang tegak dengan keimanannya, yaitu keimanan yang harus dimiliki setiap muslim berupa tauhid dengan segala konsekuensinya dan juga beramal shalih. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa beramal dengan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 
‘Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi’, maknanya Allah pasti memberikan khilafah kepada mereka dan dengan kekhilafahan itu mereka bisa berbuat seperti perbuatan para raja di muka bumi. (Lihat Tafsir Fathul Qadir, 4/47; Tafsir Al-Baidhawi, 4/197)
 
‘Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa’, yaitu sebagaimana telah diberikan khilafah kepada orang-orang sebelum mereka dari kalangan Bani Israil dan umat-umat sebelumnya yang lain. (Lihat Fathul Qadir, 4/47 oleh Al-Imam Asy-Syaukani)
 
‘Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka’. Yang dimaksud dengan tamkin adalah mengokohkan, yaitu menjadikannya kokoh dengan silih bergantinya mereka dalam menduduki kekuasaan. Tidak hanya bersifat sebentar dan sementara waktu lalu menghilang dengan cepat. Yang dimaksud agama yang diridhai adalah Islam, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah (yang artinya): "Dan Aku telah ridha Islam menjadi agama kalian." (Al-Maidah: 5) [Lihat Fathul Qadir, 4/47, karya Al-Imam Asy-Syaukani]
 
‘Dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa.’ Yaitu dihilangkannya rasa takut yang dahulu mereka rasakan akibat gangguan para musuh Islam, hingga mereka hanya takut kepada Allah saja.

Penjelasan Makna Ayat
 
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata: "Ayat ini termasuk di antara janji-janji Allah yang (pasti) benar, yang telah disaksikan kenyataannya dan kandungan beritanya. (Allah) telah berjanji kepada orang yang menegakkan iman dan beramal shalih dari kalangan umat ini bahwa Dia akan memberikan kepada mereka khilafah di muka bumi. Mereka akan menjadi para khalifah di atasnya, yang mengatur urusan-urusan mereka dan mengokohkan agama -yang mereka ridhai- untuk mereka, yaitu agama Islam yang telah mengalahkan seluruh agama karena keutamaan, kemuliaan dan kenikmatan Allah atasnya. Mereka leluasa dalam menegakkannya dan menegakkan syariat baik yang zhahir maupun yang batin baik pada diri mereka maupun selain mereka. Sebab, orang-orang selain mereka dari kalangan para pemeluk agama selain (Islam) telah terkalahkan dan terhinakan. Dan Allah menggantikan keadaan mereka dari rasa takut yang menyebabkan mereka tidak mampu menampakkan agama dan menegakkan syariat disebabkan gangguan dari orang-orang kuffar, serta jumlah kaum muslimin yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan selain mereka, dan seluruh penduduk bumi memusuhi dan menentang mereka dengan berbagai kerusakan.
 
Allah menjanjikan hal-hal tersebut untuk mereka pada saat turunnya ayat ini, namun kekhalifahan di bumi dan kekokohannya belum dapat disaksikan saat itu. Yang dimaksud dengan kekokohan adalah kekokohan agama Islam, keamanan yang sempurna di mana mereka hanya menyembah kepada Allah, tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu dan mereka tidak takut kecuali hanya kepada Allah. Maka tegaklah generasi awal umat ini, dengan iman dan amal shalih yang menyebabkan mereka berada di atas umat lainnya, maka Allah kuasakan kepada mereka berbagai negeri dan manusia, serta dibukakan kekuasaan dari timur ke barat sehingga terwujud keamanan dan kekokohan yang sempurna.
 
Ini termasuk tanda-tanda kekuasaan Allah yang menakjubkan. Dan hal tersebut akan senantiasa berlangsung hingga (mendekati) hari kiamat. Selama mereka menegakkan iman dan amal shalih pasti mereka akan mendapatkan apa yang telah Allah janjikan untuk mereka.
 
