Tuesday, September 29, 2015

Roasted Butternut Squash Soup – Legend of the Fall

This roasted butternut squash soup is probably my favorite fall soup of all time, which is why I’m so shocked we haven’t posted a video for it before. It’s cheap, easy, nutritious, and absolutely delicious; and should probably go into the once-a-week rotation for a few months at least.

As I mention in the video, there’s really no great reason to simmer this for an hour like I did, but I think it does help harmonize the flavors, not to mention humidify your home. A cold, rainy day just looks better through steamed-up windows.

If you’re feeling like something a bit more substantial, try this topped with a handful of crispy bacon. Of course, I wouldn’t say no to some diced ham either. Add a hard roll, and you can’t get a better autumn meal. I hope you give this a try soon. Enjoy!


Ingredients for 6 portions:
For the sage brown butter:
3 tablespoons unsalted butter
6-8 large sage leaves (or a lot of tiny leaves like I used in the video)
For the soup:
3 1/2 pound butternut squash
1 tablespoon olive oil
1 chopped onion
1 cup sliced carrots
6 garlic cloves, peeled
sage-infused brown butter
2 teaspoon kosher salt, or to taste
6 cups chicken broth, plus more if needed
2 tablespoons maple syrup
2 tablespoons apple cider vinegar (or other vinegar)
cayenne to taste
creme fraiche and chive to garnish

Adab Bekerja (Bag. 2)

Sambungan dari bagian 1
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini pembahasan lanjutan tentang adab bekerja, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Adab-adab bekerja

7.    Bersikap tawadhu' (rendah hati)
Sombong dalam segala perkara adalah tercela. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
"Tidak akan masuk surga orang yang memiliki kesombongan dalam hatinya meskipun seberat dzarrah (debu)." (HR. Muslim)
Oleh karena itu, hendaknya setiap pimpinan bertawadhu' kepada bawahannya, dan bawahan kepada pimpinannya. Cukuplah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai teladan yang baik bagi kita dalam hal ini, Beliau tidak segan membantu para sahabatnya yang bekerja dan membantu istrinya di rumah.
عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ يَزِيدَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهَا مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فِي الْبَيْتِ قَالَتْ كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا سَمِعَ الْأَذَانَ خَرَجَ *
Dari Al Aswad bin Yazid ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah, “Apa yang biasa dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam rumahnya?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau biasa membantu pekerjaan istrinya. Ketika azan tiba, Beliau keluar (untuk shalat).” (HR. Bukhari)

8.    Pekerjaannya tidak membuatnya lupa beribadah
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman memuji mereka yang tidak dibuat lalai oleh perniagaan dan bisnisnya dari beribadah kepada Allah Azza wa Jalla,
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ-لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَن يَشَاء بِغَيْرِ حِسَابٍ
"Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.-- (Meraka mengerjakan yang demikian itu) agar Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas." (QS. An Nuur: 37-38)
Oleh karena itu, ketika azan dikumandangkan, maka mereka tinggalkan perniagaan dan bisnisnya karena hendak mencari karunia Allah yang lebih besar di akhirat.
9.    Tugas adalah amanah (kewajiban) yang harus ditunaikan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنْ ائْتَمَنَكَ، وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
"Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahkan kepadamu, dan jangan mengkhianati orang yang mengkhianatimu." (HR. Bukhari dalam At Tarikh, Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim, Daruquthni, Adh Dhiya', Thabrani dalam Al Kabir, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 240)

10.    Tidak menuntut hak sedangkan kewajiban diremehkan.
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ -الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُواْ عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ -وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,--(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,--Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi." (QS. Al Muthaffifin: 1-3)
Ayat ini meskipun zhahirnya mengenai orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan, namun terkena pula kepada mereka yang mau dipenuhi haknya namun kewajibannya dia tinggalkan.

11.    Menjauhi usaha yang haram
Usaha yang haram ini misalnya menjual minuman keras, narkoba, patung, babi, dan barang haram lainnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا، وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا، وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ


"Sesungguhnya Allah mengharamkan arak dan harganya, Dia mengharamkan pula bangkai dan harganya, serta mengharamkan babi dan harganya." (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al Albani)


12.    Tidak melakukan kecurangan
Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati seorang yang menjual makanan, lalu Beliau memasukkan tangannya ke dalam makanan itu, dan ternyata makanan itu telah dicurangi, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّ»
"Bukan termasuk golongan kami orang yang melakukan kecurangan." (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani)

13.    Jujur apa adanya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
البيِّعان بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا. فَإِنْ صَدَقَا وبيَّنا: بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا. وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا: مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
"Dua orang penjual dan pembeli berhak khiyar selama belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menerangkan keadaan yang sebenarnya, maka akan diberikan berkah pada jual belinya, tetapi jika keduanya berdusta dan menyembunyikan, maka akan dicabut berkah dari jual beli keduanya." (HR. Bukhari dan Muslim)

14.    Tidak bersumpah palsu untuk melariskan barang dagangan
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلاً أُوْلَئِكَ لاَ خَلاَقَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ وَلاَ يُكَلِّمُهُمُ اللّهُ وَلاَ يَنظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji(nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit (harta dunia), mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih."(QS. Ali Imran: 77)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الحَلِفُ مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ، مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ
"Sumpah (palsu) melariskan dagangan namun mencabut keberkahan." (HR. Bukhari dan Muslim)
15.     Membayarkan upah kepada pekerja
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ، رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ
Allah Ta'ala berfirman, "Ada tiga orang yang Aku menjadi musuh mereka pada hari Kiamat; (1) seorang yang berjanji dengan nama-Ku lalu ia mengingkari, (2) seorang yang menjual orang merdeka lalu ia memakan hasil penjualannya, dan (3) seorang yang mengangkat pekerja, lalu ia meminta upahnya, namun tidak diberikan." (HR. Bukhari)

16.    Bertawakkal setelah berusaha
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُوْ خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا
"Kalau sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, tentu Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana burung yang diberi rezeki; berangkat dengan perut kosong dan pulang dengan perut kenyang." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim, Tirmidzi berkata, "Hasan shahih." Hadits ini dishahihkan pula oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5254)
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa Nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu'ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Liabhatsil Qur'ani was Sunnah), Mausu'ah Usrah Muslimah (www.islam.aljayyash.net), Untaian Mutiara Hadits (Marwan bin Musa), dll.
 

Sunday, September 27, 2015

Adab Bekerja (Bag. 1)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du: 

Berikut ini pembahasan tentang adab bekerja, semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

Imam Thabrani meriwayatkan dalam Mu'jam Kabirnya dari Ka'ab bin Ujrah ia berkata:

مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جِلْدِهِ وَنَشَاطِهِ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ: لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللهِ؟، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ»

"Pernah ada seseorang yang melewati Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat kemampuan dan semangatnya, lalu mereka berkata, "Kalau sekiranya orang ini berada di jalan Allah (tentu baik baginya)?" Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Jika ia keluar bekerja untuk anak-anaknya yang masih kecil, tentu dia berada di jalan Allah. Jika ia keluar bekerja untuk menafkahi dua ibu-bapaknya yang sudah tua, tentu ia berada  di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk dirinya, yakni untuk menjaga kesucian diri, maka dia di jalan Allah, dan jika ia keluar bekerja untuk riya dan berbangga-bangga (di hadapan manusia), maka dia berada di jalan setan." (Hadits ini dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 1428).

Agama Islam adalah agama amal; agama yang memerintahkan kita untuk bekerja dan berusaha untuk memperoleh manfaat di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, tidak ada istilah 'nganggur' bagi seorang muslim, karena di hadapannya banyak pekerjaan yang bermanfaat baginya di dunia dan akhirat.
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al Qashash: 77)
 
Allah Subhaanahu wa Ta'ala juga berfirman memerintahkan kita untuk bekerja dan berusaha di muka bumi serta mencari rezeki-Nya yang halal, Dia berfirman,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ 
"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan." (QS. Al Mulk: 15)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung." (QS. Al Jumu'ah: 10)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اِعْمَلُوْا فَكُلٌّ مُيسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
"Beramallah. Masing-masing akan dimudahkan kepada apa yang dia diciptakan untuknya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan para nabi 'alaihimush shalatu was salam adalah sebaik-baik teladan dalam bekerja dan berusaha. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الغَنَمَ
"Allah tidak mengutus seorang nabi pun kecuali ia menggembala kambing." (HR. Bukhari)
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri sebagai Nabi dan Rasul serta pemimpin umat ikut bekerja bersama para sahabatnya bahu-membahu, lihatlah bagaimana Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersama para sahabatnya membangun masjid, menggali khandaq (parit), berjihad, dan lain-lain; tidak hanya memerintah
Nah, berikut ini beberapa adab bekerja yang perlu diperhatikan.
Adab-adab bekerja

1.    Menghadirkan niat yang baik dalam bekerja.
Termasuk niat yang baik dalam bekerja adalah bekerja untuk menafkahi dirinya dan orang yang ditanggungnya dari harta yang halal, bekerja untuk menjaga kesucian dirinya, bekerja agar dapat bersedekah, dsb. Ini semua termasuk fii sabilillah (di jalan Allah). Lihat dalilnya pada hadits Ka'ab bin Ujrah radhiyallahu 'anhu yang telah disebutkan sebelumnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ
"Sesungguhnya engkau tidaklah mengeluarkan sebuah nafkah karena mencari keridhaan Allah melainkan engkau akan diberi pahala terhadapnya sampai (makanan) yang engkau berikan ke mulut istrimu." (HR. Bukhari dan Muslim). 

2.    Tidak menunda pekerjaan 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ ، شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara; mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum waktu sibuk dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Hakim dan Baihaqi dalam Asy Syu’ab,  dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1077)
Ibnu Umar berkata, “Jika kamu berada di sore hari, maka janganlah kamu tunggu hingga pagi hari, dan jika kamu berada di pagi hari, maka janganlah kamu tunggu hingga sore hari, gunakanlah waktu sehatmu untuk waktu sakitmu, dan hidupmu untuk matimu.” (HR. Bukhari)

3.    Memulai pekerjaan di pagi hari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdoa,
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُوْرِهَا
"Ya Allah, berilah keberkahan kepada umatku pada pagi harinya." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 1300) 