Namun terkadang orang kafir dan munafiqin menguasai mereka dan mengalahkan kaum muslimin disebabkan kelalaian kaum muslimin dalam menegakkan iman dan amalan yang shalih." (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 573)
 
Al-Imam Asy-Syaukani berkata: "(Ayat) ini merupakan janji Allah bagi orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih berupa pemberian khilafah bagi mereka di muka bumi sebagaimana yang telah diberikan kepada orang-orang sebelum mereka dari umat-umat sebelumnya. Janji ini mencakup seluruh umat. Ada yang berkata: ‘Ayat ini khusus untuk para shahabat.’ Namun hal itu tidak benar, karena beriman dan beramal shalih tidaklah terkhusus untuk mereka. Bahkan hal tersebut mungkin terjadi pada siapa saja dari kalangan umat ini. Maka barangsiapa yang mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya maka sungguh dia telah menaati Allah dan Rasul-Nya." (Fathul Qadir, 4/47)

Ibnul Qayyim berkata: "(Ayat) ini mengabarkan tentang ketetapan dan kebijaksanaan Allah terhadap makhluk-Nya yang tidak akan mungkin berubah, bahwa barangsiapa yang beriman dan beramal shalih maka Allah akan mengokohkannya di muka bumi dan memberikan khilafah kepadanya, tidak membinasakan dan menghancurkan mereka sebagaimana (Allah) membinasakan orang-orang yang mendustakan para rasul dan menyelisihi mereka. Allah mengabarkan kebijaksanaan dan muamalah-Nya terhadap orang yang beriman kepada para rasul dan membenarkan mereka bahwa Allah akan memperlakukan mereka sebagaimana Allah memperlakukan orang-orang sebelum mereka dari para pengikut rasul." (Jala’ul Afham hal. 287, karya Ibnul Qayyim)

Perwujudan Janji Allah di Masa Generasi Salaf
 
Apa yang telah dijanjikan pada ayat ini telah dirasakan oleh orang-orang yang senantiasa menjalankan persyaratan yang disebutkan Allah berupa iman dan mentauhidkan Allah serta mengikuti Sunnah Rasulullah. Juga senantiasa berada di atas jejak beliau sehingga Allah memberikan kekuasaan kepada mereka di berbagai negeri dan menundukkan negara-negara besar seperti Persia dan Romawi.
 
Perhatikanlah sirah (perjalanan hidup, red) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak meninggal dunia kecuali Allah telah memberikan kemenangan kepada beliau dengan ditaklukkannya kota Makkah, Khaibar, Bahrain, seluruh negeri Arab dan seluruh negeri Yaman. Beliau memberlakukan penarikan jizyah (upeti) dari bangsa Majusi di Hajar dan sebagian daerah pesisir Syam.
 
Heraklius, Raja Romawi, meminta berdamai kepada beliau. Demikian pula penguasa Mesir dan penguasa Iskandariah yang digelari Muqauqis. Juga raja-raja Oman dan raja Najasyi, penguasa Habasyah yang menjadi raja setelah ‘Ashimah.
 
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, pemerintahan dilanjutkan oleh para khalifah setelah beliau. Tidak lama setelah kematian beliau, Abu Bakar Ash-Shiddiq melanjutkan kekuasaan dan mengirim pasukan Islam ke Persia, dipimpin Khalid bin Al-Walid. Kaum muslimin menaklukkan sebagian wilayah Persia dan membunuh sebagian tentara mereka. Pasukan lain yang dipimpin Abu Ubaidah dan para pemimpin lainnya bersamanya menuju Syam. Pasukan ketiga pimpinan ‘Amr bin Al-’Ash menuju Mesir. Allah memberikan kemenangan bagi pasukan yang menuju Syam dan berhasil menguasai Bashrah, Damaskus, dan masih tersisa darinya negeri Hauran dan sekitarnya hingga Allah mewafatkannya dan memberikan pilihan kemuliaan baginya.
 
Kemudian Allah menganugerahi kaum muslimin di mana Ash-Shiddiq diberikan ilham untuk mengangkat ‘Umar Al-Faruq sebagai penggantinya. ‘Umar pun menegakkan kekhalifahan dengan penegakan yang sempurna, yang belum pernah dikenal dalam sejarah yang seperti beliau -setelah para nabi- dalam kekuatan dan kesempurnaan keadilannya.
 
Beliau berhasil menyempurnakan kemenangan di seluruh negeri Syam. Demikian pula negara-negara Mesir dan sebagian besar wilayah Persia. Beliau meruntuhkan kekuasaan Kisra (raja Persia) dan menghinakannya dengan serendah-rendahnya sehingga dia melarikan diri hingga ke ujung kekuasaannya. Juga beliau meruntuhkan Kaisar (raja Romawi) dan melepaskan kekuasaannya dari negeri Syam sehingga dia lari menuju Kostantinopel.
 
‘Umar menginfakkan harta keduanya di jalan Allah, sebagaimana yang telah dikabarkan dan dijanjikan oleh Rasulullah. Lalu berlanjut sampai kekuasaan di tangan Daulah Utsmaniyah, semakin melebar kekuasaan Islam hingga ke ujung timur dan barat.
 
Ditundukkan pula negeri Maghrib hingga ke ujungnya yaitu Andalus, Qabras, negeri Qairuwan, negeri Sabtah yang berada di dekat lautan Muhith. Adapun dari arah timur hingga ke ujung negeri Cina dan berhasil membunuh Kisra serta meruntuhkan kekuasaannya secara total.
 
Ditundukkan pula beberapa kota seperti Irak, Khurasan, Ahwaz, dan kaum muslimin berhasil membunuh pasukan Turki dalam jumlah yang banyak sekali. Allah menghinakan raja agung mereka Khaqan dan menarik upeti dari wilayah timur dan dan barat lalu dibawa ke hadapan Amirul Mu’minin ‘Utsman bin ‘Affan. Yang demikian ini disebabkan barakah dari bacaan Al Qur’an beliau, mengilmuinya, dan menyatukan seluruh umat dengan disatukan dalam pemeliharaan Al Qur’an. Oleh karena itu telah shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): "Sesungguhnya Allah melipat bagiku bumi ini hingga akupun melihat wilayah timur dan baratnya, dan kekuasaan umatku akan sampai ke wilayah yang telah dilipatkan (diperlihatkan) kepadaku darinya." (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dari Tsauban) [Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/301-302]

Tegakkan Daulah Islamiyyah dalam Diri Kalian, Niscaya akan Ditegakkan Daulah Islamiyyah di Negara Kalian!
 
Berbagai kelompok yang menyimpang dari jejak para ulama salaf, sering menyerukan slogan "Dirikan Daulah Islamiyyah", "Tegakkan Syariat Islam", dan yang semacamnya. Dalam upaya mencapai keinginan tersebut, mereka banyak membuat trik atau cara yang sesuai dengan hawa nafsu mereka dan jauh menyimpang dari apa yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Di antaranya ada yang berusaha untuk mendirikan negara di dalam negara dan berupaya keras untuk meruntuhkan pemerintahan yang sah.
 
Di antara mereka ada pula yang menggunakan cara-cara teror dan mengacaukan keamanan negara muslim dengan alasan pemerintah telah melanggar hukum Allah, seperti yang telah dilakukan oleh kaum Khawarij sebagai nenek moyang mereka.
 
Di antara mereka ada yang menempuh cara-cara diplomasi dengan ikut serta duduk di kursi-kursi pemerintahan walaupun harus melanggar sebagian hukum Allah dan mengakui cara-cara demokrasi dengan dalih memperjuangkan tegaknya syariat Islam, dan entah dengan cara apa lagi.
 
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani sering berkata: "Tegakkan daulah Islamiyyah dalam diri kalian, niscaya akan ditegakkan daulah Islamiyyah di negara kalian!", ketika beliau membantah berbagai kelompok yang menyimpang dari tuntunan Al Qur`an dan Sunnah Rasulullah serta apa yang telah menjadi amalan as-salafush shalih. Beliau berkata: "Sungguh aku kagum terhadap satu kalimat yang diucapkan sebagian para mushlihin (orang yang melakukan perbaikan) di masa kini, yang menurutku seakan-akan ini merupakan wahyu dari langit, yaitu perkataan: "Tegakkanlah Daulah Islam dalam hati kalian, niscaya akan ditegakkan Daulah Islam di negara kalian." (lihat At-Tashfiyah wat-Tarbiyah hal. 33, transkrip ceramah Asy-Syaikh Al-Albani)
 
Beliau pun berkata: "Jika kita menghendaki kemuliaan dari Allah, menghilangkan kehinaan dari kita, dan memberikan pertolongan-Nya kepada kita dalam mengalahkan musuh, maka tidaklah cukup untuk itu apa yang telah kami isyaratkan tadi kewajiban membenarkan pemahaman (yang keliru) dan menghilangkan berbagai pendapat yang menakwilkan dalil-dalil yang syar’i yang ada di kalangan ahli ilmu atau ahli fiqih. Namun di sana ada sesuatu yang sangat penting -yang merupakan hal inti- dalam membenarkan pemahaman. Yaitu beramal, sebab ilmu adalah jalan untuk beramal. Maka apabila seseorang telah belajar dan ilmu yang dipelajarinya bersih lagi suci (dari kesesatan), apabila dia tidak mengamalkannya maka sangat jelas sekali bahwa ilmu yang ada padanya tidak menghasilkan buah. Maka haruslah ilmu tersebut ditemani amalan.
 