4.    Semangat dalam bekerja
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, namun pada keduanya ada kebaikan. Bersegeralah untuk mengerjakan yang memberikan manfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah. Janganlah bersikap lemah, jika kamu tertimpa sesuatu maka jangan katakan, “Kalau seandainya aku mengerjakan ini dan itu tentu akan jadi begini dan begitu,” tetapi katakalah, “Allah telah takdirkan dan apa yang dikehendaki-Nya Dia perbuat,” karena (kata) “Seandainya,” membuka pintu amal setan.” (HR. Muslim)

5.    Mencari rezeki dari jalan yang halal
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ رَوْحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رُوعِيَ أَنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ أَجَلَهَا وَتَسْتَوْعِبَ رِزْقَهَا فَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ وَلَا يَحْمِلَنَّ أَحَدَكُمُ اسْتِبْطَاءُ الرِّزْقِ أَنْ يَطْلُبَهُ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُنَالُ مَا عِنْدَهُ إِلَّا بِطَاعَتِهِ
"Sesungguhnya Ruhul Qudus (Jibril 'alaihis salam) menyampaikan wahyu ke dalam hatiku, yang isinya, "Bahwa seorang jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan terpenuhi rezekinya. Oleh karena itu, perbaguslah dalam mencarinya, dan janganlah salah seorang di antara kamu karena keterlambatan rezeki membuatnya mencarinya dengan jalan maksiat, karena apa yang ada di sisi Allah tidak dapat dicapai kecuali dengan ketaatan kepada-Nya." (HR. Abu Nu'aim dalam Al Hilyah, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 2085)

6.    Merapihkan pekerjaan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ
"Sesungguhnya Allah suka jika salah seorang di antara kamu bekerja, lalu ia merapihkan pekerjaannya." (HR. Baihaqi dalam Asy Syu'ab, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 1880)
Bersambung…
Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa Nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Maktabah Syamilah versi 3.45, Mausu'ah Haditsiyyah Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Liabhatsil Qur'ani was Sunnah), Mausu'ah Usrah Muslimah (www.islam.aljayyash.net), Untaian Mutiara Hadits (Marwan bin Musa), dll.

Friday, September 25, 2015

Borscht-Braised Beef Short Ribs – It Sure Beats Beets

Even though I often joke about naming dishes a certain way to help with the search engines, I rarely actually do. Mostly because I don’t get a bonus for extra traffic, but with this borscht-braised beef short ribs, I fully admit to intentionally not using the “B” word.

I would hate for someone who thinks they hate beets to not even watch the video. I figured if we could trick them into at least seeing the dish in all its colorful glory, they’d simply have to give it a try. Unless they don't like beets, and gorgeous things.

By the way, I can totally relate to the “I don’t eat beets” people, as I am one. I’ve never been a big fan, but in certain things, like borscht, I love them. With that simple soup as an inspiration, I thought the flavors would work nicely with the rich, fatty short ribs, and they sure did.

Will this be enough to change your mind about beets? There’s only one way to find out. I hope you give this a try soon. Enjoy!


Ingredients for 4 portions:
1 tbsp vegetable oil
3 pounds beef short ribs, cut into 3-inch pieces, seasoned generously with salt and freshly ground black pepper to taste
1 yellow onion, chopped
2 tbsp all-purpose flour
3 cups chicken broth
1 bay leaf
1 cup cubed carrots
1/2 cup chopped celery
1 pound beets, cut in large pieces (about two large ball sized beets, cut in eighths)
2 teaspoon kosher salt, or to taste
- Optional step: when you taste your finished sauce, if you want to add some acidity to balance the sweetness, adjust with a splash of white vinegar.
- Garnish with sour cream and chives

Adab Bagi Orang Yang Sakit

Adab Bagi Orang Yang Sakit
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini kami sebutkan pembahasan tentang adab bagi orang yang sakit, semoga Allah Subhaanahu wa Ta'ala menjadikan penyusunan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.
Adab bagi yang sakit

1.    Seorang yang sakit hendaknya bersabar, tidak kesal dan tidak menampakkan sikap keluh kesah, meskipun tidak mengapa bagi orang yang sakit ketika ditanya, “Bagaimana kondisimu?” Ia menjawab, “Saya sedang sakit” atau “Perih rasanya” dan hendaknya ia menambahkan, “Wal Hamdulillah ‘alaa kulli haal," (artinya segala puji bagi Allah bagaimana pun keadaannya).

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَاهُ الْأَمْرُ يَسُرُّهُ قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ» ، وَإِذَا أَتَاهُ الْأَمْرُ يَكْرَهُهُ، قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ»
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, Beliau mengucapkan, "Al Hamdulillahilladzi bini'matihi tatimmush shaalihaat," (artinya: segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya kebaikan menjadi sempurna), dan  apabila Beliau mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan, maka Beliau mengucapkan, "Al Hamdulillah 'alaa kulli haal," (artinya: segala puji bagi Allah dalam keadaan bagaimana pun)." (HR. Ibnussunniy dalam Amalul yaumi wal Lailah dan Hakim, ia menshahihkannya, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 6440)
Salah satu bentuk sabar adalah dengan tidak mengharapkan kematian hanya karena musibah yang menimpanya, Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَتَمَنَيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ لِضُرٍّ أَصَابَهُ ، فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلاً فَلْيَقُلْ : اَللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيراً لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفاَةُ خَيْراً لِي
“Janganlah salah seorang di antara kamu ingin mati hanya karena musibah yang menimpanya, jika memang harus demikian, maka ucapkanlah, “Ya Allah, hidupkanlah aku, jika kehidupan itu baik buatku. Dan wafatkanlah aku jika wafat itu lebih baik buatku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2.    Dianjurkan bagi orang yang sakit untuk berobat dengan obat-obatan yang mubah (halal). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى خَلَقَ الدَّاءَ وَ الدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَ لاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
"Sesungguhnya Allah Ta'ala menurunkan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah, namun jangan berobat dengan yang haram." (HR. Thabrani dalam Al Kabir dari Ummud Darda', dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 1762)