Wajib bagi para ahli ilmu untuk mengurusi pendidikan yang baru tumbuh dari kaum muslimin berdasarkan pancaran yang shahih dari Al-Kitab dan As Sunnah. Kita tidak boleh membiarkan manusia tetap berada di atas apa yang mereka warisi berupa berbagai pemahaman keliru, yang sebagiannya dipastikan kebatilannya berdasarkan kesepakatan para imam, dan sebagiannya diperselisihkan, dan masih ada bagian dari pandangan secara ilmiah, ijtihad, dan pendapat, dan sebagian dari ijtihad serta pemikiran tersebut menyelisihi As Sunnah.
 
Setelah men-tashfiyah (menjernihkan) perkara-perkara ini dan menjelaskan apa yang harus dijalani serta bertolak darinya, maka kita harus men-tarbiyah (mendidik) benih yang baru tumbuh tersebut di atas ilmu yang benar ini. Pendidikan inilah yang akan membuahkan masyarakat Islam yang murni, dan selanjutnya tegaklah Daulah Islamiyyah.
 
Tanpa dua pembukaan ini, yaitu: Ilmu yang benar dan Pendidikan yang benar yang dibangun di atas ilmu yang benar tersebut, mustahil -menurut keyakinanku- untuk bisa ditegakkan hukum Islam atau Daulah Islamiyyah." (At-Tashfiyah wat-Tarbiyah, Asy-Syaikh Al-Albani hal. 29-31)

Camkanlah nasehat beliau, semoga kita termasuk hamba yang mendapatkan hidayah menuju jalan-Nya. Amin.

Sumber:www.asysyariah.com

Next Up: Chocolate Chips Cookies


Wednesday, July 22, 2015

Negara Islam - Sebuah Tujuan Utama ?


Redaksi Al Wala’ Wal Bara’  
 
Dasar-dasar dalam Berdakwah kepada Allah
 
Sesungguhnya berdakwah kepada Allah adalah jalannya Rasulullah dan para pengikutnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya): "Katakanlah: Inilah jalan (Dien)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah di atas hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." (Yuusuf:108)

Bahkan berdakwah kepada Allah adalah sesuatu yang paling dipentingkan oleh para Rasul dan pengikut-pengikutnya semuanya, yang bertujuan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, dari kekufuran kepada iman, dari kesyirikan kepada tauhid dan dari neraka menuju surga. Yang dakwah ini harus bersandar di atas tonggak-tonggak dan berdiri di atas dasar-dasar Islam yang kokoh.
 
Maka kalau dakwah tersebut kosong dari salah satu saja dari tonggak-tonggak dan dasar-dasar Islam tersebut maka tidak akan terwujud dakwah yang benar dan tidak akan menghasilkan buah yang diharapkan meskipun dengan mengeluarkan segala daya upaya dan menghabiskan waktu sebagaimana hal ini dapat disaksikan dan yang telah menimpa kebanyakan dakwah-dakwah jama’ah sekarang yang tidak berdiri di atas tonggak-tonggak dan dasar-dasar Islam.
 
Inilah tonggak-tonggak yang akan terbangun di atasnya dakwah yang benar sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah, secara ringkasnya adalah sebagai berikut:
 
1. Berilmu terhadap apa yang didakwahkan, maka orang yang bodoh tidak layak menjadi da’i, Allah berfirman (yang artinya): "Katakanlah: Inilah jalan (Dien)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah di atas bashiirah. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." (Yuusuf:108), yang dimaksud bashiirah adalah ilmu. Karena sesungguhnya para da’i mesti akan menghadapi ‘ulama-’ulama sesat yang akan melontarkan syubhat dan mendebatnya dengan kebathilan untuk membantah Al-Haq. Allah berfirman (yang artinya): "Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (An-Nahl:125), dan Rasulullah berkata kepada Mu’adz (yang artinya): "Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab." (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Abbas)
 
Maka apabila seorang da’i tidak bersenjatakan ilmu yang dengannya dapat menghadapi setiap syubhat dan dapat membantah setiap lawannya maka dia akan kalah pada awal pertemuaanya dengan lawan dakwahnya dan akan berhenti di awal perjalanan dakwahnya.
 
2. Beramal dengan apa yang didakwahkan sehingga dia menjadi tauladan yang baik, perbuatannya membenarkan ucapannya dan tidak ada jalan bagi orang-orang yang bathil untuk menghujjatnya. Allah berfirman tentang Nabi-Nya Syu’aib bahwasanya dia berkata kepada kaumnya (yang artinya): "Dan aku tidak berkehendak menyalahi kalian (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan." (Huud:88)
 
3. Ikhlash, yaitu dakwah yang dia jalankan semata-mata untuk mencari Wajah Allah bukan karena riya`, sum’ah, ketinggian derajat sosial, kepemimpinan ataupun rakus terhadap dunia. Karena kalau dakwahnya tercampuri dengan sesuatu dari tujuan-tujuan tersebut maka dakwahnya bukan untuk Allah tetapi untuk dirinya atau untuk ketamakan yang dia inginkan. Allah mengkhabarkan tentang para Nabi-Nya yang berkata kepada ummatnya (yang artinya): "Aku tidak meminta upah kepada kalian." (Al-An’aam:90; Huud:51), "Aku tidak meminta kepada kalian harta (sebagai upah)." (Huud:29)
 
4. Memulai dengan yang paling penting kemudian yang penting, yaitu pertama kali memulai kepada perbaikan ‘aqidah dengan memerintahkan agar mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata dan melarang dari kesyirikan kemudian memerintahkan untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan yang ini merupakan jalannya semua Rasul sebagaimana Allah berfirman (yang artinya): "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu." (An-Nahl:36)
 
5. Bersabar terhadap apa yang akan dia jumpai dalam berdakwah kepada Allah dari kesulitan-kesulitan dan gangguan-gangguan manusia.
 
6. Wajib bagi seorang da’i untuk berhias dengan akhlaq yang baik dengan menerapkan hikmah dalam dakwahnya karena hal ini lebih memudahkan untuk diterima dakwahnya. Allah berfirman (yang artinya): "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (An-Nahl:125)
 
7. Wajib bagi seorang da’i agar kuat cita-citanya, tidak putus asa dari pengaruh dakwahnya dan memberikan petunjuk kepada kaumnya dan jangan berputus asa dari pertolongan Allah walaupun telah lama berdakwah.
 
Inilah Nabi Nuh telah berdakwah kepada kaumnya selama 950 tahun. Dan Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh berat gangguan orang-orang kafir kepadanya sampai datang kepadanya malaikat gunung menawarkan kepadanya agar ditimpakan kepada mereka gunung, tapi Rasulullah menyatakan: "Biarkan mereka, semoga Allah mengeluarkan dari keturunan mereka orang-orang yang beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya sedikitpun."
 
Maka barangsiapa yang tidak memiliki sifat (yang ketujuh) ini maka dia akan berhenti di awal dakwahnya dan akan kembali dengan kegagalan.

Daulah Islamiyyah Sebuah Tujuan?
 
Sesungguhnya dakwah yang tidak berdiri di atas dasar-dasar tersebut dan tidak tegak di atas manhaj para Rasul maka dakwah tersebut akan mengalami kegagalan dan akan lenyap serta hanya akan mendapatkan keletihan yang tidak ada faidahnya.
 
Dan contoh yang dapat dijadikan pelajaran yang menunjukkan kegagalan dakwah adalah sejumlah jama’ah dakwah yang ada pada masa kini yang membuat aturan-aturan tersendiri sebagai manhajnya dalam berdakwah yang menyelisihi manhaj para Rasul. Manhaj dakwah mereka lalai akan seruan yang sangat prinsip, kecuali hanya sedikit, yaitu seruan penegakan ‘aqidah/tauhid. Mereka justru berkutat habis dalam memperjuangkan masalah lainnya. Adakalanya menyeru kepada perbaikan sistem pemerintahan, politik dan tuntutan tegaknya hukum serta pelaksanaan syariat dalam memutuskan perkara yang timbul di antara manusia.
 