3.    Tidak mengapa baginya melakukan ruqyah (jampi-jampi) dari ayat-ayat Al Qur’an atau doa-doa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ»
"Tidak mengapa melakukan ruqyah selama tidak ada kemusyrikan di dalamnya." (HR. Muslim)

Para ulama sepakat bolehnya melakukan ruqyah apabila terpenuhi tiga syarat:
a.    Diambil dari firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala, atau nama-nama dan sifat-Nya atau dari sabda Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam.
b.    Dengan menggunakan bahasa Arab atau dengan kata-kata yang bisa dipahami maknanya.
c.    Meyakini bahwa ruqyah itu tidaklah berpengaruh dengan sendirinya, bahkan dengan kuasa Allah Subhaanahu wa Ta'aala, dan ruqyah hanyalah sebab.

Dalam hadits riwayat Muslim dari Abu Sa’id Al Khudriy disebutkan, “Bahwa sebagian sahabat Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam ketika bersafar pernah melewati salah satu perkampungan di antara perkampungan orang Arab, para sahabat lalu meminta orang-orang kampung tersebut untuk menjamu mereka, lalu orang-orang kampung itu menolaknya. Setelah itu mereka bertanya, “Adakah di antara kalian orang yang bisa meruqyah, karena kepala kampung sedang terkena sengatan atau terkena musibah?” Maka salah seorang sahabat berkata, “Ya (ada)”, ia pun mendatangi kepala kampung dan meruqyahnya dengan surat Al Fatihah. 

Maka dengan seketika kepala kampung itu pun sembuh, ia (kepala kampung) lalu memberikan sekawanan kambing, namun sahabat tersebut enggan menerimanya, sambil berkata, “Nanti dulu, sampai saya bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,” maka ia datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyebutkan kejadian itu dan berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah saya tidak meruqyah selain dengan surat Al Fatihah”, Beliau pun tersenyum dan berkata, “Dari mana kamu tahu bahwa Al Fatihah bisa sebagai ruqyah? Ambillah (kambing itu) dari mereka, dan sertakanlah aku bersama kalian dalam bagiannya.”

Hadits ini menjelaskan bahwa salah satu cara meruqyah adalah dengan membacakan ayat Al Qur’an di hadapan si sakit, bukan dengan menyuruh orang-orang bersama-sama membacanya seperti di zaman sekarang, “Mari sama-sama kita membacakan untuknya surat Al Fatihah, ilaa hadhratil mushthafaa rasulillah wa ‘alaa niyyatin shaalihah Al Faatihah…dst.” sedangkan si sakit tidak berada di hadapan, ini adalah bid’ah. Di samping itu, apabila kita perhatikan isi kata-kata itu, yang ditujukan bukanlah kepada si sakit, tetapi kepada Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam.

4.    Tidak diperbolehkan baginya memakai jimat dan menggunakan jampi-jampi yang mengandung syirk. Orang yang memakai jimat untuk menangkal penyakit dan lainnya telah berbuat syirk. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
"Barang siapa yang memakai jimat, maka ia telah berbuat syirk." (HR. Ahmad dan Hakim, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 6394) 

5.    Hendaknya orang yang sakit mengetahui bahwa amalan yang dikerjakannya semasa sehatnya akan dicatat juga ketika sakitnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا»
"Apabila seorang hamba sakit atau bersafar, maka akan dicatat untuknya amal yang biasa dia kerjakan ketika mukim (tidak safar) dan sehat." (HR. Bukhari)

6.    Hendaknya orang yang sakit berhusnuzh zhan (berbaik sangka) kepada Allah, yaitu bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'ala akan merahmatinya dan tidak mengazabnya, akan mengampuninya serta tidak menghukumnya. Ia juga meyakini sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
"Tidaklah seorang muslim tertimpa kelelahan, sakit, kegelisahan, kesedihan, gangguan, dan kegundahan, sampai duri yang mengenainya melainkan Allah akan menghapuskan kesahalan-kesalahannya dengan sebab itu." (HR. Bukhari dan Muslim)

7.    Seorang muslim hendaknya menjenguk saudaranya yang sakit. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
فُكُّوا العَانِيَ، يَعْنِي: الأَسِيرَ، وَأَطْعِمُوا الجَائِعَ، وَعُودُوا المَرِيضَ
"Bebaskanlah tawanan, berilah makan orang yang lapar, dan jenguklah orang yang sakit." (HR. Bukhari)
Adapun keutamaannya adalah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَعُودُ مُسْلِمًا غُدْوَةً إِلَّا صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنْ عَادَهُ عَشِيَّةً إِلَّا صَلَّى عَلَيْهِ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ حَتَّى يُصْبِحَ، وَكَانَ لَهُ خَرِيفٌ فِي الجَنَّةِ
"Tidak ada seorang muslim pun yang menjenguk muslim lainnya (yang sakit) di waktu pagi kecuali akan didoakan oleh tujuh puluh ribu malaikat sampai sore hari, dan jika menjenguknya di sore hari, maka akan didoakan oleh tujuh puluh ribu malaikat sampai pagi hari dan ia memperoleh buah yang akan dipetik di surga." (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 5767).