Walaupun perjuangan dalam hal-hal tersebut adalah persoalan penting, namun bukan yang terpenting. Bagaimana kita menuntut ditegakkannya pelaksanaan hukum Allah terhadap pencuri, pezina dan lainnya sebelum kita menuntut dilaksanakan hukum Allah atas diri orang musyrik? Bagaimana kita menuntut ditegakkannya hukum Allah terhadap dua orang yang berselisih dalam masalah kambing dan unta, sebelum ditegakkannya hukum Allah terhadap para penyembah berhala dan kuburan, dan terhadap orang-orang yang mengingkari Asma’ Allah dan Sifat-Nya, yang mereka menolak lafazh atau makna Sifat-sifat Allah tersebut dan menyimpangkan serta merubah lafazh atau makna yang sebenarnya?
 
Apakah orang-orang musyrik yang lebih durhaka ataukah orang-orang yang berbuat zina, minum khamr dan mencuri? Sebenarnya zina, mencuri dan sejenisnya adalah perbuatan yang menyangkut "hak hamba", sedangkan kesyirikan dan penolakan terhadap Nama-nama dan Sifat-sifat Allah adalah suatu tindak kejahatan yang menyangkut "hak Allah", bukankah hak Allah ‘Azza wa Jalla harus ditunaikan lebih dahulu dibandingkan hak hamba?
 
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: "Maka dosa-dosa seperti zina, minum khamr, mencuri dan yang sejenisnya, selama masih disertai dengan lurusnya tauhid, adalah lebih baik dibandingkan dengan rusaknya tauhid walaupun tidak disertai perbuatan-perbuatan dosa tersebut." (Al-Istiqaamah 1/466)
 
Di antara jama’ah yang harus meluruskan manhaj dakwahnya adalah jamaah yang dalam perjuangannya lebih memfokuskan kepada persoalan syiar-syiar ta’abbudi dan berusaha keras untuk mengerjakan dzikir-dzikir dengan mengikuti metode sufisme atau mengutamakan kegiatan rihlah, melakukan perjalanan dan rekreasi dalam dakwahnya. Mereka berharap dapat menghimpun manusia sebanyak mungkin dalam kegiatan-kegiatan semacam itu, namun mereka tidak memberikan perhatian yang cukup bagi penegakkan ‘aqidah.
 
Inilah jalan yang ditempuh ahli bid’ah. Mereka memutar-balikkan marhalah (metode dakwah) yang ditempuh para Rasul, sehingga yang terjadi adalah yang semestinya di belakang dijadikan di depan; yang seharusnya diakhirkan malah didahulukan; bermaksud mengobati suatu bagian dari tubuh namun hakikatnya membiarkan organ yang paling penting bertambah rusak, sebab ‘aqidah ibaratnya kepala dalam tubuh kita yang merupakan bagian yang paling pokok.
 
Yang harus dilakukan oleh sejumlah jama’ah dakwah yang ada saat sekarang ini adalah memperhatikan dan mengenali kembali manhaj dakwah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan mengambil rujukan kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
 
Karena sesungguhnya Allah telah mengkhabarkan bahwa kekuasaan atau Daulah Islamiyyah -yang merupakan tujuan dakwahnya jama’ah-jama’ah saat ini yang telah disinggung di atas- tidak akan terwujud kecuali setelah adanya pembenahan ‘aqidah dengan cara beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya.
 
Marilah kita perhatikan janji Allah yang pasti ditepati, jika kita telah memenuhi syarat-syaratnya dalam firman-Nya berikut ini (yang artinya): "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (An Nuur: 55)
 
Sedemikian jelas janji itu, namun kita saksikan sekarang ini sejumlah jama’ah dakwah menghendaki tegaknya Daulah Islamiyah sementara aqidah-aqidah Watsaniyyah Al Mutamatstsilah (’aqidah keberhalaan dengan segala bentuknya) masih menjadi anutan penduduk negerinya. Masih banyak orang yang menyembah orang mati dan menjalin kontak dengan kuburan-kuburan, suatu praktek kesyirikan besar yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para penyembah Latta, ‘Uzza serta Manat, bahkan jauh lebih sesat darinya.
 
Jika kita bersikeras untuk menegakkan hukum syari’at, yang mengandung arti penegakan hukum perdata maupun pidana, serta penegakan Daulah Islamiyyah, menjauhi larangan-larangan dan mengerjakan seluruh kewajiban, yang semuanya itu merupakan perkara-perkara yang termasuk hak-hak tauhid dan kesempurnaannya, sedangkan tauhid yang prinsip itu sendiri kita abaikan? Konsekuensi tauhid didahulukan, sedangkan tauhidnya sendiri tertinggal jauh di belakang? Tidakkah itu berarti menegakkan yang cabang sedangkan yang paling pokok ditelantarkan?
 
Kami melihat bahwa apa yang terjadi pada jama’ah-jama’ah yang berdiri di atas manhaj yang bertentangan dengan manhaj para Rasul dalam metode dakwahnya kepada Allah adalah suatu kebodohan, padahal orang yang bodoh tidak pantas menjadi da’i, sebab termasuk persyaratan terpenting dalam dakwah adalah ilmu, sebagaimana firman Allah (yang artinya): "Katakanlah: Inilah jalan (Dien)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." (Yuusuf:108)
 
Kita perhatikan bahwa jama’ah-jama’ah dakwah yang menisbatkan kepada kepentingan dakwah, memiliki aturan dan manhaj yang berbeda-beda. Aturan suatu jama’ah tidak dimiliki jama’ah lainnnya. Ini merupakan satu indikasi bahwa manhaj jama’ah tersebut bertentangan dengan manhaj para Rasul, sebab manhaj para Rasul itu hanya satu, tidak terbagi-bagi, tidak bermacam-macam dan tidak pula ada ikhtilaf, sebagaimana firman Allah yang tertera pada surat Yuusuf di atas.
 
Maka jika benar jama’ah dakwah itu mengikuti manhaj Rasulullah, mengikuti jalan yang satu ini, pasti mereka tidak saling ikhtilaf. Adanya ikhtilaf dikarenakan bertentangan dengan jalan ini yaitu jalannya para Rasul. Allah berfirman (yang artinya): "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya." (Al-An’aam:153)
 
Ketika kita lihat bahwasanya keadaan jama’ah-jama’ah dakwah tersebut saling berbeda dan bertentangan dalam manhajnya, sedangkan perbedaan dan pertentangan manhaj antar jama’ah justru membahayakan bagi Islam itu sendiri, sehingga kita harus mencegah orang yang ingin memasukkannya ke dalam Islam dan menjelaskan bahwasanya hal itu bukan dari Islam sedikit pun, sebagaimana firman Allah (yang artinya): "Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolong-golongan, tak ada sedikit pun tanggungjawabmu terhadap mereka." (Al-An’aam:159)

Telah menjadi keyakinan yang pasti bahwa Islam selalu menyeru kepada persatuan (ijtima’) di atas kebenaran, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): "Dan hendaklah kalian semuanya berpegang teguh kepada tali (dien) Allah, dan janganlah kalian (sekali-kali) bercerai-berai." (Aali ‘Imraan:103)

Dengan memperhatikan keadaan jama’ah dakwah yang sedemikian memprihatinkan itu, maka wajib bagi bangkitnya sekelompok ‘ulama yang mempunyai kecemburuan terhadap agamanya untuk menjelaskan manhaj jama’ah yang benar, sebagaimana manhaj para Nabi dalam dakwah kepada Allah, serta menyingkap dan membongkar penyimpangan manhaj yang dianut oleh jama’ah-jama’ah dakwah sekarang ini. Dengan demikian diharapkan jama’ah-jama’ah itu dengan penuh kesadaran kembali kepada Al-Haq dan memegangnya dengan kuat, karena sesungguhnya Al-Haq itu merupakan barang yang hilang bagi mukmin (yang harus dicari). Wallaahu A’lam.

Diringkas dari Taqdiim Kitab Manhajul Anbiyaa` fid Da’wati ilallaah oleh Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
 
Sumber: Al Wala’ Wal Bara’
Judul Asli: Daulah Islamiyah, Sebuah Tujuan?
Edisi ke-32 Tahun ke-2 / 02 Juli 2004 M / 14 Jumadil Ula 1425 H 
auto insurance, auto insurance quotes, auto insurance companies, auto insurance florida, auto insurance quotes online, auto insurance america, auto insurance comparison, auto insurance reviews, auto insurance calculator, auto insurance score, auto insurance quotes, auto insurance companies, auto insurance florida, auto insurance quotes online, auto insurance america, auto insurance comparison, auto insurance reviews, auto insurance calculator, auto insurance score, auto insurance ratings

Follow us on Facebook :P

Blogger news