8.    Bagi orang yang menjenguk hendaknya mendoakan kesembuhan bagi orang yang sakit, mewasiatkannya untuk bersikap sabar, mengucapkan kata-kata yang menyejukkan hatinya, tidak terlalu lama duduk-duduk di dekatnya, serta tidak memaksanya untuk makan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُكْرِهُوْا مَرْضَاكُمْ عَلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ، فَإِنَّ اللهَ يُطْعِمُهُمْ وَيَسْقِيْهِمْ
"Janganlah kalian memaksa orang-orang yang sakit untuk makan dan minum, karena Allah yang memberi mereka makan dan minum."  (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain, dinyatakan hasan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 727)
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila menjenguk orang sakit mengucapkan,
لاَ بَأْسَ، طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
"Tidak apa-apa. Insya Allah membersihkan (dari dosa)." (HR. Bukhari)
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, "Apabila di antara kami ada seorang yang sakit, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengusapnya dengan tangan kanannya dan berdoa,
أَذْهِبِ الْبَاسَ، رَبَّ النَّاسِ، وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
"Hilangkanlah derita wahai Tuhan manusia. Sembuhkanlah, Engkaulah Yang menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan selain kesembuhan dari-Mu. Kesembuhan dari-Mu tidak meninggalkan penyakit." (HR. Muslim)
Utsman bin Abil 'Ash Ats Tsaqafiy meriwayatkan, bahwa ia pernah mengadukan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap sakit yang dirasakannya sejak ia masuk Islam, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
«ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ مِنْ جَسَدِكَ، وَقُلْ بِاسْمِ اللهِ ثَلَاثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ»
"Letakkanlah tanganmu pada bagian badan yang terasa sakit, dan ucapkanlah, "Bismillah," (artinya: dengan nama Allah) sebanyak 3x, dan ucapkanlah sebanyak 7x, "A'udzu billah…dst." (artinya: Aku berlindung kepada Allah dari keburukan yang aku rasakan dan aku khawatirkan). (HR. Muslim)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَعُودُ مَرِيضًا لَمْ يَحْضُرْ أَجَلُهُ فَيَقُولُ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَسْأَلُ اللَّهَ العَظِيمَ رَبَّ العَرْشِ العَظِيمِ أَنْ يَشْفِيَكَ إِلَّا عُوفِي
"Tidak ada seorang muslim yang menjenguk orang yang sakit yang belum tiba ajalnya, lalu ia mengucapkan sebanyak 7x, "As'alullahal 'azhiim…sampai "Yasyfiyak," (artinya: Aku meminta kepada Allah Yang Maha Agung; Tuhan pemilik Arsyi yang besar agar Dia menyembuhkanmu) melainkan akan disembuhkan sakitnya." (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Dari Abu Sa'id, bahwa Jibril pernah mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Muhammad, apakah engkau sakit?" Beliau bersabda, "Ya." Maka malaikat Jibril mengucapkan,
بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيكَ، مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ، وَعَيْنٍ حَاسِدَةٍ، بِاسْمِ اللَّهِ أَرْقِيكَ وَاللَّهُ يَشْفِيكَ
"Dengan nama Allah. Aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu, dari kejahatan setiap jiwa, dan dari mata yang jahat. Dengan nama Allah, aku meruqyahmu, dan Allah yang menyembuhkanmu." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Albani)
Catatan:
a.    Para ulama sepakat, bolehnya berobat kepada orang kafir jika ia amanah terhadap seorang muslim. Demikian juga bolehnya laki-laki mengobati wanita dan wanita mengobati laki-laki ketika darurat, dan batasannya disesuaikan kadar daruratnya; tidak melebihinya. Alasannya adalah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meminta bantuan kepada salah seorang kaum musyrik dalam sebagian urusan (seperti untuk menunjuki jalan ketika hijrah), dan para sahabat yang wanita juga pernah mengobati kaum muslim yang terluka dalam jihad fi sabillah di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rubayyi' binti Mu'awwidz berkata, "Kami berperang bersama Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, kami beri minum orang-orang (para sahabat), membantu mereka, dan mengembalikan mereka yang terbunuh dan terluka ke Madinah." (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Ahmad).
b.    Dibolehkan membuat tempat pencegahan penyakit (karantina), bahkan dianjurkan bagi orang-orang yang terkena penyakit menular agar dipisahkan dari orang yang sakit lainnya. Demikian juga orang yang sehat agar dicegah dari mendatanginya selain perawat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam kepada pemilik unta,
لاَ يُوْرَدَنَّ مُمَرِّضٌ عَلىَ مُصِحٍّ
“Jangan didatangkan hewan yang sakit ke hewan yang sehat.” (HR. Muslim)
Apabila kepada hewan saja diperintahkan demikian, apalagi kepada manusia, tentu lebih diperintahkan lagi. Hal ini juga berdasarkan sabda Rasulullah  shallallahu 'alaihi wa sallam tentang tha’un,
فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا عَلَيْهِ وَإِذَا دَخَلَهَا عَلَيْكُمْ فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا فِرَارًا » .
“Apabila kalian mendengar ada Tha’un di suatu tempat, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi apabila tha’un berada di tempat kamu, maka janganlah pergi melarikan diri darinya.” (HR. Muslim)
Adapun maksud sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,
لاَ عَدْوَى
“Tidak ada penyakit menular.” (HR. Muslim)
Maksudnya adalah tidak ada penyakit yang menular dengan sendirinya yakni tanpa iradah Allah, karena tidak ada yang terjadi di alam semesta ini sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya, dan ini tidaklah menafikan untuk menjalani sebab dengan berusaha menjaga diri darinya, tentunya dengan keyakinan bahwa tidak ada yang dapat menjaga diri dari hal itu selain Allah dan bahwa orang yang tidak dijaga Allah tidak mungkin selamat, bahkan Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang unta yang berkudis,
وَمَنْ اَعْدَى الْأَوَّلَ ؟
“Siapakah yang memulai pertama?”
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa terkena itu adalah karena Allah saja, dan apa yang dikehendaki-Nya akan terjadi, dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.” (Lihat kitab Minhajul Muslim hal. 208 karya Abu Bakar Al Jazaa’iriy)

Dalam Fathul Majid karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan disebutkan, “Apabila seseorang bertawakkal tinggi kepada Allah serta beriman kepada qadha’ Allah dan qadar-Nya, ia pun memberanikan diri untuk mendekati orang yang sakit menular karena adanya maslahat baik bagi masyarakat umum maupun bagi orang itu dengan berharap kepada Allah agar tidak sampai tertular penyakit maka boleh-boleh saja.”

c.    Para ulama menjama' (mengkompromikan) antara hadits yang menerangkan tentang tidak ada penyakit menular dengan hadits yang merintahkan menjauhi orang yang terkena penyakit kusta, yaitu bahwa perintah menjauhi orang yang terkena penyakit kusta adalah sebagai saddudz dzari'ah (menutup celah), yakni agar orang yang bergaul dengan orang yang berpenyakit kusta yang kemudian ia juga tertimpa penyakit kusta secara takdir bukan karena menular sendiri, akhirnya membuatnya meyakini, bahwa ada penyakit yang menular dengan sendirinya, ia pun jatuh ke dalam dosa karena keyakinan ini.

Wallahu a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji': Maktabah Syamilah versi 3.35 dan 3.45, Silsilatul Ahaditsish Shahihaah (M. Nashiruddin Al Albani), Minhajul Muslim (Abu Bakar Al Jaza'iriy), Modul Akhlak jilid 4 (Penulis), dll.

Cara wudhu sesuai sunnah Nabi

SIFAT WUDHU’ NABI Shallallahu ‘alaihi wa Salam

sifat wudhu nabi shalallahu 'alaihi wasalam Secara syri’at wudhu’ ialah menggunakan air yang suci untuk mencuci anggota-anggota tertentu yang sudah diterangkan dan disyari’at kan Allah subhanahu wata’ala. Allah memerintahkan:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan , kedua mata-kaki (Al-Maaidah:6).

Allah tidak akan menerima shalat seseorang sebelum ia berwudhu’ (HSR. Bukhari di Fathul Baari, I/206; Muslim, no.255 dan imam lainnya).

Rasulullah juga mengatakan bahwa wudhu’ merupakan kunci diterimanya shalat. (HSR. Abu Dawud, no. 60).

Utsman bin Affan ra berkata: “Barangsiapa berwudhu’ seperti yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, dan perjalanannya menuju masjid dan shalatnya sebagai tambahan pahala baginya” (HSR. Muslim, I/142, lihat Syarah Muslim, III/13).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Barangsiapa menyempurnakan wudhu’nya, kemudian ia pergi mengerjakan shalat wajib bersama orang-orang dengan berjama’ah atau di masjid (berjama’ah), niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya” (HSR. Muslim, I//44, lihat Mukhtashar Shahih Muslim, no. 132).

Maka wajiblah bagi segenap kaum muslimin untuk mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam segala hal, lebih-lebih dalam berwudhu’. Al-Hujjah kali ini memaparkan secara ringkas tentang tatacara wudhu’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melakukan wudhu’:

1. Memulai wudhu’ dengan niat.

Niat artinya menyengaja dengan kesungguhan hati untuk mengerjakan wudhu’ karena melaksanakan perintah Allah subhanahu wata’ala dan mengikuti perintah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Ibnu Taimiyah berkata: “Menurut kesepakatan para imam kaum muslimin, tempat niat itu di hati bukan lisan dalam semua masalah ibadah, baik bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, berjihad dan lainnya. Karena niat adalah kesengajaan dan kesungguhan dalam hati. (Majmu’atu ar-Rasaaili al-Kubra, I/243)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menerangkan bahwa segala perbuatan tergantung kepada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya… (HSR. Bukhari dalam Fathul Baary, 1:9; Muslim, 6:48).


2. Tasmiyah (membaca bismillah)

Beliau memerintahkan membaca bismillah saat memulai wudhu’. Beliau bersabda:

Tidak sah/sempurna wudhu’ sesorang jika tidak menyebut nama Allah, (yakni bismillah) (HR. Ibnu Majah, 339; Tirmidzi, 26; Abu Dawud, 101. Hadits ini Shahih, lihat Shahih Jami’u ash-Shaghir, no. 744).

Abu Bakar, Hasan Al-Bashri dan Ishak bin Raahawaih mewajibkan membaca bismillah saat berwudhu’. Pendapat ini diikuti pula oleh Imam Ahmad, Ibnu Qudamah serta imam-imam yang lain, dengan berpegang pada hadits dari Anas tentang perintah Rasulullah untuk membaca bismillah saat berwudhu’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah!” (HSR. Bukhari, I: 236, Muslim, 8: 441 dan Nasa’i, no. 78)

Dengan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam: ”Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah” maka wajiblah tasmiyah itu. Adapun bagi orang yang lupa hendaknya dia membaca bismillah ketika dia ingat. Wallahu a’lam.


3. Mencuci kedua telapak tangan

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mencuci kedua telapak tangan saat berwudhu’ sebanyak tiga kali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam juga membolehkan mengambil air dari bejancdengan telapak tangan lalu mencuci kedua telapak tangan itu. Tetapi Rasulullah melarang bagi orang yang bangan tidur mencelupkan tangannya ke dalam bejana kecuali setelah mencucinya. (HR. Bukhari-Muslim)


4. Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung

Yaitu mengambil air sepenuh telapak tangan kanan lalu memasukkan air kedalam hidung dengan cara menghirupnya dengan sekali nafas sampai air itu masuk ke dalam hidung yang paling ujung, kemudian menyemburkannya dengan cara memencet hidung dengan tangan kiri. Beliau melakukan perbuatan ini dengan tiga kali cidukan air. (HR. Bukhari-Muslim. Abu Dawud no. 140)

Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini ada penunjukkan yang jelas bagi pendapat yang shahih dan terpilih, yaitu bahwasanya berkumur dengan menghirup air ke hidung dari tiga cidukan dan setiap cidukan ia berkumur dan menghirup air ke hidung, adalah sunnah. (Syarah Muslim, 3/122).

Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menganjurkan untuk bersungguh-sungguh menghirup air ke hidung, kecuali dalam keadaan berpuasa, berdasarkan hadits Laqith bin Shabrah. (HR. Abu Dawud, no. 142; Tirmidzi, no. 38, Nasa’i )


5. Membasuh muka sambil menyela-nyela jenggot.

Yakni mengalirkan air keseluruh bagian muka. Batas muka itu adalah dari tumbuhnya rambut di kening sampai jenggot dan dagu, dan kedua pipi hingga pinggir telinga. Sedangkan Allah memerintahkan kita:

”Dan basuhlah muka-muka kamu.” (Al-Maidah: 6)

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Humran bin Abaan, bahwa cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam membasuh mukanya saat wudhu’ sebanyak tiga kali”. (HR Bukhari, I/48), Fathul Bari, I/259. no.159 dan Muslim I/14)

Setalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam membasuh mukanya beliau mengambil seciduk air lagi (di telapak tangan), kemudian dimasukkannya ke bawah dagunya, lalu ia menyela-nyela jenggotnya, dan beliau bersabda bahwa hal tersebut diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala. (HR. Tirmidzi no.31, Abu Dawud, no. 145; Baihaqi, I/154 dan Hakim, I/149, Shahih Jaami’u ash-Shaghir no. 4572).

6. Membasuh kedua tangan sampai siku

Menyiram air pada tangan sampai membasahi kedua siku, Allah subhanahu wata’ala berfirman:

”Dan bashlah tangan-tanganmu sampai siku” (Al-Maaidah: 6)

Rasulullah membasuh tangannya yang kanan sampai melewati sikunya, dilakukan tiga kali, dan yang kiri demikian pula, Rasulullah mengalirkan air dari sikunya (Bukhari-Muslim, HR. Daraquthni, I/15, Baihaqz, I/56)

Rasulullah juga menyarankan agar melebihkan basuhan air dari batas wudhu’ pada wajah, tangan dan kaki agar kecemerlangan bagian-bagian itu lebih panjang dan cemerlang pada hari kiamat (HR. Muslim I/149)

7. Mengusap kepada, telinga dan sorban

Mengusap kepala, haruslah dibedakan dengan mengusap dahi atau sebagian kepala. Sebab Allah subhanahu wata’ala memerintahkan:

”Dan usaplah kepala-kepala kalian…” (Al-Maidah: 6).

Rasulullah mencontohkan tentang caranya mengusap kepala, yaitu dengan kedua telapak tangannya yang telah dibasahkan dengan air, lalu ia menjalankan kedua tangannya mulai dari bagian depan kepalanya ke belakangnya tengkuknya kemudian mengambalikan lagi ke depan kepalanya. (HSR. Bukhari, Muslim, no. 235 dan Tirmidzi no. 28 lih. Fathul Baari, I/251)

Setelah itu tanpa mengambil air baru Rasulullah langsung mengusap kedua telingannya. Dengan cara memasukkan jari telunjuk ke dalam telinga, kemudian ibu jari mengusap-usap kedua daun telinga. Karena Rasulullah bersabda: ”Dua telinga itu termasuk kepala.”(HSR. Tirmidzi, no. 37, Ibnu Majah, no. 442 dan 444, Abu Dawud no. 134 dan 135, Nasa’i no. 140)

Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah, no. 995 mengatakan: “Tidak terdapat di dalam sunnah (hadits-hadits nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam) yang mewajibkan mengambil air baru untuk mengusap dua telinga. Keduanya diusap dengan sisa air dari mengusap kepala berdasarkan hadits Rubayyi’:

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengusap kepalanya dengan air sisa yang ada di tangannya. (HR. Abu Dawud dan lainnya dengan sanad hasan)

Dalam mengusap kepala Rasulullah melakukannya satu kali, bukan dua kali dan bukan tiga kali. Berkata Ali bin Abi Thalib ra : “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengusap kepalanya satu kali. (lihat _Shahih Abu Dawud, no. 106). Kata Rubayyi bin Muawwidz: “Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berwudhu’, lalu ia mengusap kepalanya yaitu mengusap bagian depan dan belakang darinya, kedua pelipisnya, dan kedua telinganya satu kali.“ (HSR Tirmidzi, no. 34 dan Shahih Tirmidzi no. 31)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam juga mencontohkan bahwa bagi orang yang memakai sorban atau sepatu maka dibolehkan untuk tidak membukanya saat berwudhu’, cukup dengan menyapu diatasnya, (HSR. Bukhari dalam Fathul Baari I/266 dan selainnya) asal saja sorban dan sepatunya itu dipakai saat shalat, serta tidak bernajis.

Adapun peci/kopiah/songkok bukan termasuk sorban, sebagaimana dijelaskan oleh para Imam dan tidak boleh diusap diatasnya saat berwudhu’ seperti layaknya sorban. Alasannya karena:

    Peci/kopiah/songkok diluar kebiasaan dan juga tidak menutupi seluruh kepala.

    Tidak ada kesulitan bagi seseorang untuk melepaskannya.

Adapun Kerudung, jilbab bagi wanita, maka dibolehkan untuk mengusap diatasnya, karena ummu Salamah (salah satu isteri Nabi) pernah mengusap jilbabnya, hal ini disebutkan oleh Ibnu Mundzir. (Lihat al-Mughni, I/312 atau I/383-384).

8. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki

Allah subhanahu wata’ala berfirman: ”Dan basuhlah kaki-kakimu hingga dua mata kaki” (Al-Maidah: 6)

Rasulullah menyuruh umatnya agar berhati-hati dalam membasuh kaki, karena kaki yang tidak sempurna cara membasuhnya akan terkena ancaman neraka, sebagaimana beliau mengistilahkannya dengan tumit-tumit neraka. Beliau memerintahkan agar membasuh kaki sampai kena mata kaki bahkan beliau mencontohkan sampai membasahi betisnya. Beliau mendahulukan kaki kanan dibasuh hingga tiga kali kemudian kaki kiri juga demikian. Saat membasuh kaki Rasulullah menggosok-gosokan jari kelingkingnya pada sela-sela jari kaki. (HSR. Bukhari; Fathul Baari, I/232 dan Muslim, I/149, 3/128)

Imam Nawai di dalam Syarh Muslim berkata. “Maksud Imam Muslim berdalil dari hadits ini menunjukkan wajibnya membasuh kedua kaki, serta tidak cukup jika dengan cara mengusap saja.”

Sedangkan pendapat menyela-nyela jari kaki dengan jari kelingking tidak ada keterangan di dalam hadits. Ini hanyalah pendapat dari Imam Ghazali karena ia mengqiyaskannya dengan istinja’.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “…barangsiapa diantara kalian yang sanggup, maka hendaklahnya ia memanjangkan kecermerlangan muka, dua tangan dan kakinya.” (HSR. Muslim, 1/149 atau Syarah Shahih Muslim no. 246)

9. Tertib

Semua tatacara wudhu’ tersebut dilakukan dengan tertib (berurutan) muwalat (menyegerakan dengan basuhan berikutnya) dan disunahkan tayaamun (mendahulukan yang kanan atas yang kiri) [Bukhari-Muslim]

Dalam penggunaan air hendaknya secukupnya dan tidak berlebihan, sebab Rasulullah pernah mengerjakan dengan sekali basuhan, dua kali basuhan atau tiga kali basuhan [Bukhari]

10. Berdoa

Yakni membaca do’a yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam:


“Asyahdu anlaa ilaa ha illalah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abdullahi wa rasuulahu. Allahummaj ‘alni minattawwabiina waja’alni minal mutathohhiriin (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah)

Dan ada beberapa bacaan lain yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Semoga tulisan ini menjadi risalah dalam berwudhu’ yang benar serta merupakan pedoman kita sehari-hari.

Maraji’:

    Sifat Wudhu’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, Syaikh Fadh asy Syuwaib.

    At-Tadzkirah, Syaikh Ali Hasan al-Halabi al-Atsari
auto insurance, auto insurance quotes, auto insurance companies, auto insurance florida, auto insurance quotes online, auto insurance america, auto insurance comparison, auto insurance reviews, auto insurance calculator, auto insurance score, auto insurance quotes, auto insurance companies, auto insurance florida, auto insurance quotes online, auto insurance america, auto insurance comparison, auto insurance reviews, auto insurance calculator, auto insurance score, auto insurance ratings

Follow us on Facebook :P

Blogger news